NovelToon NovelToon
IBU SUSU PUTRIKU WANITA GILA

IBU SUSU PUTRIKU WANITA GILA

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Duda / Balas Dendam / Ibu Pengganti / Cinta Seiring Waktu / Ibu susu
Popularitas:10.6k
Nilai: 5
Nama Author: Archiemorarty

Davian Meyers ditinggal oleh istrinya kabur yang mana baru saja melahirkan putrinya bernama Cassandra Meyers.

Sayangnya Cassandra kecil justru menolak semua orang, selalu menangis hingga tidak mau meminum susu sama sekali.

Sampai dimana Davian harus bersedih hati karena putri kecilnya masuk rumah sakit dengan diagnosa malnutrisi. Hatinya semakin hancur saat Cassandra kecil tetap menolak untuk menyusu. Lalu di rumah sakit Davian menemukan putrinya dalam gendongan seorang wanita asing. Dan mengejutkannya Cassandra menyusu dengan tenang dari wanita tersebut.

Akan tetapi, wanita tersebut tiba-tiba pergi.

Demi kelangsungan hidup putrinya, Davian mencari keberadaan wanita tersebut lalu menemukannya.

Tapi bagaimana jika wanita yang dicarinya adalah wanita gila yang dikurung oleh keluarganya? Akankah Davian tetap menerima wanita itu sebagai ibu susu putrinya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 23. PSIKIATER

Suasana pagi di kediaman keluarga itu terasa lebih tenang dari biasanya. Hanya dentingan sendok pada cangkir porselen dan suara burung gereja di luar jendela yang memecah hening. Davian duduk di ruang makan, menatap sekilas pada Olivia yang tampak pucat, menundukkan wajahnya tanpa selera makan. Sudah beberapa hari terakhir ia seperti itu, mudah panik, mudah tersulut emosi, menangis karena hal-hal kecil yang bahkan tidak bisa dipahami oleh orang lain.

Peter, yang biasanya tak banyak bicara saat sarapan, kali ini angkat suara, "Dav, Psikiater sudah menunggu. Aku akan menemani Olivia, kau pergilah ke kantor. Ada dokumen yang harus kau tanda tangani."

Olivia mendongak dengan sorot mata yang penuh kegelisahan, seolah kata 'psikiater' adalah cambuk yang membuatnya semakin merasa terpojok. Namun sebelum ia sempat membantah, Davian berkata pelan, penuh tekanan namun lembut, "Olivia, ini bukan soal kau gila atau tidak. Ini tentang dirimu. Aku tak tahan melihatmu selalu dihantui rasa takut. Kau harus kuat, bukan hanya untuk dirimu tapi juga untuk Cassandra."

Nama putri kecil itu disebut, dan Olivia pun terdiam. Tangannya gemetar, meremas jemari sendiri di atas meja. Ada luka dalam di balik sikap kerasnya, luka yang tak bisa ia jelaskan. Tapi tatapan Davian membuatnya tak punya pilihan lain. Ia mengangguk pelan.

Hari itu juga, Olivia ditemani oleh Peter pergi ke sebuah klinik psikologi ternama di pusat kota Seattle. Ruangannya modern, wangi aromaterapi lavender, dengan lukisan-lukisan tenang menggantung di dinding. Seorang pria paruh baya dengan senyum tenang menyambut mereka.

"Selamat datang, Miss. Olivia. Saya Dr. Samuel, psikiater Anda. Tak perlu gugup, anggap saja kita sedang berbincang biasa,” ucapnya sambil menjabat tangan Olivia.

Olivia hanya mengangguk. Sorot matanya penuh kewaspadaan, seperti seseorang yang takut jika sedikit saja ia lengah, rahasia gelap dalam dirinya akan terbongkar.

Sesi pertama lebih banyak wawancara. Samuel menanyakan banyak hal: tentang masa kecil Olivia, pernikahannya dengan Davian, kehilangan yang pernah ia alami, serta rasa takut yang sering datang tiba-tiba. Olivia menjawab dengan suara lirih, kadang terputus oleh isakan kecil. Peter, yang duduk di sudut ruangan, memerhatikan dengan cermat, mencatat dalam pikirannya setiap detail.

Samuel mengakhiri sesi dengan kalimat menenangkan, "Kita akan jalani ini perlahan. Tidak ada yang salah dengan Anda, Miss. Olivia. Kita hanya mencari tahu apa yang sebenarnya membuat Anda gelisah."

Dua hari kemudian, Olivia menjalani serangkaian pemeriksaan fisik dan mental. Elektroda dipasang di pelipis dan dadanya, menghubungkan tubuhnya dengan mesin yang menampilkan denyut jantung, gelombang otak, dan respon saraf.

