Edam Bhalendra mempunyai misi— menaklukkan pacar kecil yang di paksa menjadi pacarnya.
"Saya juga ingin menyentuh, Merzi." Katanya kala nona kecil yang menjadi kekasihnya terus menciumi lehernya.
"Ebha tahu jika Merzi tidak suka di sentuh." - Marjeta Ziti Oldrich si punya love language, yaitu : PHYSICAL TOUCH.
Dan itulah misi Ebha, sapaan semua orang padanya.
Misi menggenggam, mengelus, mencium, dan apapun itu yang berhubungan dengan keinginan menyentuh Merzi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon gadisin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ulang Tahun Putri Raja
"Ebha. Saya menginginkan Ebha menjadi kekasih saya, Ayah."
Hening kembali menyelimuti kediaman tuan Oldrich Jay. Kali ini bukan karena sang tuan rumah yang berbicara, tapi kalimat riang Merzi yang mengudara.
Alis tuan Oldrich Jay berkedut. Bibirnya tiba-tiba kaku dan sulit mempertahankan senyum. Sungguh, dari banyaknya permintaan sang anak yang tak logis, ternyata ada yang lebih tidak masuk akal.
"A—apa, Nak?" Baiklah, mungkin dia salah dengar. Tuan Oldrich Jay bergerak sedikit ditempat guna memasang lebih baik pendengarannya.
Merzi melirik ayahnya sekilas lalu kembali menatap lurus ke depan. "Merzi ingin mempunyai kekasih di usia tujuh belas tahun ini. Dan Merzi menginginkan Ebha, Ayah." Matanya tak berkedip menatap sosok di belakang sana. Diantara orang-orang yang berdiri didepannya.
Tapi lihatlah objek yang ditatapnya itu. Hanya seperkian detik raut terkejut yang Merzi tangkap, lalu setelah itu wajahnya berubah datar dan entah melihat kemana.
"Nak?"
"Iya, Ayah. Ijinkan Ebha menjadi kekasih sekaligus pengawal Merzi."
Kalimat Merzi masih berisi permintaan sebelumnya. Para tamu mulai berbisik. Baik yang tua maupun yang muda. Teman-teman sekolahnya yang hadir pun tak luput bertanya-tanya heran.
Lalu ada perempuan yang tak kalah cantik mirip dengan Merzi, sang ibunda, Nyonya Waiduri Oldrich. Perempuan itu mendekati suami dan anaknya.
Tangan lentiknya menyentuh pundak Merzi. "Apa yang kamu katakan, Sayang? Leluconmu sungguh tidak lucu. Mintalah hal lain pada ayah. Ayah pasti akan mengabulkannya." Suara Nyonya Waiduri Oldrich terdengar lembut penuh kasih sayang.
Merzi menatap ibunya. Dia berujar, "tidak, Ibun. Saya tidak bercanda. Ijinkan saya memiliki kekasih di umur saya yang ke tujuh belas ini."
"Tapi tidak dengan Ebha, Nak."
"Kenapa tidak dengan Ebha? Dia laki-laki, Bun. Apa yang salah jika saya menginginkan Ebha menjadi kekasih saya?"
"Tentu saja salah."
Tuan Oldrich Jay memejamkan mata mendengar istri dan anaknya yang malah berdebat. Dia harus segera menengahi. Acara ulang putrinya harus berjalan sesuai ekspektasinya.
Tangan besar tuan Oldrich Jay terangkat. "Hentikan."
Seketika Merzi menutup kembali mulutnya yang akan membantah kalimat ibunya setelah mendengar suara tegas sang ayah. Dia ingin Ebha. Dia …. suka lelaki dewasa itu, yang mengawalnya setiap hari. Ebha cocok menjadi kekasihnya. Merzi bisa menjamin itu seratus persen.
"Merzi, putriku." Tangan tuan Oldrich Jay yang mengudara tadi kini menyentuh pipi kecil anaknya.
"Saya, Ayah." Jawab Merzi membalas tatapan tuan Oldrich Jay.
