Naya, gadis kaya raya yang terkenal dengan sikap bar-bar dan pembangkangnya, selalu berhasil membuat para dosen di kampus kewalahan. Hidupnya nyaris sempurna—dikelilingi kemewahan, teman-teman yang mendukung, dan kebebasan yang nyaris tak terbatas. Namun segalanya berubah ketika satu nama baru muncul di daftar dosennya: Alvan Pratama, M.Pd—dosen killer yang dikenal dingin, perfeksionis, dan anti kompromi.
Alvan baru beberapa minggu mengajar di kampus, namun reputasinya langsung menjulang: tidak bisa disogok nilai, galak, dan terkenal dengan prinsip ketat. Sayangnya, bagi Naya, Alvan lebih dari sekadar dosen killer. Ia adalah pria yang tiba-tiba dijodohkan dengannya oleh orang tua mereka karna sebuah kesepakatan masa lalu yang dibuat oleh kedua orang tua mereka.
Naya menolak. Alvan pun tak sudi. Tapi demi menjaga nama baik keluarga dan hutang budi masa lalu, keduanya dipaksa menikah dalam diam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
Keesokan paginya.
Pagi di rumah keluarga Firman seharusnya tenang dan damai tapi tidak di lantai dua tepat di dalam kamar Naya. Tirai masih tertutup rapat. Lampu meja menyala sejak malam tadi dan gadis itu masih duduk di tepi ranjang dengan hoodie besar menutupi tubuhnya.
Matanya sembab karena menangis semalaman, dan marah yang ditahan. Amarah yang mengendap, tidak meledak, tapi membakar dari dalam.
“mama naya kangen sama mama,Papa hampir mukul naya… cuma karena naya nggak mau dijodohin,” gumamnya pelan sambil membenamkan wajahnya dibantalnya.
Ia menoleh ke pintu kamarnya yang terkunci sejak semalam. Tidak ada ketukan. Tidak ada suara.
Sepi, Tapi dingin.
Ia tahu Papa pasti sedang menahan amarah di lantai bawah. Dan Ibu Mita? Entah sedang memasang wajah malaikat ke pelayan, atau pura-pura jadi penyelamat seperti semalam.
Naya membuang napas berat. Ingin bolos. Ingin tidur seharian. Ingin kabur.
Tapi satu hal yang masih tersisa dari rasa tanggung jawab dalam dirinya ,kampus.
Ia harus masuk bukan karena ingin, tapi karena jika ia melewatkan jadwal lagi, nilai dari dosen killer itu bisa benar-benar anjlok.
Dengan enggan, ia bangkit masuk ke kamar mandi dan menyelesaikan mandi,Menyambar tas selempang, lalu membuka pintu kamar tanpa suara. Ia menuruni tangga perlahan, memastikan tak ada satu pun dari orang tuanya yang muncul. Tapi ketika sampai di ruang makan, yang ia lihat hanya meja kosong. Papa belum berangkat ke kantor, tapi juga tidak menunggu sarapan.
Bagus. Tidak perlu basa-basi pagi-pagi.
Ia keluar rumah dengan langkah cepat, membuka garasi, dan masuk ke dalam mobil pribadinya sebuah sedan hitam yang biasanya ia kendarai hanya saat sedang ingin “menunjukkan status”.
Mesin dinyalakan. Musik diputar. Tapi hatinya tetap berisik.
“Kalau bisa aku hindari wajah dosen killer itu hari ini... aku bakal anggap hari keberuntungan,” gumamnya, lalu menginjak pedal gas dan melaju ke kampus.
Namun ternyata, semesta lagi-lagi punya rencana lain.
Baru turun dari mobil dan berjalan menuju gedung perkuliahan, langkahnya terhenti saat melihat sosok jangkung dengan kemeja biru tua berdiri tak jauh dari taman kecil depan fakultas.
Pak Alvan.
Lagi.
Jantung Naya langsung naik dua tingkat. Ia spontan menoleh ke arah sebaliknya, pura-pura tertarik pada papan pengumuman di dinding kampus. Padahal matanya tidak fokus. Tulisan di papan itu seperti huruf Cina kuno baginya saat ini.
“Astaga… kenapa juga harus ketemu dia secepat ini,” batinnya menjerit. “Belum siap, Sama sekali belum siap.”
