Salma dan Rafa terjebak dalam sebuah pernikahan yang bermula dari ide gila Rafa. Keduanya sekarang menikah akan tetapi Salma tidak pernah menginginkan Rafa.
"Kenapa harus gue sih, Fa?" kata Salma penuh kesedihan di pelaminan yang nampak dihiasi bunga-bunga.
Di sisi lain Salma memiliki pacar bernama Narendra yang ia cintai. Satu-satunya yang Salma cintai adalah Rendra. Bahkan saking cintanya dengan Rendra, Salma nekat membawa Rendra ke rumah yang ia dan Rafa tinggali.
"Pernikahan kita cuma pura-pura. Sejak awal kita punya perjanjian kita hidup masing-masing. Jadi, aku bebas bawa siapapun ke sini, ke rumah ini," kata Salma ketika Rafa baru saja pulang bekerja.
"Tapi ini rumah aku, Salma!" jawab Rafa.
Keduanya berencana bercerai setelah pernikahannya satu tahun. Tapi, alasan seperti apa yang akan mereka katakan pada orang tuanya ketika keduanya memilih bercerai nanti.
Ikuti petualangan si keras kepala Salma dan si padang savana Rafa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cataleya Chrisantary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
4. Haruskah aku kasih nafkah?
4
Ucapan Salma seketika berhenti ketika tangan Rafa menyentuh kaki Salma. Dan seketika Salma terdiam. Perempuan itu berimprovisasi kembali. Salma nampak menutup wajahnya.
“Aku dan Rafa itu gak berencana nikah sekarang. Kita berdua pengennya tunangan dulu. Itu makanya aku sama Rafa milih untuk gak berisik dulu tau-tau tunangan aja.”
“Tapi kan keadaan saat ini agak genting, Sal,” kata mama Rahma.
“Iya aku tahu, mah. Maka dari itu aku bener-bener belum siap jika aku harus ikut ke Kanada. Karir aku lagi bagus-bagusnya. Dan ini impian aku sejak dulu. Rafa juga kerja empat belas hari di sana dan libur empat belas hari, Rafa bisa kesini atau kalau ada libur panjang aku bisa ke sana.”
Semua orang nampak diam. Papa Tio masih nampak belum setuju dengan ucapan Salma. Papa Tio masih ingin Salma ikut bersama dengan Rafa ke Kanada. Karena dalam pikiran papa Tio kalau sudah menikah ya apalagi. Kalau mau pisah seperti ini lebih baik jangan nikah dulu.
Tapi di sisi lain papa Tio juga mengiyakan apa yang Salma katakan. Karena Rafa pernah berkata seperti ini sebelum akhirnya tanggal pernikahan di tetapkan. Rafa juga pernah berkata jika mereka memang pacaran diam-diam, akan bertunangan tapi unuk menikah masih dua atau tiga tahun lagi.
Papa Tio akhirnya kalah. Dan memilih diam setelah Salma mengatakan mereka sebenarnya tidak ingin menikah dalam waktu dekat. Papa Tio memilih diam tapi Salma tau itu kemenangan untuknya.
Menang dari hal yang selama dua hari ini ia perjuangkan. Ia berjuang untuk dirinya, untuk karirnya. Salma memang egois tapi egoisnya Salma tidak sebanding dengan egoisnya Rafa yang dengan sadar menjebak Salma dalam lika-liku permintaan ibunya.
“Kamu tidur di bawah aja sana!” Salam melemparkan satu bantal tanpa selimut pada Rafa.
Rafa agak mengerutkan dahinya. “Di bawah, kamar bawah? Apa gak akan curiga papa sama mama?”
“Tidur di kamar tamu itu adalah ide paling briliant tapi tidak untuk sekarang. Kamu tidur diabwah diatas karpet. Aku gak mau tidur satu kasur sama kamu! Dan lampu,” kata Salma, “Akan aku matikan.”
