NovelToon NovelToon
Rengganis Larang

Rengganis Larang

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Action / Misteri / Hantu / Roh Supernatural / Fantasi Wanita
Popularitas:894
Nilai: 5
Nama Author: Saepudin Nurahim

Warisan darah. Kutukan leluhur. Perburuan yang tak pernah usai.

Di tengah kabut kelam tanah Pasundan, garis batas antara dunia manusia dan dunia gaib mulai menipis. Makhluk-makhluk yang seharusnya tersegel mulai bermunculan kembali, membawa kutukan, kematian, dan kegilaan. Hanya satu nama yang masih ditakuti oleh mereka yang hidup dalam kegelapan: Rengganis Larang.

Sasmita Wibisana, keturunan terakhir dari pemburu siluman, kini memikul beban warisan berdarah keluarganya. Dengan keris pusaka yang haus jiwa dan senjata api yang diberkahi mantra, ia menyusuri lorong-lorong gelap Nusantara untuk memburu entitas yang tak bisa dilawan manusia biasa. Tapi setiap makhluk yang ia bunuh, semakin dekat pula ia pada satu kebenaran yang telah dikubur berabad-abad: sebuah pengkhianatan di dalam garis darahnya sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Keputusan Rengganis Larang

“Gue ikut.”

Ucapan Kenan itu terdengar pelan, tapi keras di telinga semua orang. Mereka baru saja menurunkan Suster Ira ke ranjang tamu setelah pingsan akibat kerasukan. Wajahnya pucat, tapi napasnya perlahan kembali normal.

Maya langsung menoleh. “Apa maksudmu ikut? Kamu baru aja—”

“Dia udah denger sendiri, Maya,” potong Sasmita. Suaranya lelah tapi mantap. “Ayahnya... ada di Garut. Rumah berdinding hitam. Gue harus bawa dia ke sana.”

Aditya yang duduk di dekat pintu langsung berdiri. “Tapi tempat itu belum tentu aman.”

“Justru karena itu,” jawab Sasmita cepat. “Makin cepat kita ke sana, makin cepat kita tahu apa yang sebenarnya terjadi.”

Ningsih menyela pelan, “Kak, kami juga bisa ikut bantu. Jangan ninggalin kita di sini.”

Tri ikut angguk. “Iya, gue gak mau ada yang jalan sendiri. Kita tim.”

Sasmita memijat pelipisnya. Tatapannya tajam, tapi nadanya pelan. “Kalian semua udah lihat apa yang kejadian barusan, kan? Ini udah bukan urusan biasa. Pocong sungsang, anak-anak kerasukan, suster jadi medium... Ini bukan medan buat tim yang belum siap total.”

Maya berdiri, berhadapan langsung dengan Sasmita. Sorot matanya keras.

“Dia anak gue. Gue yang besarin dia sejak bayi. Kalau ke tempat berbahaya, biar gue ikut. Kenapa lo malah bawa Kenan dan ninggalin kami semua di sini?”

“Karena lo sayang sama dia, Maya.”

Jawaban itu bikin ruangan hening sejenak. Hanya suara kipas tua yang berderit di sudut ruangan.

Sasmita lanjut, pelan tapi tegas. “Justru karena lo terlalu sayang, lo gak bisa objektif. Lo bakal nyoba lindungin dia terus, bahkan kalau itu artinya lo yang mati. Gue butuh orang yang bisa mikir cepat, bukan yang dikaburkan rasa takut kehilangan.”

Maya maju setapak, matanya berkaca-kaca. “Lo pikir gue takut mati?”

“Bukan takut mati,” bisik Sasmita. “Lo takut kehilangan dia. Dan lo gak akan siap kalau lo liat dia berubah... atau lebih buruk, kalau ternyata darah dalam tubuhnya bukan yang lo harapkan.”

Kenan menunduk. Tangannya mengepal.

Tri membuka suara pelan. “Mbak... lo yakin lo bisa handle itu semua sendirian?”

Sasmita menoleh, suaranya dingin. “Gue gak sendiri. Gue sama dia.” Ia menunjuk Kenan.

“Dan rumah itu... gue yakin, kita gak punya banyak waktu. Manglayang Merah gak akan nunggu kita siap. Dia udah mulai ngejar. Dia ngebuka celah, nyoba dorong Kenan bangkit lebih cepat dari seharusnya.”

Aditya pelan-pelan berkata, “Kalau itu perang... lo yakin lo siap ngorbanin anak itu?”

Sasmita terdiam sebentar. Lalu, dengan napas berat, ia mengangguk.