Ia menoleh cepat ke kiri berniat berbelok ke jalur belakang kampus, bahkan jika harus muter dua kali lipat lebih jauh demi tidak harus tatap muka dengan pria yang semalam duduk di seberang meja makan sebagai calon tunangannya.
Tapi sebelum langkahnya berhasil menghilang…
“Naya.”
Suara itu menghentikan dunia sejenak.
Pelan,tenang tapi jelas Dan datang dari arah yang paling ia hindari.
Naya menghentikan langkah. Perlahan ia menoleh dengan senyum paling... kaku yang bisa ia buat hari ini.
“Pagi, Pak,” ucapnya pendek. Suaranya terdengar agak serak karena semalaman menahan marah dan begadang.
dante menatapnya sekilas, tak ada senyum, tak ada basa-basi. “Mau ke ruang kelas tapi muter ke jalur belakang?”
“Eh…” Naya mencoba tertawa pelan, “Nggak, kok. Saya cuma… lagi pengin lihat info beasiswa. Siapa tahu masih kebagian.”
Pak Alvan menaikkan satu alis.
“Beasiswa untuk mahasiswa seperti kamu? Yang bolos dua kali dan baru setor tugas dua lembar dari lima?”
Naya tersenyum kecut. “Ya, siapa tahu rezeki nggak ke mana…”
dante menyilangkan tangan di dada, menatapnya tajam.
“Kenapa? Masih marah soal semalam?”
Naya meneguk ludah pelan. “Bapak yakin itu pertanyaan yang pantas ditanya pagi-pagi begini?”
Alvan mengangguk. “Pantas. Karena kamu jelas-jelas berusaha kabur.”
Naya menarik napas panjang. “Saya cuma... pengin hari ini berjalan normal. Tanpa ada yang mengungkit makan malam penuh bencana itu.”
Alvan tidak langsung menjawab. Ia hanya memandangi wajah Naya beberapa detik, lalu berkata singkat
“Kalau mau pura-pura normal, jangan lupa bersikap normal juga.”
Setelah itu, ia berbalik meninggalkan Naya yang masih terdiam di tempat.
Naya terdiam di tempat. Bibirnya mengerucut kesal, dan matanya memelototi punggung dosen killer itu dengan geram.
“Nyebelin banget. Baru jam segini udah ngasih quotes menyakitkan.”
Tangannya mulai meraih tali tas selempangnya, memegang erat seperti sedang menimbang-nimbang.
“Kalau dilempar ke belakang kepala dia pas jalan... kena nggak, ya? Kena nggak, ya?”
Tapi baru saja ia mengangkat sedikit tasnya…
Alvan berhenti dan berbalik.
Spontan, Naya langsung turunkan tas, pasang senyum paling manis seperti anak santri teladan di depan kyai.
“Iya, Pak? Ada yang lupa?”
Dante menyipitkan mata sedikit, seolah curiga, tapi tetap datar. “Nggak. Cuma mau pastikan kamu beneran ke kelas, bukan ke kantin.”
Naya mengangkat tangan, pose bersumpah. “Demi pendidikan bangsa, Pak.”
Alvan mengangguk pelan, lalu kembali berjalan.
Begitu punggungnya benar-benar hilang dari pandangan, Naya mendesah panjang sambil bergumam kesal.
“Kalau bukan karena nilai... aku udah resign jadi mahasiswanya!”
Langkah Naya masih berat menuju kelas. Wajahnya kesal bukan main, alis menyatu seperti penggaris lipat, dan bibirnya mengerucut seperti siap meledak.
Belum juga sampai ke pintu kelas, terdengar suara familiar dari arah samping.
“Wah, wah... ada yang pagi-pagi udah mau makan orang, nih.”
Arya.
Mahasiswa paling santai se-angkatan Naya, sekaligus teman yang hobi muncul di saat-saat tidak diminta. Dengan jaket semi kulit dan senyum menyebalkan khas anak jurusan yang katanya “anti stres,” Arya menghampiri dengan langkah ringan.
Naya melirik malas. “Minggir, Ya. Aku nggak ada mood buat bercanda.”
Arya justru makin mendekat. “Tapi ekspresi kamu tuh kayak orang habis dikasih nilai C padahal udah ngisi presentasi buat orang sekelas.”
“Lebih parah dari itu,” gumam Naya.
