Virginia Fernandes mencintai Armando Mendoza dengan begitu tulus. Akan tetapi kesalah pahaman yang diciptakan Veronica, adik tirinya membuatnya justru dibenci oleh Armando.
Lima tahun pernikahan, Virginia selalu berusaha menjadi istri yang baik. Namum, semua tak terlihat oleh Armando. Armando selalu bersikap dingin dan memperlakukannya dengan buruk.
Satu insiden terjadi di hari ulang tahun pernikahan mereka yang kelima. Bukannya membawa Virginia ke rumah sakit, Armando justru membawa Vero yang pura-pura sakit.
Terlambat ditangani, Virginia kehilangan bayi yang tengah dikandungnya. Namun, Armando tetap tak peduli.
Cukup sudah. Kesabaran Virginia sudah berada di ambang batasnya. Ia memilih pergi, tak lagi ingin mengejar cinta Armando.
Armando baru merasa kehilangan setelah Virginia tak lagi berada di sisinya. Pria itu melakukan berbagai upaya agar Virginia kembali.
Apakah itu mungkin?
Apakah Virginia akan kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18
“Armando Mendoza! Kamu benar-benar sudah gila, ya! Virginia sudah meninggal. Bagaimana lagi caranya bicara padamu?” Bukankah kamu selalu membencinya karena dia mengikat dan memaksa untuk menikah denganmu? Sekarang dia sudah tidak ada lagi di hadapanmu. Sekarang kamu sudah bebas. Bukankah seharusnya kamu merasa senang? Tapi kenapa kamu masih juga mengganggunya?”
Cecilia benar-benar geram. Tingkah kakaknya semakin di luar nalar. Apa itu karena kakaknya yang tak bisa menerima berita kematian istrinya?
“Cecilia. Bukan itu maksudku.” Armando semakin bingung tak tahu harus berkata apa. Semakin ia bicara, semakin orang salah paham padanya. “Cecilia…” Armando mencoba meraih tangan Cecilia. Matanya memelas penuh rasa ingin dimengerti, tapi wanita itu menepisnya.
“Cecilia, dengar kakak! Kakak sudah berbuat salah dalam banyak hal. Cecilia aku mencintainya. Aku mencintai Virginia.”
Plakkk
Tamparan keras mengenai pipi Armando. Pria itu tersentak. Ini Kedua kalinya adik perempuannya melayangkan tangan untuknya. Sebenarnya apa salahnya?
“Kata-katamu sama sekali tidak masuk akal. Setelah Kakak ipar tiada baru kamu bicara tentang cinta? Apa gunanya? Sama sekali tidak ada. Kata-katamu sudah tidak berguna.” Cecilia menuding wajah kakaknya dengan ujung jari telunjuk.
“Terserah. Kamu mau bilang apa. Aku tidak peduli kamu percaya atau tidak. Sekarang, asal kamu bawa aku bertemu Virginia, kamu mau pukul aku sepuasmu juga boleh. Aku tidak akan melawan. Marahi saja aku sampai kamu puas. Aku akan terima!” Armando sudah benar-benar pasrah, pria itu bahkan menangkupkan dua tangannya memohon.
Cecilia mundur lalu duduk di salah satu sofa. Apa yang saat ini dirasakan kakaknya, sedikit banyak ia tahu. Ia ikut merasakan. Apa yang lebih sakit daripada rindu yang tak mungkin terbalas. Apalagi berbalut oleh kesalahan. Tapi… “Kamu sudah terlambat.” Begitu lirih suara Cecilia.
“Apa kamu tahu betapa Virginia mencintaimu. Sejak kamu menyelamatkan dia waktu itu. Dia mencintaimu seperti orang gila. Sudah berulang kali aku katakan padanya, kamu bukan lagi orang yang dulu ingin menikahinya. Tapi dia tetap tak peduli. Dia terlalu naif, berpikir jika suatu saat kau akan membalas cintanya.” Cecilia tersenyum getir. Memegang dadanya yang terasa sesak.
“Apa? Apa maksudmu? Aku menyelamatkan dia? Kapan?” Armando tidak mengerti arah pembicaraan Cecilia.
“Sepuluh tahun lalu kamu menyelamatkan seorang gadis depresi yang hendak bunuh diri di sungai, apa kamu lupa?”
Armando tertegun, mencoba untuk mengingat, hingga sebuah kilasan ingatan masa itu hadir di pelupuk matanya.
...
Seorang gadis remaja sedang berdiri di sebuah jembatan. Di bawahnya mengalir air sungai yang sangat deras.
“Ibu maafkan aku. Aku benar-benar sudah tidak sanggup lagi. Aku akan menemuimu, Ibu.”
Armando yang saat itu kebetulan sedang berolahraga dan lewat di sana melihat itu sesuatu yang janggal. Ia memperhatikan dan segera menyadari apa yang hendak dilakukan oleh gadis itu. Armando berteriak sambil berlari mendekat dan mencoba mencegah. Akan tetapi terlambat. Gadis itu sudah melompat terjun ke sungai.