Rafa tidak banyak berkomentar. Ia memang harus menerima segala bentuk ucapan Salma. Tidak masalah dia harus tidur diatas karpet saja tapi untuk lampu jujur saja Rafa takut tapi mau bagaimana lagi ini adalah kamar Salma.
Rafa adalah tipe yang tidak bisa tidur jika lampu kamar mati. Sementara Salma adalah tipe orang yang kalau tidur harus selalu lampu dalam keadaan mati. Kepriadian mereka ini memang bertolak belakang.
Lampu sudah dimatikan namun, untungnya masih ada sedikit cahaya dari lampu tidur. Rafa benar-benar tidur dibawah diatas karpet dan Salma sama sekali tidak memberikannya selimut. Hanya satu bantal, satu bantal saja.
Rafa sedang menatap langit kamar Salma. Telihat cahaya dari ponsel milik Salma masih meninggalkan jejak diatas plafon kamar. Pikiran Rafa masih terganggu dengan nafkah. Ia bingung apakah harus memberikan Nafkah pada Salma atau tidak.
“Sal, aku pengen tanya sesuatu yang penting sama kamu,” ucap Rafa membuka percakapan. Namun Salma tidak menjawab tapi ia bisa mendengar suama sayup-sayup musik dari ponsel Salma.
“Aku tau kamu belum tidur. Dan aku tau kamu gak akan menjawab pertanyaan uka tapi ini penting,” Rafa sempat menjeda sejenak sebelum melanjutkan. “Haruskah aku menafkahi kamu? Kamu tau, memerikan uang bulanan misalkan.”
Salma masih belum merespon apapun. Rafa sudah bisa menebak sejak awal jika pada ujungnya dia hanya berbicara sendirian meskipun Salma masih mendengarkan ucapan Rafa.
Dan Salma diam-diam juga bingung. Dia diam bukan karena benci. Ia memang benci Rafa tapi kali ini bungkamnya Salma karena dia sendiri tidak tau jawabannya. Apakah ia layak di nafkahi oleh Rafa atau tidak.
“Kalau harus di nafkahi kamu minta berapa perbulannya?” tanya Rafa “Aku tahu pernikahan kita ini seperti pernikahan bohongan tapi kamu tahu, aku merasa bersalah kalau tidak memberikan nafkah. Terserah kamu, kamu putuskan ya atau tidak aku ikut kamu.”
Namun Salma tetap memilih untuk diam. Dan diamnya Salma, Rafa artikan sebagai rasa benci. Padahal sekarang Salma sedang mengetik pesan untuk sahabatnya. Ia meminta pendapat untuk masalah ini. Hanya sahabatnya yang tahu perihal pernikhan Salma dan Rafa yang entah harus dibilang settingan atau bukan.
Namun terlepas dari settingan ataupun tidak, pernikahan mereka berdua itu resmi, tercatat oleh negara. Pernikahan mereka berdua tetap sah.
Besoknya, Salma pukul lima pagi baru bangun. Sementara itu Rafa sudah terlihat tidak ada di kamar. Hanya bantal yang terlihat telah tersimpan di kursi single kamar Salma. Salma tidak tahu kemana Rafa dan ia juga tidak ingin tahu.
Perempuan itu lalu turun ke bawah. Salma terbiasa bangun pagi dan mempersipakan segala kebutuhannya untuk bekerja. Tapi kali ini, Salma baru ingat jika ia masih dalam masa cuti.
“Baru bangun, Sal,” kata mama sambil menyeruput teh.
“Hmmm,” jawab Salma lalu menenggak air putih mengisi kerongkongannya yang terasa kering.
“Gak malu apa suami kamu udah bangun pagi terus sekarang lagi jogging katanya.”
“Nggak, dia udah tau kok kebiasaan aku kayak gimana.”
Mama Rahma mengulas senyumnya. Matanya melihat ketidaksiapan di mata Salma. “Iya memang betul. Tapi sekarang kamu ini udah nikah, Sal. Harusnya kamu itu bangun lebih awal dari suami kamu. Kamu ini sekarang punya tanggung jawab bukan hanya perut kamu tapi perut suami kamu.”