“Kalau itu harga buat ngurung Manglayang Merah lagi... iya. Gue siap. Tapi gue gak akan biarin orang lain mati sia-sia dalam prosesnya.”

Maya menangis pelan. Aditya memegang bahunya.

“Besok pagi, kita berangkat,” kata Sasmita akhirnya. “Gue, Kenan. Kalian semua tetap di sini. Jaga suster. Jaga anak-anak. Tri, kalau lo liat simbol retak lagi di yayasan, segera aktifkan lingkar proteksi. Ningsih, lo peka energi. Lo bisa liat kalau ada entitas nyusup. Jangan ragu segel ruangan.”

“Gimana kalau lo gak balik?” tanya Ningsih pelan.

Sasmita tersenyum kecil. Tapi senyuman itu pahit. “Kalau gue gak balik... jangan cari gue. Tapi pastikan Kenan balik dengan jawaban yang dia butuh.”

Malam itu, mereka gak banyak tidur. Hujan turun makin deras. Petir kadang menyambar jauh di belakang hutan. Maya duduk di lantai ruang doa, memegang salib kecil sambil mengusap air mata diam-diam. Kenan berdiri di dekat jendela, menatap ke luar seperti bisa melihat Garut dari kejauhan.

“Gue gak inget wajah bokap gue,” gumamnya.

Sasmita duduk di kursi rotan, membetulkan sabuk jimat dan memeriksa peluru mantra di sakunya. “Mungkin lo gak butuh inget. Mungkin lo cuma butuh tahu... siapa dia sebenarnya.”

“Kalau dia jahat?”

“Lo masih bisa milih buat jadi baik.”

Kenan mengangguk pelan. “Tapi kalau dia dibunuh? Dan gue pewaris darah yang... kayak lo bilang, bisa bangkitin sesuatu?”

“Gue gak bakal bohong. Kemungkinan itu ada.”

“Terus lo gak takut gue berubah jadi... monster?”

Sasmita tertawa pendek. “Semua manusia bisa jadi monster, Kenan. Tapi gak semua manusia dikasih kesempatan buat milih sebelum itu terjadi. Lo dapet kesempatan itu. Jangan buang.”

Menjelang subuh, Maya kembali ke kamar, matanya merah. Ia menghampiri Kenan dan memeluknya.

“Apa pun yang lo temuin di sana... jangan lupain siapa yang besarin lo.”

Kenan mengangguk. “Enggak. Gue anak lo. Dan gue sayang sama lo.”

Satu-satunya saat Maya bisa tersenyum malam itu... adalah saat mendengar kata itu keluar dari mulut Kenan.

Jam enam pagi, kabut tebal menyelimuti halaman yayasan. Udara dingin seperti mencekik. Sasmita dan Kenan berdiri di depan pagar.

Ningsih memberikan dua jimat pelindung yang ia buat semalaman.

Tri menyerahkan botol air doa dan paku segel cadangan.

Aditya hanya berkata pelan, “Jangan salah langkah. Rumah itu... mungkin lebih tua dari dosa manusia.”

Maya berdiri diam. Tapi saat Sasmita membuka pintu mobil, ia berkata pelan, “Kalau lo bikin anak gue mati... gue sendiri yang bakal ngubur lo di belakang yayasan.”

Sasmita menatapnya dan tersenyum. “Kalau sampai dia mati... gue gak butuh dikubur.”

Mobil melaju perlahan menembus kabut. Kenan di kursi depan, memegang kuat-kuat tas kecil berisi benda-benda peninggalan Yayasan.

“Lo yakin rumah itu beneran ada?” tanya Kenan.

Sasmita hanya berkata pelan, “Rumah berdinding hitam... itu bukan rumah biasa. Itu pintu.”

“Pintu ke mana?”

Sasmita melirik kaca spion.

“Ke masa lalu yang belum selesai.”

Dan saat kabut makin tebal, dan sinyal HP mulai hilang, suara-suara mulai muncul lagi dari balik pohon. Suara kaki. Suara orang menangis. Suara tertawa... tapi bukan manusia.

Kenan mulai berkeringat. “Kita baru jalan... tapi kayaknya mereka udah tau.”

Sasmita mengecek keris di sabuknya, lalu memutar tasbih kecil di jari.

“Karena mereka gak mau lo balik dengan kebenaran, Kenan.”

Dan saat mobil mulai menembus hutan menuju Garut, mereka gak tahu satu hal:

Di balik pohon paling belakang, ada sosok tinggi besar. Berdiri diam, kepalanya menyentuh ranting, matanya merah menyala.

Manglayang Merah... sudah membaui darah yang dicari.

Bersambung.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!