Lina dokter muda dari dunia modern, sang jenius harus meninggal karena kecelakaan tunggal, awalnya, tapi yang sebenarnya kecelakaan itu terjadi karena rem mobil milik Lina sudah di rusah oleh sang sahabat yang iri atas kesuksesan dan kepintaran Lina yang di angkat menjadi profesor muda.
Tapi bukanya kelahiran ia justru pergi kedunia lain menjadi putri kesayangan kaisar, dan menempati tubuh bayi putri mahkota.
jika ingin kau kelanjutannya ayo ikuti terus keseruan ceritanya, perjalan hidup sang putri mahkota
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Cahaya fajar di Hutan Cahaya tak pernah biasa. Udara pagi membawa aroma bunga liar dan suara gemericik air dari Air Terjun Pelindung, tempat suci di mana energi langit berkumpul. Di sanalah Shuwan Lian berdiri, rambutnya dikuncir tinggi, mengenakan jubah pelatihan baru—untuk ketiga kalinya minggu ini—karena jubah sebelumnya terbakar akibat jurus cahaya yang belum terkendali.
Lianhua, sang penjaga hutan, menatapnya dengan penuh makna. “Hari ini, kau akan belajar tiga jurus dasar serangan Cahaya Langit. Tiga Pukulan Langit. Dan satu, membentuk pedang cahaya yang menjadi milikmu sendiri.”
Shuwan mengangguk penuh semangat, lalu mengangkat tangan tinggi. “Yaaa! Aku siap! Pokoknya hari ini jubahnya jangan terbakar lagi!”
Bo Zhi, si harimau penjaga, hanya memutar bola matanya dan bergumam, “Kita lihat nanti.”
Langkah pertama pelatihan hari itu adalah pemurnian energi di dalam tubuh Shuwan. Ia harus mengumpulkan Cahaya Langit di titik dantian-nya dan mengalirkannya melalui lengan ke telapak tangan, lalu mewujudkannya menjadi bentuk senjata yang paling ‘bergema’ dengan jiwanya.
Shuwan duduk bersila di atas batu besar, tangannya diletakkan di atas lutut. Cahaya tipis mulai muncul dari pori-porinya, menari di udara seperti helaian benang keemasan.
Dalam pikirannya, suara ibunya—Permaisuri Jian—berbisik lembut.
“Kau adalah warisanku. Tapi kau juga adalah dirimu sendiri, Shuwan. Bentukkan senjatamu dengan hatimu, bukan dengan kemarahanmu.”
Shuwan membuka mata. Dua bola cahaya membentuk bola kecil di telapak tangannya. Ia memejamkan mata, lalu menekankan kehendak dalam pikirannya:
Aku ingin melindungi.
Aku ingin menebas kejahatan.
Aku ingin membawa terang.
Cahaya itu mendesis—menyatu, memanjang, dan—CRAAAK—sebilah pedang ramping berwarna perak muda tercipta. Di tengah bilahnya, ukiran burung phoenix kecil terbentuk, seolah tercetak oleh kehendak jiwanya sendiri.
Bo Zhi menatapnya ternganga. “Aku kira kau akan bikin kipas cahaya. Tapi ternyata pedang?”
Shuwan berdiri dan mengayunkannya. Kilatan tipis menyapu dedaunan dan memotong sehelai daun menjadi dua dengan sangat halus.
“Aku mau namakan dia... Guangyao,” gumam Shuwan. “Artinya Cahaya Terang.”
Lianhua tersenyum bangga. “Itu adalah nama yang pernah digunakan oleh leluhur pertamamu. Kekuatan itu telah bangkit kembali.”
Shuwan belum sempat beristirahat. Lianhua melanjutkan pelatihannya dengan teknik yang lebih berat. Tiga Pukulan Langit—serangan bertahap dari jurus cahaya yang menarget titik kelemahan musuh.