"Putri ayah sudah besar, bahkan meminta kekasih didepan ayahnya sendiri. Betapa beraninya kamu, Nak."
"Maaf jika saya bersikap lancang, Yah."
Tuan Oldrich Jay menggeleng. Dia tetap tersenyum tipis. "Tidak lancang sama sekali. Tapi …. saya sedikit patah hati. Putri kecil yang dulu saya timang sudah mengenal cinta lain selain cinta ayahnya."
Mata Merzi berkaca mendengar kalimat sang ayah. Dia tahu. Tapi dia bukanlah anak yang suka memendam keinginannya. Merzi anaknya terbuka. Apa yang ada dalam kepalanya harus diungkapkan.
Begitupun para tamu yang hadir. Mereka ikut larut akan tokoh utama di acara ulang tahun itu.
"Jika kamu meminta ayah untuk memberimu ijin belajar mengendarai mobil dan membelinya, saya pasti akan langsung menyuruh Barid membeli mobil itu sesuai keinginanmu. Tapi sungguh," tuan Oldrich Jay menarik tubuh anaknya untuk dipeluk, "…sungguh, pintamu kali ini begitu berat, Nak. Kekasih? Ayah mana yang rela putrinya diambil orang?"
Nyonya Waiduri Oldrich menyeka sudut matanya yang berair. Kalimat suaminya begitu menyayat. Dia ingat dulu betapa bahagianya sang suami ketika dia melahirkan seorang bayi perempuan. Dengan mata yang berkaca dan tangan yang gemetar dia menggendong Merzi pertama kali. Marjeta Ziti Oldrich. Dia adalah mutiara yang akan selalu menjadi kesayangan semua orang.
Suasana hening kembali menyelimuti. Dibelakang sana Ebha undur diri. Merzi memang manusia dengan sejuta kejutan. Dia seperti orang yang menyihir Merzi karena permintaan gadis itu adalah dirinya.
"Saya mengijinkan Merzi untuk memiliki kekasih."
Kalimat tuan Oldrich Jay mampu membuat beberapa orang menahan napas, lega, dan bingung. Pun dengan Merzi yang tersenyum. Jantungnya bertalu didalam sana. Bayangan Ebha menjadi kekasihnya semakin nyata didepan mata.
Merzi pikir ayahnya sudah selesai berujar karena tuan Oldrich Jay melepas pelukan. Dia ingin mengucapkan terima kasih, tapi ternyata sang ayah kembali melanjutkan kalimatnya,
"Tidak dengan Ebha, Nak. Laki-laki manapun boleh menjadi kekasihmu. Laki-laki seumuran, bukan laki-laki dewasa seperti Ebha."
"Tapi, Ayah …."
"Jika kamu ingin, ayah akan mengenalkanmu dengan anak-anak teman ayah yang umur tak jauh denganmu."
Merzi menggeleng. Wajahnya protes. "Tidak, Ayah. Saya tidak ingin mereka. Yang saya inginkan hanya Ebha."
Tuan Oldrich Jay melepaskan tangan Merzi yang memegang tangannya. Dia beralih menatap nyonya Waiduri Oldrich. "Istriku, tiba-tiba pundak saya terasa berat. Tolong bawa saya ke kamar."
Nyonya Waiduri Oldrich sontak maju dan memegang lengan suaminya. "Mari."
"Para tamu silakan kembali menikmati hidangan. Maaf jika saya pergi sebentar." Ujar tuan Oldrich sebelum melangkah.
Tamu undangan kembali sibuk dengan urusan masing-masing. Ada yang masih membahas permintaan aneh Merzi, ada juga yang memilih. menyantap kue ulang tahun yang sedang dibagikan para pelayan.
Disatu sisi, pak Barid terlihat mendekati sang tuan. Dia berdiri dihadapan tuan dan nyonya rumah.
Tuan Oldrich Jay berbicara. "Lanjutkan acara ini, Barid. Saya akan istirahat sebentar. Dan tetap awasi Merzi." Tuan Oldrich Jay melirik sekilas anaknya sedang dikerumuni teman-teman sekolahnya.