Armando melompat ke sungai dan berusaha menyelamatkan gadis itu. Berhasil. Armando menggendong dan membawanya ke atas. Membaringkan gadis yang sudah tidak sadarkan diri.
“Nona… Nona sadarlah!” Armando menepuk-nepuk pipi gadis itu. “Nona… Bertahanlah Nona!”
Armando berulang kali menekan dada gadis itu hingga air keluar dari mulutnya. Beberapa saat kemudian Virginia tersadar. Armando bernapas lega.
Virginia menatap kosong ke arah Armando. “Kenapa menyelamatkanku? Orang sepertiku meskipun aku mati juga takkan ada yang peduli.” ucap Virginia lirih.
“Aku peduli,” sahut Armando tegas.
Virginia menoleh dan terdiam. Hanya menatap wajah pria yang telah menjadi dewa penyelamatnya.
“Meski aku tak tahu apa yang kau alami, tapi aku akan mencoba mengerti. Ketahuilah, hidup ini bagaikan ombak laut. Selalu ada pasang surut. Sekarang mungkin kau sakit dan sedih karena kau sedang di titik terendah. Tapi percayalah, suatu saat masa sulit akan segera berlalu.” Armando mengeluarkan kata-kata bijaknya.
Virginia menggeleng lemah. Pesimis. “Tidak akan,” ucapnya.
“Pasti akan berlalu. Yakinlah, semua yang kau alami saat ini, akan menjadi nutrisi masa depan. Menjadikan dirimu lebih kuat. Menyangga langkahmu menuju tempat lebih tinggi dan indah.”
“Benarkah?”
“Tentu saja benar. Karena hanya dengan hidup kau akan bisa menemukan sesuatu yang berarti dalam hidupmu.”
...
“Virginia, juga bilang padaku, orang yang pernah menyelamatkannya adalah kakak kecil yang dulu pernah berjanji akan menikahinya dan juga Kakak dari sahabat terbaiknya.” Cecilia melanjutkan ceritanya.
“Dia sangat bahagia. Dia merasa pertemuan kalian adalah takdir jodoh. Virginia sejak kecil tidak punya ibu. Ibu tiri dan adik tirinya selalu menyiksanya hingga membuatnya depresi berat.” Cecilia menangis tergugu. Armando yang mendengar semua cerita itu merasa dadanya kian sakit.
“Kak, Virginia sudah sangat berusaha. Dia menulis banyak surat untukmu. Dia juga bilang saat ulang tahunnya yang ke-24 dia akan mengungkapkan perasaannya. Tapi kamu….?” Cecilia menjeda ucapannya guna mengurai sesak. Menghapus setitik air matanya.
“Kamu malah tidak mengenalinya. Kamu mengira Veronica adalah mutiara. Bahkan dengan kejam kamu bersekutu dengan orang yang hampir membunuhnya.” Cecilia semakin tergugu.
“Apa kamu tahu? Virginia sebenarnya pernah ingin melepasmu dia sudah siap untuk pergi. Akan tetapi secara tidak sengaja ia mendengar Veronica dan ayahnya berencana menipumu. Setelah itu dia memaksamu menikah. Itu dia lakukan karena ingin menyelamatkanmu, tapi kamu kenapa tidak percaya padanya.”
“Kenapa, kak? kenapa harus begitu kejam? Apa kamu tidak sadar? Selama lima tahun ini, kamulah yang menghancurkan mentalnya. Kamulah yang membunuhnya!” teriak Cecilia. Wanita itu kembali bangkit dan mendorong dada Armando hingga pria itu terjengkang ke belakang .
Armando memukul-mukul dadanya. Lalu menghapus wajahnya yang telah basah. Bangkit berdiri dan menghampiri adiknya. “Cecilia, kenapa harus bicara begitu banyak? Kenapa tidak membawa aku pergi menemui Virginia sekarang juga? Lebih baik pertemukan aku dengan Virginia. Kalau tidak, aku akan memaksa mengakuisisi grup Morantes!”
“Armando! Kamu gila ya?” Cecilia semakin murka dan tak habis pikir dengan kakaknya.
Armando tidak peduli dengan teriakan Cecilia. Pria itu mengambil ponselnya yang tersimpan di saku jas. “Dalam waktu tiga hari, lakukan apa pun. Grup Morantes harus berada di bawah kekuasaan grup Mendoza!” Memberi perintah pada seseorang di seberang telepon.
Armando melangkah pergi meninggalkan Cecilia yang terus berteriak memanggilnya.
“Grup Morantes adalah kebanggaan mu. Jika aku mengganggunya, kamu pasti akan muncul, kan?”
kl ga mh dia mti jg bkln sia2,mna yg jhat msh hdp enk pula.....bls mreka dong buat bkti cnta sm istrimu,biar sma2 mraskn gmna skitnya...