"Ada sebuah kisah kuno dari gulungan tua... tentang seekor naga yang tak mati meski semesta memutuskan ajalnya."
Konon, di balik tirai bintang-bintang dan bisikan langit, pernah ada satu makhluk yang tak bisa dikendalikan oleh waktu, tak bisa diukur oleh kekuatan apa pun—Sang Naga Semesta.
Ia bukan sekadar legenda. Ia adalah wujud kehendak alam, penjaga awal dan akhir, dan saksi jatuh bangunnya peradaban langit.
Namun gulungan tua itu juga mencatat akhir tragis:
Dikhianati oleh para Dewa Langit, dibakar oleh api surgawi, dan ditenggelamkan ke dalam kehampaan waktu.
Lalu, ribuan tahun berlalu. Dunia berubah. Nama sang naga dilupakan. Kisahnya dianggap dongeng.
Hingga pada suatu malam tanpa bintang, seorang anak manusia lahir—membawa jejak kekuatan purba yang tak bisa dijelaskan.
Ia bukan pahlawan. Ia bukan penjelajah.
Ia hanyalah reinkarnasi dari sesuatu yang semesta sendiri pun telah lupakan… dan takutkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Radapedaxa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
Aura dua sosok itu meledak bersamaan.
Ruang tamu yang tadinya hangat berubah menjadi medan perang. Sofa terangkat, jendela pecah, dinding bergetar seperti hendak roboh.
Elsha menjerit tertahan, tubuhnya terhempas ke belakang karena tekanan energi.
Namun seketika Asterion berlari ke sisinya, meraih tangan ibunya.
“Tenang Bu, aku ada di sini!”
Ia melepaskan sedikit auranya—tak banyak, hanya cukup untuk membuat pelindung berbentuk kubah transparan yang menahan gelombang aura brutal dua pria itu. Peluh dingin mengalir di keningnya. Meski kekuatannya belum kembali penuh, nalurinya sebagai Naga Semesta menolak membiarkan ibunya menderita.
Astaga… dua idiot ini bahkan belum mulai adu pukul, rumah hampir rata dengan tanah. Kalau begini terus, jangan-jangan aku harus cari kontraktor buat renovasi sebelum masuk akademi.
Ryu bergerak duluan. Dalam sekejap ia menghilang dari pandangan.
“Menghilang!?” Nebula terbelalak, kehilangan jejak.
Namun dalam sepersekian detik, sebuah bayangan muncul tepat di hadapannya.
“Di sini kau!”
BOOM!
Tinju Ryu menghantam wajah Nebula keras sekali, hingga tubuhnya terlempar menembus atap rumah. Kayu, genteng, dan debu beterbangan ke langit malam.
Ledakan itu menggema, mengguncang jalanan di sekitar.
Para prajurit Stellaris yang sedang santai di luar—menikmati kopi, rokok, dan obrolan kosong—terlonjak kaget.
“Apa itu!?”
“Ledakan dari rumah Komandan Ryu!”
“Cepat! Bersiap!”
Cangkir-cangkir kopi jatuh pecah. Mereka meraih senjata dan siaga, wajah-wajah mereka pucat. Tak satu pun berani gegabah masuk—karena mereka bisa merasakan aura dari dua sosok di dalam sana jauh melampaui jangkauan mereka.
Debu berhamburan ketika sosok Nebula melayang di udara.
Ia menyentuh pipinya yang memar, lalu… tersenyum.
Ryu muncul di depannya dalam sekejap. Tatapannya tajam. “Kau bisa melayang? Dan tidak terluka? Sudah kuduga… kau bukan orang biasa. Katakan siapa sebenarnya dirimu, Nebus!”
Nebula merapikan bajunya santai, seolah tinju barusan hanya angin lalu.
“Sudah kubilang. Aku cuma orang biasa… yang ingin jadi bodyguard Tuan Asterion.”
Tanpa menunggu jawaban, Ryu melesat sekali lagi.
Udara terbelah, suara sonic boom terdengar setiap kali ia meluncur.
Namun kali ini Nebula tidak mau dipukul dua kali. Ia mengangkat tangannya, menangkis tinju Ryu dengan telapak terbuka.
BOOOOM!
Gelombang kejut menghancurkan awan di atas mereka, cahaya petir kosmik berkilat di langit malam.
Keduanya melesat bagai kilatan cahaya.
Tinju, tendangan, tebasan pedang energi, dan serangan aura bertubi-tubi.
Ryu mengerahkan semua tekniknya. Setiap pukulannya bisa merobohkan bangunan, setiap ayunannya mampu menebas baja.
Namun Nebula… mengimbanginya dengan mudah. Bahkan sesekali menangkis dengan satu tangan sambil tersenyum.
Tubuh Ryu terhempas ke tanah, menghancurkan taman depan rumah. Ia berguling lalu bangkit, napasnya berat.
“Kuat sekali… dia menangkis serangan penuhku tanpa kesulitan. Ini bukan level orang biasa. Dari tekanan auranya… dia mungkin setara para petinggi Stellaris…”
Keringat dingin menetes dari pelipisnya.