Pak Barid mengikuti arah pandang tuan Oldrich Jay. Dia mengangguk. "Baik, Tuan. Apakah saya perlu membantu tuan ke kamar?"
"Tidak perlu, Barid." Balas nyonya Waiduri Oldrich menggeleng.
Dan tuan Oldrich Jay mengiyakan. "Benar, Barid. Biar istri saya saja."
"Baiklah, Tuan, Nyonya. Kalau begitu saya undur diri." Pak Barid membungkuk dan pergi dari hadapan tuan dan nyonya Oldrich.
Melihat kepergian pak Barid, nyonya Waiduri Oldrich berujar pada sang suami, "saya cemburu suami saya begitu terang-terangan mencintai perempuan lain dihadapan saya."
Tuan Oldrich Jay tersenyum miring mendengar perkataan istri tercinta. "Kamu terlihat lucu jika cemburu. Tenanglah, Sayang. Cinta saya habis bersama kamu."
Semburat merah muncul dibalik pipi nyonya Waiduri Oldrich yang tetap kencang walau usianya lewat setengah abad. Dia memukul pelan dada sang suami.
"Sungguh penggoda yang ulung."
Pasangan suami-istri yang telah menikah puluhan tahun itu terus bercengkrama ringan seiring langkah mereka menuju kamar utama.
Beralih pada Merzi yang dikelilingi teman-teman sekelasnya. Beberapa dari mereka ada yang ijin pamit karena hari semakin larut dan beberapa yang lain mengajaknya mengobrol tentang pestanya yang digelar megah.
"Ah, Merzi, dimana laki-laki yang biasa berdiri tak jauh darimu itu?" Celutuk seorang teman perempuannya yang baru datang menimbrung.
"Astaga, Sonya, dari mana saja kau?!" Temannya yang lain menepuk pelan pundak gadis yang bertanya tadi, Sonya.
Sonya cengengesan sambil menggaruk hidungnya. "Aku ke dapur. Ternyata disana lebih banyak makanan daripada yang ada didepan. Merzi, apakah kau sengaja menyembunyikan makanan dan minuman itu dariku?"
Merzi tertawa kecil. Sonya punya tubuh yang berisi. Pipinya bulat dan badannya pendek. Hobinya makan. Bisa Merzi tebak bahwa Sonya tidak tahu menahu tentang permintaan luar biasanya tadi.
"Mana mungkin aku menyembunyikannya. Jika kamu ingin, aku akan meminta bibi Liney membungkus untuk mu. Bagaimana?"
Tentu saja Sonya mengangguk setuju. Pipinya ikut bergerak karena gerakannya. Merzi tak tahan untuk tidak mencubit pipi gembul itu.
"Baiklah, ayo kita ke tempat bibi Liney." Merzi menatap teman-temannya, "apakah kalian juga ingin dibungkus? Ayo ikut bersamaku."
"Tidak, Merzi. Biar Sonya saja. Aku tahu dia akan kekurangan jika kau membaginya juga pada kami."
"Tidak ya!" Sahut Sonya cepat. Dia menggembung pipi yang semakin membuatnya terlihat lucu.
Perkumpulan remaja itu sontak tertawa. Mereka melupakan ketegangan sebelumnya yang diciptakan ratu dalam acara.
...****************...
Pesta ulang tahun yang meriah itu selesai satu jam yang lalu. Dibawah para pelayan hampir selesai membersihkan sisa-sisa acara. Sedangkan didalam kamar, yang berulang tahun belum beranjak dari balkon. Gaun pestanya masih terpasang, pun dengan riasan dan aksesoris. Merzi duduk termenung diatas ayunan rotan sambil melipat kaki didepan dada.
Biasanya akan ada pelayan yang akan membantunya membuka dan membersihkan riasan. Tapi Merzi menolak dengan alibi dia bisa melakukannya sendiri karena sudah berusia tujuh belas tahun. Maksudnya dia mulai beranjak dewasa.
Angin malam semakin kuat berhembus, tapi dia tetap tidak peduli.
"Apakah … permintaan Merzi berlebihan?" Setelah satu jam diam tanpa suara akhirnya dia bertanya pada bintang yang menghiasi langit.