"Tenang saja, ini tidak sakit," kata perawat yang membantu.

Olivia merasakan jantungnya berdebar semakin cepat ketika mesin berbunyi bip bip mengikuti ritme detak jantungnya. Saat dokter Samuel menanyakan pertanyaan-pertanyaan sederhana; Apa yang membuat Anda takut? Apa yang Anda pikirkan sebelum tidur?

Gelombang di monitor naik turun.

Namun anehnya, grafik itu menunjukkan kestabilan. Tidak ada anomali besar, tidak ada indikasi gangguan bipolar, depresi berat, atau skizofrenia seperti yang selama ini dituduhkan orang-orang ketika melihat ledakan emosi Olivia.

Peter mengernyit, diam-diam mencatat dalam hati: Sejauh ini normal.

Samuel mencoba metode manual: tes kepribadian, penggambaran emosi melalui warna, hingga meminta Olivia menulis bebas tentang perasaannya. Di ruang yang sunyi, Olivia menulis dengan pena bergetar: "Aku takut kehilangan bayiku. Aku takut ditinggalkan. Aku takut suatu hari membuka mata dan tidak ada lagi Cassandra di sisiku."

Air matanya menetes di kertas, memburamkan tulisan. Samuel membaca dengan tenang, lalu mengangguk, "Ini bukan kegilaan, Olivia. Ini rasa takut yang manusiawi. Banyak ibu mengalami ini setelah kehilangan atau trauma."

Namun Olivia tetap menolak mengakui. Baginya, kelemahannya adalah aib. Ia lebih memilih orang menganggapnya 'gila' daripada harus mengaku betapa rapuh dirinya sebenarnya.

Hari keempat, Samuel mengusulkan hipnosis ringan. Olivia sempat menolak, namun akhirnya setuju setelah Peter meyakinkan bahwa ini aman.

Lampu diredupkan, suara Samuel mengalun lembut, "Tarik napas dalam ... hembuskan ... Bayangkan dirimu di tempat yang damai ...."

Dalam kondisi setengah sadar, Olivia mulai bercerita hal-hal yang tak pernah ia ungkapkan. Tentang malam-malam penuh mimpi buruk kehilangan Cassandra, tentang suara pintu yang membuatnya panik seolah ada penyusup lagi, tentang bayangan darah yang terus membekas di kepalanya.

Peter menahan napas saat mendengar semua itu. Selama ini mereka pikir Olivia sekadar histeris. Tapi di bawah hipnosis, tidak ada kebohongan, hanya kebenaran yang terlontar.

Hari-hari berikutnya berjalan dengan pola yang sama. Olivia datang, menjalani terapi, berbicara, kadang menangis, kadang terdiam. Peter selalu menemani, meski ia sendiri mulai bingung: apa benar wanita ini sekadar korban trauma, atau ada sesuatu yang lebih dalam?

Davian jarang ikut, tapi ia selalu menunggu kabar. Setiap kali Peter pulang membawa laporan singkat, Davian hanya mengangguk tanpa komentar, menyembunyikan kegelisahannya di balik tatapan dingin.

Akhirnya, setelah tujuh hari penuh, sebuah telepon masuk. Suara Dr. Samuel terdengar di seberang, tenang tapi jelas. "Mr. Davian, Mr. Peter, saya rasa sudah saatnya saya memberikan laporan akhir mengenai kondisi Miss. Olivia."

Mereka berdua segera meluncur ke klinik.

Laporan yang Mengejutkan

Di ruang konsultasi, Samuel menyerahkan map tebal berisi catatan hasil tes. Ia menatap Davian dan Peter bergantian, lalu berkata dengan suara mantap, "Setelah serangkaian tes psikologis, pemeriksaan klinis, hingga hipnosis, saya bisa memastikan satu hal: tidak ada gangguan jiwa pada Miss. Olivia. Tidak ada indikasi skizofrenia, bipolar, depresi berat, atau delusi patologis. Dia normal."

Davian mengerutkan kening. "Tidak ada ... gangguan? Tapi selama ini dia-"”

Samuel mengangkat tangan, menghentikan, "Saya tahu bahwa dia mudah panik, emosinya tidak stabil, tampak seperti wanita gila. Tapi semua itu hanyalah manifestasi dari anxiety, kecemasan akibat rasa takut kehilangan bayinya. Itu bukan penyakit jiwa. Itu reaksi wajar seorang ibu yang pernah mengalami trauma besar."

Peter terperangah. "Jadi ... selama ini?"

Samuel mengangguk. "Selama ini, semua yang Anda atau orang lain kira sebagai kegilaan, hanyalah hasil dari rasa takutnya sendiri. Olivia normal, Sir. Sangat normal."