“…dan yang lebih gila, aku merasakan energi Star Soul tingkat 6!”
Di sisi lain, Elsha hanya bisa menatap dengan wajah pucat.
“Ryu… hentikan semua ini…!”
Tangannya gemetar saat menggenggam erat pelindung aura Asterion.
“Bagaimana mungkin… orang asing itu bisa menandingi suamiku…? Tidak, lebih dari itu—dia menekan Ryu!”
Air mata hampir menetes, namun Asterion menepuk tangannya lembut.
“Tenang, Bu. Ayah bukan tipe orang yang mudah menyerah.”
Ryu melompat lagi, kali ini mengerahkan teknik khususnya. Pedang energi di tangannya memanjang, aura biru membentuk naga raksasa yang melesat ke arah Nebula.
“Dragon Fang Slash!”
Tebasan itu membelah udara, meninggalkan garis cahaya membara.
Nebula menatapnya datar, lalu mengangkat tangannya.
“Lucu. Kau pikir aku akan takut?”
Dengan mudah ia menghantam serangan naga itu dengan kepalan tangan.
CRAAASSHH!
Naga energi hancur, sinarnya memercik ke segala arah sebelum lenyap.
Ryu ternganga. “Dia menghancurkan teknik pamungkas ku dengan… satu pukulan?”
Nebula hanya terkekeh. “Aku harus mengakui, pedangmu cukup indah. Tapi sayang, itu tidak cukup untuk melukaiku.”
Asterion menyaksikan semuanya dengan ekspresi campur aduk.
Satu sisi ia kesal, satu sisi ingin tertawa, satu sisi lagi ingin lari dari rumah.
Ini benar-benar keterlaluan. Kalau Ayah kalah, harga dirinya hancur. Kalau Ayah menang, Nebula mungkin ngamuk dan membuka identitasnya. Apapun hasilnya, aku yang akan kena imbasnya!
Ia menatap ibunya. Elsha tampak pucat, tubuhnya gemetar.
Asterion hanya bisa menarik napas panjang.
Ryu tidak menyerah. Ia melesat sekali lagi, kali ini membombardir dengan puluhan tebasan bertubi-tubi. Cahaya biru memenuhi langit, setiap tebasan menimbulkan ledakan kecil.
Nebula menghindar dengan gerakan santai, terkadang menangkis dengan jari, seolah serangan itu hanya latihan pemanasan.
Akhirnya ia meluncur maju, menendang Ryu keras sekali hingga tubuh sang komandan terhantam tanah, menciptakan kawah besar di depan rumah.
DOOOOM!
Tanah bergetar, debu mengepul. Prajurit Stellaris berlari ke arah kawah, tapi segera berhenti ketika merasakan aura mematikan di dalamnya.
Mereka hanya bisa menatap dari jauh dengan wajah pucat.
“Komandan…kalah? monster macam apa dia ini…?”
Ryu bangkit perlahan, darah menetes dari bibirnya. Matanya menyala dengan tekad membara.
“Tidak peduli siapa kau… aku tidak akan biarkan kau mendekati keluargaku!”
Nebula menatapnya sejenak. Senyumnya memudar, digantikan tatapan lebih serius.
“Kalau begitu… buktikan kau layak jadi tameng bagi mereka.”
Mereka saling menatap, aura kembali meledak.
Udara seakan berhenti berputar, waktu terasa melambat.
Asterion menutup wajahnya dengan telapak tangan.
Astaga…. Kalau begini terus, rumah ini bukan cuma hancur—tetangga sebelah pun bakal ikutan bangkrut karena getaran pertarungan dua orang idiot ini.
Elsha hanya bisa berdoa lirih.
“Ya Tuhan… hentikanlah mereka sebelum saling membunuh…"
Udara kembali pecah.
Dua sosok itu melesat dengan kecepatan yang sulit ditangkap mata. Ryu, meski tubuhnya sudah babak belur, masih mengerahkan semua tenaga tersisa.
“Aku… takkan tunduk pada siapa pun!” teriaknya, menghantam ke depan dengan aura terakhirnya.
Nebula menatapnya dengan wajah dingin.
“Kalau begitu… jangan salahkan aku.”
Tinju mereka bertabrakan. Untuk sesaat, dunia seolah terdiam. Lalu—
DOOOOOOM!!!
Ledakan maha dahsyat menghantam langit. Gelombang kejut menyapu seluruh area, menumbangkan pepohonan, mengguncang tanah, bahkan membuat seluruh prajurit Stellaris berlutut menahan tekanan.
Tubuh Ryu terpental jauh. Ia menghantam tanah keras sekali hingga kawah besar tercipta. Debu menutupi langit, suara runtuhan menggema.
Ketika debu perlahan mereda, semua orang bisa melihatnya:
Ryu tergeletak di tanah, tubuhnya penuh luka, napasnya tersengal, bahkan untuk bergerak pun ia tak mampu lagi.
Nebula menurunkan tinjunya. Tatapannya kosong sejenak, lalu ia menghela napas panjang.
“Gawat… sepertinya aku memukulnya terlalu keras. Tsk, terbawa arus. Makhluk ini rapuh sekali… meskipun begitu, dialah yang membesarkan Tuan Asterion.”