"Tidak kan, Bintang?" Merzi menunduk, menumpu dagu diatas lutut. "Seharusnya ayah bangga karena Merzi meminta ijin untuk berpacaran. Tidak seperti teman-teman Merzi yang diam-diam dan sembunyi-sembunyi."
Gadis yang baru berusia tujuh belas tahun itu kembali termenung, bahkan tak menyadari ada manusia lain yang memasuki kamarnya.
"Ternyata benar bahwa putri Ibun masih duduk di balkon. Apakah kamu begitu suka gaun itu sehingga belum menggantinya dari tadi. Hm?"
Suara sehalus sutra itu membuat Merzi menoleh. Ibu tersayang yang dipanggilnya 'Ibun' itu datang dengan segelas susu stroberi.
"Ibun?" Merzi turun dari ayunan dan menghampiri nyonya Waiduri Oldrich. "Ibun belum tidur? Ini sudah larut malam. Ayo masuk. Angin malam tak bagus untuk kesehatan." Dirangkulnya pundak sang ibu agar masuk kembali ke dalam kamar. Lalu Merzi menutup pintu balkon.
Nyonya Waiduri Oldrich menggeleng. Dia berjalan ke sisi ranjang Merzi dan meletakkan gelas susu diatas nakas lalu duduk diatas kasur, menunggu sang anak.
"Itu kamu tahu kalau angin malam tidak bagus untuk kesehatan. Tapi kenapa malah berdiam diri disana? Melamun?" Nyonya Waiduri Oldrich menarik pelan pergelangan tangan Merzi agar duduk disebelahnya. Dia memiringkan badan sambil melepaskan anting dan riasan kepala Merzi.
"Hanya menghirup udara saja, Bun."
"Sambil melamun?"
"…. Sedikit."
Ibunya tersenyum dan meraih tangan Merzi untuk digenggam. Beberapa saat nyonya Waiduri Oldrich membiarkan kehangatan tangannya mengalir ke dalam tubuh Merzi. Menghantarkan kasih sayang lewat kelembutan.
"Kamu menyukai Ebha, Nak?"
Pertanyaan ibunya begitu tiba-tiba. Merzi tak jadi kembali termenung. Dia tersentak kecil akan pertanyaan sang ibu. Tapi dengan patah-patah dan pasti dia mengangguk. "Y—ya, Ibun. Saya … suka pada Ebha."
Nyonya Waiduri Oldrich melipat bibir ke dalam. Dia mengambil gelas susu stroberi. "Baiklah. Ibun akan membujuk ayah untuk menyetujui permintaanmu."
Senyum Merzi langsung mengembang lebar. Binar bahagia dan ceria itu kembali dari balik matanya. "Benarkah yang Ibun katakan? Ibun akan membujuk ayah?"
"Ya. Tentu saja Ibun benar."
"Membujuk sampai ayah menyetujui saya berpacaran dengan Ebha? Begitu kan, Bun?"
Tangan nyonya Waiduri Oldrich yang tidak memegang gelas mengusap rambut Merzi. "Iya, Sayang. Ibun akan berusaha membujuk ayahmu. Tapi sebelum itu minumlah susu ini." Ujarnya menyodorkan gelas susu stroberi pada Merzi.
Sungguh mudah persyaratan yang ibunya berikan. Hanya segelas susu stroberi? Itu mudah! Karena susu ini adalah kesukaannya. Mana mungkin dia menolak.
"Terima kasih, Ibun."
Sang ibu hanya membalas dengan senyuman. Perempuan itu beranjak dan berjalan menuju meja rias Merzi. "Setelah selesai, kemarilah, Ibun bantu kamu membersihkan riasan wajah."
Merzi meneguk susunya dengan lahap dan cepat. "Susu stroberi memang pilihan terbaik untuk perempuan cantik seperti Merzi."
Nyonya Waiduri Oldrich terkekeh kecil mendengar celutukan sang anak.
"Ayo cepat. Ibun lupa mengatakannya bahwa Ebha menunggumu diluar."
"Apa?!"