Davian membeku di kursinya. Kata-kata itu menghantamnya seperti palu godam. Jadi semua yang ia percaya tentang Olivia ... salah? Selama ini ia menganggap wanita itu lemah, rapuh, bahkan gila. Padahal, kenyataannya Olivia hanya seorang wanita yang berjuang sendirian menghadapi ketakutannya.

Ruangan konsultasi itu mendadak sunyi. Suara dokter Samuel yang tenang tadi masih menggema di kepala Davian dan Peter:

"Tidak ada gangguan jiwa. Tidak ada indikasi gila. Miss. Olivia normal. Semua yang Anda saksikan hanyalah manifestasi kecemasan takut kehilangan bayinya, tidak lebih."

Davian menegang di kursinya, matanya menyipit. Peter yang biasanya selalu dingin pun terlihat goyah, menoleh ke arah psikiater dengan raut wajah sulit dipercaya.

"Normal?" suara Davian akhirnya pecah, berat, "Anda yakin tidak salah membaca hasil, Dokter?"

Samuel menggeleng mantap. "Saya sudah memeriksa dari berbagai sudut: pemeriksaan gelombang otak, respon saraf, hipnosis, hingga tes manual. Tidak ada kelainan. Tidak ada delusi. Tidak ada halusinasi. Miss. Olivia sepenuhnya waras."

Peter mengernyit, dadanya naik turun. "Tapi ... kami pernah melihatnya, Dokter. Di rumah keluarganya, di kamar Olivia, dia menjerit, menangis, mengamuk, seolah ... seolah kehilangan akal. Kami menyaksikan dengan mata kepala kami sendiri."

Samuel menatap Peter dengan tenang, lalu menjawab pelan, "Maka saya katakan lagi, apa yang Anda lihat itu bukan kegilaan. Itu adalah ... dusta. Sebuah ekspresi yang dia bentuk sendiri, mungkin untuk mencari perhatian, mungkin untuk mempertahankan sesuatu yang dia takut kehilangan. Tapi itu bukan gejala medis. Itu pilihan perilaku."

Kata dusta itu jatuh di antara mereka seperti palu godam.

Davian mematung. Jantungnya berdetak keras, seolah menolak menerima.

Dusta? Jadi semua yang kulihat ... semua yang membuatku yakin Olivia gila ... hanyalah buatan? batin Davian.

Peter memalingkan wajah, menutup mulut dengan tangan, matanya bergetar. Ia ingat jelas hari ketika pertama kali mereka membuka kamar Olivia di rumah Morgan. Ingat jeritannya, tangisnya, tubuhnya yang gemetar seperti orang kesurupan. Semua yang selama ini ia tafsirkan sebagai bukti kegilaan ... ternyata hanyalah topeng.

"Tidak mungkin," gumam Peter, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.

Samuel menatap mereka bergantian, lalu menegaskan sekali lagi, "Saya seorang psikiater, bukan hakim. Yang bisa saya pastikan hanyalah: Olivia tidak gila. Jadi bila Anda berdua selama ini menganggapnya wanita sakit jiwa, maafkan saya ... Anda telah salah menilai."

Perjalanan pulang dari klinik terasa seperti perjalanan di dalam kabut. Mobil melaju mulus, tapi pikiran Davian dan Peter terhuyung-huyung.

Peter yang memegang kemudi, beberapa kali melirik ke kaca spion, memerhatikan wajah Davian yang menegang di kursi belakang. "Dav?" akhirnya ia membuka suara, pelan, "kalau dokter benar, berarti yang kita lihat di rumah Morgan itu, sebuah kebohongan. Olivia berpura-pura?"

Davian menggeram rendah, tangannya mengepal. "Aku tak bisa percaya. Aku menyaksikan sendiri dengan mataku. Semua histerianya ... semua tangisannya. Aku yakin itu nyata. Tapi sekarang ... sekarang aku harus menerima bahwa itu semua hanya sandiwara?"

Peter menarik napas dalam, nadanya getir. "Berarti Olivia tidak pernah gila, Dav. Dia hanya berpura-pura."

"Kita akan tanyakan langsung pada Olivia kebenarannya," ucap Davian yang menjadi keputusannya.

Mobil kembali sunyi. Hanya suara mesin dan gesekan roda dengan aspal yang terdengar, namun di dalam kepala mereka berdua, ada ribuan pertanyaan yang menjerit.

Keduanya terdiam lama. Ada rasa dikhianati, ada rasa bersalah, dan ada rasa takut. Karena jika Olivia benar-benar normal, maka segala kegilaan yang mereka lihat hanyalah topeng. Dan seorang wanita yang mampu menciptakan topeng setebal itu ... jelas memiliki sesuatu yang disembunyikan jauh lebih dalam.