“Hmm…” Arya melirik tajam. “Jangan-jangan... ini tentang si dosen killer kita yang tampan tapi menusuk itu?”
Naya berhenti. Menoleh. “Kamu barusan bilang... tampan?”
Arya mengangkat bahu. “Fakta objektif, Nay. Kalau bukan tampan, nggak mungkin kamu langsung pasang mode ninja setiap kali dia muncul.”
Naya memutar bola mata. “Dia muncul, aku pasang mode ninja. Dia ngomong, aku pasang mode tahan muntah. Beda.”
Arya tertawa. “Oke, noted. Tapi serius, kamu kenapa? Kok kelihatan kayak habis diputusin padahal belum jadian.”
Naya menarik napas panjang. Lalu dengan satu kalimat datar, ia menatap Arya
“Bayangin lo dijodohin sama dosen sendiri.”
Arya terdiam. Butuh tiga detik untuk mencerna, lalu
“Hah?!! Tunggu, tunggu, ini... film apa hidup lo sekarang?”
“Sayangnya bukan film. Nggak ada sutradara. Nggak ada naskah. Langsung action dari Papa gue.”
Arya melongo. “Trus... lo tolak, dong?”
“Jelas. Tapi ya gitu… Papa gue nyaris lempar sandal, Mita nyengir kayak menang arisan.”
Arya terbahak setengah takut. “Gue pengen ketawa tapi takut dosa. Sumpah... lo hidup di sinetron episode spesial.”
Naya mengangguk pelan, lalu membuka pintu kelas.
“Yaudah, masuk dulu. Sebelum dosen killer itu beneran lempar kapur ke jidat gue.”
Arya nyengir, lalu mengikuti dari belakang. Tapi sebelum benar-benar masuk, dia sempat berbisik pelan
“Tapi jujur, Nay… kalau lo beneran dijodohin sama dia… kampus bakal geger.”
Naya melirik tajam. “Gue duluan yang geger. Geger sendi.”
Dante tertawa kecil, seperti biasa.Tapi tawa itu hanya sampai bibir.Begitu Naya berjalan lebih dulu ke bangku tengah, langkah Arya melambat. Ia masih berdiri sebentar di ambang pintu kelas, tatapannya mengikuti punggung Naya yang berjalan sambil menggerutu kecil.
Senyumnya memudar perlahan.Nyeri kecil menyelinap di dada kirinya.Rasa yang selama ini dia sembunyikan rapat diselipkan di balik candaan, disembunyikan di antara “udah kayak adik sendiri”, dan dikubur hidup-hidup setiap kali Naya cerita soal cowok lain dan hari ini, tiba-tiba mencuat tanpa ampun.
Arya menghela napas. Matanya masih tertuju ke arah Naya, yang kini duduk dan sibuk membuka buku catatan dengan alis berkerut.
“Kenapa bukan gue?” batinnya lirih.
Ia tahu, ia selalu bisa bikin Naya ketawa.
Ia tahu, hanya dia yang Naya ajak curhat sambil makan kerupuk di kantin.
Ia tahu, selama ini dialah tempat pulang Naya yang paling aman.
Tapi...
“Ternyata tempat aman... nggak selalu bisa jadi tempat singgah terakhir, ya?”
Arya akhirnya melangkah masuk ke kelas dan duduk di sebelah Naya seperti biasa. Wajahnya santai. Mulutnya masih bisa bercanda. Tapi jantungnya terasa berat.
Naya menoleh, tidak menyadari apa pun. “Tadi gue udah bilang belum sih, kayaknya hari ini gue bakalan masuk daftar korban Pak Alvan lagi.”
Arya tersenyum. “Tenang aja. Kalau lo dihukum, gue ikut. Biar satu paket.”
“Solidaritas?” tanya Naya.
“Enggak. Soalnya kayaknya... satu-satunya cara gue bisa bareng lo terus ya cuma kalau kita dihukum bareng.”
Naya tertawa tanpa curiga. “Gue appreciate banget, sumpah.”
Dan di saat tawa itu terdengar, Arya hanya bisa menatapnya lalu mengalihkan pandangan ke papan tulis.
Dan diam-diam, berdoa.
“Jangan sampai lo bahagia sama orang yang nggak bisa jaga hati lo, Nay. Tapi kalau dia bisa... gue yang harus belajar ikhlas.”
🍒🍒🍒🍒