Salma tidak menjawab lagi. Iya hanya menganggukan kepalanya lalu memilih untuk pergi dari hadapan ibunya.
“Salma,” panggil mama Rahma. Membuat langkah Salma terhenti.
“Apalagi, ma?”
“Siap tidak siap sekarang kamu udah menjadi istri Rafa. Ada baiknya kamu itu sekarang nurut apa yang Rafa katakan. Kalau Rafa pengen kamu ikut sama dia ke Kanada, ya kamu harus ikut.”
Lagi-lagi Salma memilih diam namun tetap ia menganggukan kepalanya. Salma lalu naik kembali ke kamar miliknya. Ia sama sekali tidak memikirkan tentang ikut atau tidak ke Kanada. Karena keputusannya sudah bulat jika ia tidak akan ikut ke sana.
Rafa pasti tidak akan menolak dengan keputusan itu. Karena jika Rafa tiba-tiba saja berkata ia harus ikut dengannya ke Kanada. Maka Salma akan mengancam Rafa untuk membeberkan semua ini pada keluarga besar mereka.
Salma justru sekarang sedang bimbang mengenai pertanyaan Rafa tadi malam mengenai nafkah.
“Hallo apaan sih ah pagi-pagi nelepon?” kata Kalani.
“Kal, gue minta pendapat masalah nafkah itu.”
“Kan gue udah jawab semalem. Gue bilang yaudah bilang aja harus.”
“Tapi gue ini gak akan kurang ajarkan kalau misalkan minta di nafkahin? Masalahnya gue kan ya gimana yah bukan istri bohongan sih tapi kek mendekati istri durhaka. Kek gue malu aja kalau minta meskipun gue tau duit dia banyak.”
Sementara itu, Rafa hanya tersenyum mendengar obrolan Salma dengan sahabatnya, Kalani. Diam-diam Rafa memang membiarkan ponsel miliknya tersambung dengan telepon ngeggam satunya lagi.
Jadi gampangnya gini, Rafa punya dua ponsel. Yang satu ia simpan di kamar dan ia biarkan untuk menelepon dirinya sendiri yang sedang jogging.
Karena Rafa tahu Salma pasti akan melakukan sesuatu dengan obrolan mereka semalam. Dan benar saja, Rafa tertawa mendengar Salma menyebut dirinya sendiri sebagai istri durhaka.
“Gue masa disuruh ikut ke Kanada coba,” kata Salma yang masih di dengar oleh Rafa.
“Terus elo mau?”
“Ya kagaklah gila aja lo.
Salma bercerita jika ia tidak mau ikut ke sana. Karir dan pekerjaannya memang sedang bagus namun itu hanyalah alasan saja agar ia tidak ikut. Salma berkata jika alasan utama ia tidak ingin ikut adalah ia tidak ingin berduaan dengan Rafa.
“Kan kalau dua orang dalam satu ruangan itu orang ketiganya setan, kan,” kata Salma. “Nah, gue gak mau sampe ada orang ketiganya itu, Kal. Duh gue mah takut pokoknya.”
“Takut apa? Takut kebablasan lo sama Rafa?” Tawa Kalani.
“Yailah apalagi kalau bukan itu. Gak kebayang gue kalau harus gitu sama Rafa hadeuh. Kek aneh aja gue sama dia itu udah sahabatan dari lama.”
Rafa terdiam sejenak. Apa yang dikatakan oleh Salma memang ada benarnya. Apa yang akan ia lakukan dengan Salma jika Salma sampai mau melakukan malam pertamanya dengannya?
Bersambung
Hmmm dipikir-pikir bener juga yah. Kalian ada yang nikah sama sahabat kalian sendiri gak? Gimana cangungg gak? Wkwkwk
Sampai ketemu besok yah