1
Nor aisyah Fitriani
wahhhh ada bom yang akan siap meledak
Jelita S
mungkinkah ada konspirasi disini???
Casie mungkin anaknya Davian dengan Olivia?,,dan mungkin ini semua permainan Raymond?
Jelita S
Akhirnya,,,,Casie cepat satukan mom and Dady mu y😀😀
Archiemorarty: Benar Cassie
total 1 replies
Ir
kau yang mulai kau yang mengakhiri
kau yang berjanji kau yang mengingkari
Archiemorarty: Aku bacanya sambil nyanyi wehhh
total 1 replies
Hasbi Yasin
sadar juga davian takut kehilangan olivia
Archiemorarty: Siapa yang nggak takut kalau pas liat doi sekarat
total 1 replies
Jelita S
sabar y babang Davian
Jelita S
peter kamu Daebak🫰
Archiemorarty: Terbaik emang Abang Peter /CoolGuy/
total 1 replies
Annida Annida
lanjut tor
Archiemorarty: Siap kakak, terima kasih /Determined/
total 1 replies
Hasbi Yasin
hukuman nya kejam banget si davian udah di peringatin sma peter gk mau jdi olivia bunuh diri deh
Archiemorarty: Manusia nggak ada yang sempurna, kadang kalau emosi kan suka gitu, salah ngambil keputusan
total 1 replies
Jelita S
Biarkanlah ini mnjadi tragedi yg menyadarkan Davian untuk lebih peka lgi terhadap Olivia
Archiemorarty: Benar, karena gimana pun Davian juga manusia biasa /Cry/
total 1 replies
Ir
hayoo lhooo pian tanggung jawab luuu
kalo sampe Raymond tau wahh abis citra mu piann, di sebar ke sosial media dengan judul
" PEMBISNIS MUDA DAVIAN MAYER, MENJADI MENYEBABKAN SEORANG WANITA BERNAMA OLIVIA MORGAN BUNUH DIRI " tambah bumbu pelecehan dll wahh habis karir 🤣🤣🤣
Ir: hahahhaa 🤣🤣🤣
total 2 replies
Ir
kan jadi gila beneran ck
bisa diskusi baik² bisa di omongin baik² , suka banget ngambil keputusan saat emosi
Ir
ada dua sudut pandang berbeda secara aku pribadi, kan dari awal emang Olivia ga bilang dia gila, orang² aja yg bilang dia gila termasuk emak tirinya, nah seharusnya pian sama Peter jangan langsung menghakimi setidaknya tanya dulu alasan kepura²an nya itu tujuan nya apa, dan untuk Olivia kenapa ga jujur setelah pian tau kebohongan nya dia, apa aja yg selama ini dia alami di rumah Morgan dan selama menikah dengan Raymond
Archiemorarty: Hahahaha....sabar kawan, Olivia juga udah ngalamin banyak hal buruk. Dia cuman takut nggak bisa bareng Cassie lagi
total 3 replies
Ir
Olivia itu lebih ke trauma, takut, patah hati, kecewa, kehilangan dan semua itu Olivia pendem sendiri ga ada tempat buat di berkeluh kesah ga ada yg menguatkan, mental orang beda² jangan kan Olivia, aku aja sampe sekarang kalo ada tlp di jam 2/3 tiga pagi rasanya masih takut, karna jam itu aku pernah dapet kabar adek ku koma, sedangkan posisi aku lagi kerja di luar kota sampe akhirnya jam 2 siang dapet kabar dia udah ga ada, mungkin keliatan nya cuma hal sepele tapi bagiku itu membuat ku trauma
Archiemorarty: Benar, karena mereka nggak ngerasain rasanya.
total 3 replies
Hasbi Yasin
jadi gila beneran kan biarlah casandra kehilangan olivia biar davian ngrasa bersalah
Archiemorarty: hehehe....apa itu damai buat othor
total 1 replies
Jelita S
aku jga jdi dilema Thor mau mengasihani siapa
Archiemorarty: Drama dikit buat mereka
total 1 replies
Nor aisyah Fitriani
lanjutt terussa
Archiemorarty: Siap kakak
total 1 replies
Jelita S
kasihan Olivia tpi kenyataan harus tetap diterima🔥🔥🔥🔥
Archiemorarty: Benar itu
total 1 replies
Jelita S
aduh misteri apalagi kah ini???????????
Archiemorarty: Muehehehe
total 1 replies
Ir
wait suami, kapan mereka menikah kak 😳😳😳
Archiemorarty: Hooh..saya masih belum move on dari bapak Rion dan Lili /Sob/
total 3 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!