“Dikhianati suami, ditikam ibu sendiri… masihkah ada tempat bagi Andin untuk bahagia?”
Andin, seorang wanita sederhana, menikah dengan Raka—pria miskin yang dulu ia tolong di jalan. Hidup mereka memang pas-pasan, namun Andin bahagia.
Namun kebahagiaan itu berubah menjadi neraka saat ibunya, Ratna—mantan wanita malam—datang dan tinggal bersama mereka. Andin menerima ibunya dengan hati terbuka, tak tahu bahwa kehadiran itu adalah awal dari kehancurannya sendiri.
Saat Andin mengandung anak pertamanya, Raka dan Ratna diam-diam berselingkuh.
Mampukah Andin menghadapi kenyataan di depannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rafizqi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35
Hans mendekat, membawa Andin kedalam pelukan hangatnya.
"Dia pasti sudah bahagia disana, Din. Dia juga pasti merindukan mu. Kamu harus kuat demi anakmu" lirih Hans menenangkan Andin sembari mengusap pucuk kepala Andin lembut.
Andin mengangguk, "Terimakasih Hans" lirihnya hampir tak terdengar, mengusap air matanya mencoba menguatkan diri.
_ _
Langit sore mulai berubah jingga saat Hans membawa Andin pulang. Tak lama, mobil berhenti di depan rumah besar milik Hans.
Andin baru pulang dari rumah sakit. Tubuhnya masih terasa lemah, tapi hatinya sedikit lebih tenang setelah pertemuan tak terduga dengan anak kecil tadi siang.
Hans berjalan di sampingnya, diam-diam menuntunnya hingga tiba di halaman belakang rumah.
Begitu pintu terbuka, Andin tertegun.
Taman luas itu kini penuh dengan kelopak bunga mawar putih yang disusun membentuk jalan setapak menuju tengah taman.
Di ujungnya berdiri sebuah meja bundar kecil, dihiasi lilin-lilin dan lampu gantung yang berkilauan lembut.
Musik piano mengalun pelan di udara senja.
“Hans… ini semua… apa?” Andin berbisik, suaranya nyaris tak keluar. Menatap Hans menuntut penjelasan.
Hans tersenyum hangat.
“Kejutan kecil untuk seseorang yang sudah berjuang terlalu lama.”
Andin terpaku.
Cahaya matahari sore menyentuh wajah Hans, membuat matanya tampak teduh, seperti dulu—saat mereka masih kecil dan Hans selalu melindunginya dari anak-anak nakal di sekolah.
Hans melangkah perlahan, berdiri tepat di hadapan Andin.
Ia mengambil napas panjang, lalu menatap dalam ke matanya.
“Andin… aku tahu, hatimu telah hancur berkali-kali. Aku tahu, aku tak bisa menghapus masa lalu, tapi aku ingin menjadi seseorang yang menemanimu menghadapi masa depan.”
Andin menatapnya lekat-lekat, tubuhnya gemetar.
“Hans, aku—”
Namun sebelum ia melanjutkan, Hans berlutut satu kaki di hadapannya.
Sebuah cincin kecil berkilau di tangan kirinya.
“Aku tidak ingin kau menghadapi dunia sendirian lagi,” ucap Hans pelan tapi tegas.
“Bukan karena aku ingin menggantikan siapa pun… tapi karena aku ingin mencintaimu apa adanya, tanpa syarat, tanpa masa lalu."
"Andin… maukah kau menjadi istriku?”
Udara terasa berhenti.
Andin menatapnya lama, matanya berair. Bayangan masa lalu muncul silih berganti di pikirannya—pengkhianatan, kehilangan, kesepian, dan luka yang begitu dalam.
Namun di depan matanya kini berdiri seorang pria yang selalu hadir tanpa pamrih.
Pria yang dulu ia tolak dengan hati rapuh, kini melamarnya kembali—dengan kesabaran dan cinta yang tulus.
Air matanya menetes satu demi satu.
Andin menutup mulutnya, berusaha menahan suara tangis.
“Hans…” suaranya bergetar.
“Kau selalu datang… di saat aku benar-benar kehilangan segalanya.”
Hans tersenyum lembut.
“Karena aku ingin jadi alas tempatmu berdiri saat kau tak kuat lagi berjalan.” jawab Hans lembut.
Andin menatap cincin di tangan Hans—cincin sederhana, tapi hangat.
Lalu dengan tangan gemetar, ia mengangguk pelan.
“Ya, Hans… aku mau.” jawab Andin lirih, namun yakin pada keputusannya.
Sekeliling mereka diterangi cahaya lilin yang berkilau, diiringi semilir angin senja.
Hans tersenyum lebar, berdiri dan memeluknya erat, sementara air mata Andin mengalir di bahunya.
Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Andin merasa hatinya pulang.
Bukan kepada masa lalu, tapi kepada seseorang yang benar-benar mencintainya tanpa syarat.
Andin dan Hans pun saling berpelukan erat. Hans mengangkat tubuh Andin, berputar, dan tertawa bahagia.
"Hans..... jangan kencang-kencang... " Teriak Andin saat tubuhnya di gendong Hans dengan berputar.
.
.
.
Bersambung.