Pukulan Pertama: Cahaya Membelah Awan
Pukulan Kedua: Bayangan Menguap
Pukulan Ketiga: Cahaya Menyegel Jiwa
Shuwan mendengarnya dan langsung memicingkan mata. “Tunggu. Itu namanya... kedengaran menakutkan banget. Kayak hidangan di restoran naga!”
“Fokus, Shuwan,” tegur Lianhua sambil menahan tawa.
Shuwan diminta melatih Pukulan Pertama terlebih dahulu. Dia harus menghimpun energi cahaya, lalu menyalurkannya ke pedang Guangyao dan menebas udara hingga menghasilkan gelombang cahaya memanjang.
Coba pertama...
Gagal.
Yang keluar hanya... bunga cahaya.
“Kenapa malah jadi pertunjukan sirkus?!”
Coba kedua...
Keluar suara ledakan, tapi hanya menyebabkan pohon di belakangnya kehilangan semua daun.
Bo Zhi mendekat dengan dedaunan menempel di seluruh tubuh. “Aku rasa aku sekarang jadi hutan berjalan...”
Coba ketiga.
Shuwan memejamkan mata. Ia ingat wajah ibunya, suaranya, dan detik saat ia mengetahui ibunya diracun.
Dia membuka mata. Cahaya menyala kuat. Dengan teriakan keras—“Cahaya Membelah Awan!”—dia menebas ke depan.
WUUUUUUSHHHH!
Sebuah gelombang cahaya membelah pohon di depannya hingga ke tanah, membentuk celah sepanjang tiga langkah.
Bo Zhi melompat mundur. “Itu dia! Akhirnya!”
Shuwan gemetar, tapi senyum puas mengembang di wajahnya. “Aku bisa…”
Setelah sukses, Shuwan merasa percaya diri mencoba jurus kedua... tanpa instruksi.
Hasilnya? Cahaya meledak dari bawah kakinya. Dia terpental ke atas—dan nyangkut di pohon.
“Bo Zhi! Tolong turunkan aku! Aku tersangkut di cabang naga tuaaa!”
“Sudah kubilang, jangan loncat pelajaran!”Bo Zhi kesal
Baihu mengais tanah, lalu menendang bola batu ke atas. Bola itu menyenggol cabang, membuat Shuwan jatuh dan berguling di tanah... menabrak semak berbunga duri.
“AAAK! Kenapa ini berduri semuaaaa?!” seru Shuwan
Shuwan pun latihan sambil duduk, pipi bengkak digigit semut hutan.
Malam hari, setelah latihan selesai dan tubuh Shuwan dibalut herbal hangat karena tergores di mana-mana, ia duduk di tepi Air Terjun Pelindung. Cahaya bulan memantul di air.
Tiba-tiba, dari bayangan air muncul sosok berjubah hitam. Suara parau berbicara padanya.
“Shuwan Lian… kekuatanmu bertumbuh terlalu cepat. Kau menyalakan cahaya, tapi cahaya menarik bayangan…”
“Siapa kau?” seru Shuwan, memanggil Guangyao. Tapi sosok itu hanya tersenyum tipis, lalu lenyap.
Bo Zhi muncul dari semak dengan dahi berkerut. “Itu bukan makhluk dari Hutan Cahaya…”
Lianhua mendengar cerita itu dan hanya berkata, “Bayangan mulai bergerak. Pelatihanmu harus selesai dalam satu bulan. Lalu kau harus menuju Pegunungan Kaca, tempat bersemayamnya Naga Ikahi dan Pedang Naga Sejati.”
Shuwan mengangguk. Meski masih sakit di punggung, pipi bengkak, dan otot kaku, dia berkata mantap:
“Aku siap.” jawab Shuwan
Bo Zhi mengangkat alis. “Tapi kamu belum siap untuk masak sendiri…”
Shuwan memandangi sup herbal yang dia buat—yang mendidih tanpa air dan penuh potongan rumput hutan.
“...aku siap berlatih, bukan masak,” sahutnya sambil menahan tangis karena rasa supnya.
—Pelatihan terus berlanjut, kekuatan cahaya bertambah, dan langkah menuju Penaklukan Naga dimulai.
Bersambung