Elsha berlari tanpa pikir panjang, melompati reruntuhan, lututnya gemetar saat ia berjongkok di sisi suaminya.
“Ryu! Bertahanlah! Jangan tinggalkan aku!”
Air mata berlinang di wajahnya. Tangannya gemetar saat meraih tangan suaminya yang lemah.
Puluhan prajurit Stellaris segera berbaris, aura mereka menyala, senjata diarahkan pada Nebula.
Salah satu kapten berteriak, “Jangan biarkan dia mendekat lagi! Lindungi Komandan!”
Namun Nebula hanya menatap mereka tenang.
“Bukan salahku. Dia yang memulai duluan.”
Suaranya datar, tapi tekanan auranya masih cukup membuat sebagian prajurit gemetar ketakutan.
Asterion menepuk dahinya keras.
Astaga… ini makin kacau. Kalau aku diam saja, ayah bisa salah paham lebih parah, Nebula bisa bunuh semua orang di sini.
Ia maju satu langkah. “Cukup!”
Semua mata tertuju padanya.
“Ini hanya salah paham,” katanya lantang. “Ayah sedang… menguji kemampuan Nebula.”
Keheningan menyelimuti tempat itu.
Beberapa prajurit saling pandang dengan wajah tak percaya.
Uji? Uji macam apa? Itu tadi jelas pertarungan hidup dan mati!
Namun tak seorang pun berani membantah putra komandan.
Ryu terbatuk, darah mengalir dari bibirnya. Meski lemah, matanya tetap menatap Nebula penuh amarah.
“Kalau kau memang tulus ingin menjadi bodyguard putraku… tunjukkan kesetiaanmu.”
Asterion langsung merasa bulu kuduknya berdiri.
Oh tidak. Oh tidak. Aku tahu ke mana arah ini. Ayah, tolong jangan buat hidupku jadi mimpi buruk.
“Ayah! Tunggu! Kau tidak—”
Terlambat.
Nebula menunduk dalam. Tanpa ragu sedikit pun, ia menusukkan tangannya ke dadanya sendiri.
CRAAASSHH!
Darah memercik. Dengan gerakan lambat tapi mantap, ia meraih sesuatu dari dalam tubuhnya.
Detik berikutnya, ia menarik keluar sebuah inti bercahaya—jantung kosmiknya.
Semua orang terpaku.
Nebula berlutut di depan Asterion, menundukkan kepala, dan mengangkat jantung bercahaya itu dengan kedua tangan.
“Mulai saat ini… hidupku hanya untukmu, Tuan Asterion.”
Elsha menjerit, hampir pingsan.
Prajurit Stellaris ada yang langsung muntah, ada yang jatuh berlutut, ada pula yang pingsan di tempat.
Ryu ternganga, meski tubuhnya tak bisa bergerak. “Kau… kau gila…”
Asterion menutup wajahnya dengan telapak tangan.
“Ah, sial… aku tahu ini akan terjadi. Sumpah setia para bintang… menyerahkan inti kehidupannya pada tuannya.”
Ia menghela napas dalam-dalam.
“Ya Tuhan, hidupku resmi berakhir.”
Malam itu penuh kekacauan, tapi perlahan-lahan ketegangan mereda. Prajurit Stellaris menjaga sekeliling rumah, para teknisi mulai memperbaiki bagian yang hancur, dan keluarga kecil itu akhirnya bisa sedikit bernapas.
Pagi pun tiba.
Matahari menyinari kamar Asterion. Ia bangun dengan rambut berantakan, wajah lelah, dan perasaan masih campur aduk.
“Aku butuh liburan sebulan penuh…” gumamnya.
Ia keluar kamar, lalu berhenti di ambang pintu dapur.
Pemandangan di depannya membuatnya ingin tertawa sekaligus menangis.
Nebula—sosok yang semalam melawan ayahnya dan membuat kekacauan—kini berdiri di dapur dengan celemek bergambar kelinci imut.
Di tangannya ada spatula. Di wajahnya ada senyum lembut.
“Tuan Asterion, sarapan hampir siap. Apakah Anda ingin saya menyiapkan susu hangat juga?”
Asterion hanya bisa tertegun.
“….”
Elsha menoleh sambil tersenyum hangat, meski wajahnya masih terlihat lelah.
“Asterion, cepat mandi dan ganti baju. Kau akan terlambat ke sekolah.”
Nebula menambahkan, “Apakah perlu saya bantu, Tuan Asterion?”
Asterion akhirnya membuka mulut.
“Bantu gundulmu.”
Dengan langkah gontai, Asterion masuk ruang tengah.
Di sana, Ryu duduk di kursi dengan tubuh penuh perban. Wajahnya pucat, matanya merah dengan kantung mata besar—jelas ia tidak tidur semalaman, terlalu sibuk merenungi kekalahan dan sumpah setia yang baru saja disaksikannya.
Tatapan Ryu mengunci pada Asterion.
Suara seraknya terdengar berat.
“Kau… berhutang banyak penjelasan pada ayah sekarang.”