"Aku Bukan Ustadzah" mengisahkan perjalanan Aisyah, seorang wanita sederhana yang dikenal taat dan aktif di lingkungan sosial keagamaan, namun selalu menolak disebut ustadzah. Ia merasa masih terus belajar dan takut gelar itu membuatnya terjebak dalam citra yang bukan dirinya. Di tengah aktivitas dakwahnya, hadir Khaerul—seorang pemuda tangguh yang dulu jauh dari agama namun kini berjuang menata hidup dengan semangat hijrah. Pertemuan mereka membawa dinamika antara prinsip, cinta, dan pencarian jati diri. Novel ini menyajikan konflik batin, perjuangan iman, dan ketulusan cinta yang tak selalu harus dimiliki namun untuk dimengerti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ummu nafizah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30: Doa yang Membakar Langit
Malam menurunkan tirainya dengan perlahan. Di langit, awan menggumpal gelap, seolah menahan rahasia yang terlalu kelam untuk dibocorkan. Di atas pondok Tahfidz Ummu Nafizah, suasana mencekam masih terasa. Teror Parakang yang selama ini menjadi bayang-bayang, akhirnya terbuka: Pak Samad, tokoh adat yang disegani, adalah sumber semua mimpi buruk.
Aisyah terduduk lemah di beranda pondok, tubuhnya masih diguncang sisa ketakutan. Khaerul berdiri di sisinya, menggenggam tasbih dan bibirnya komat-kamit membaca ayat-ayat perlindungan. Santri-santri mulai kembali tenang, tapi luka spiritual mereka masih menganga.
"Aku... aku tak percaya orang sebaik dia bisa menjadi Parakang..." bisik salah satu santri, Fida, matanya sembab.
Khaerul memandang para santri yang berkumpul. "Inilah mengapa kita harus menegakkan dakwah, bahkan ketika kegelapan itu datang dari mereka yang berpakaian baik dan bersuara lembut. Iblis tak pernah memakai wajah menyeramkan; ia menyamar dalam kehormatan."
Malam itu, Aisyah memimpin majelis zikir dan doa. Tangis berjatuhan. Doa-doa terangkat, bukan hanya sebagai permohonan, tetapi sebagai perlawanan. Seakan-akan suara mereka menembus langit yang menghitam, memanggil bala tentara cahaya dari alam yang lebih tinggi.
Tiba-tiba, salah satu santri kerasukan. Tubuhnya menggeliat, matanya membelalak tanpa kendali. Suara berat keluar dari tenggorokannya, bukan suaranya sendiri.
"Kalian... tidak akan bisa menghentikan kami. Pak Samad hanyalah satu dari banyak yang telah ditanam. Kalian pikir ini berakhir? Ini baru permulaan..."
Aisyah menggenggam mushaf, air matanya mengalir deras tapi wajahnya teguh. "Laa hawla walaa quwwata illa billah... Jika ini perang yang mereka mulai, maka kami akan melawan dengan doa, dengan iman, dengan sabar yang membakar."
Kilatan petir menghantam langit. Seorang ustadz tua dari kampung sebelah datang membawa kabar mengejutkan: di beberapa desa lain, kasus serupa muncul. Santri hilang, suara gaib, dan tokoh adat yang bersekutu dengan kekuatan kegelapan.
Khaerul memandangi langit. "Ini bukan lagi tentang satu pondok. Ini tentang pertempuran antara cahaya dan kegelapan yang diwariskan turun-temurun."Malam merayap dengan langkah hening, menyelimuti Desa Batupute dalam kegelapan yang ganjil. Bintang seolah enggan bersinar, dan rembulan bersembunyi di balik awan pekat. Di tengah sunyi itu, langkah Aisyah yang gemetar menyusuri jalan setapak menuju pantai Lasonrai terasa seperti degup waktu yang menantang maut.
Suara angin berdesir, namun membawa bisik yang berbeda. Bukan hanya hembusan udara, melainkan gumaman dari alam yang seolah ingin memperingatkan. Dari balik rimbun pandan laut, sesosok bayangan tinggi besar mengintai. Sosok itu berjalan dengan langkah tak biasa, tubuhnya menyatu dengan gelap, dan matanya berkilat seperti bara yang menyala dari kedalaman neraka.
"Itu... itu Parakang..." bisik Khaerul yang tiba-tiba muncul di belakang Aisyah, menarik tangannya pelan.
Aisyah menahan napas. Ia pernah mendengar cerita-cerita mistis dari masyarakat Bugis. Parakang, makhluk jadi-jadian yang mengambil kekuatan dari dunia astral dengan harga yang tak ringan: darah, jiwa, dan pengkhianatan.
"Lihat baik-baik," ujar Khaerul pelan, matanya tak berkedip. "Itu Pak Samad."
Aisyah tercekat. Sosok yang selama ini menghancurkan reputasinya, menebar fitnah dan sihir, ternyata bukan hanya manusia biasa. Ia adalah Parakang, pemakan energi kehidupan, yang haus akan kekuasaan spiritual.
Seketika tubuh Pak Samad berubah. Dari bayangan hitam pekat, kulitnya mengelupas, menampakkan sisik seperti ular. Suaranya yang serak berubah menjadi erangan rendah yang menggetarkan tanah.
"Aisyah... darahmu... telah terikat. Kau telah membuka kitab itu... warisan Mahfudz... garis darahmu bukan sembarang garis. Kau harus disingkirkan," geram makhluk itu.
Namun Aisyah, yang kini telah belajar memegang cahaya dari langit, tak lagi mudah goyah. Ia menggenggam erat tasbih warisan ibunya, lalu mengangkat tangan tinggi-tinggi.
"Hasbunallahu wa ni’mal wakiil..." suaranya mengalun tegas, menggema di udara. Tiba-tiba cahaya dari langit seperti memancar dari tangannya, menyilaukan sosok Parakang yang meraung keras. Tanah bergetar, pohon-pohon menunduk, dan angin menerjang seperti badai kecil.
Pak Samad—atau apa pun wujudnya kini—terlempar mundur, tubuhnya mencair, lalu menghilang dalam pusaran angin laut. Tapi sebelum lenyap, ia meninggalkan sebuah tawa… tawa penuh dendam dan janji kematian.
Khaerul memeluk Aisyah, tubuhnya juga gemetar. "Ini belum selesai. Kita telah menyentuh sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar dendam keluarga. Ini adalah pertarungan antara cahaya dan kegelapan... antara warisan darah dan kutukan yang belum tuntas."
Dari kejauhan, derap langkah terdengar. Para warga yang mendengar jeritan angin berdatangan dengan wajah bingung. Sebagian membawa obor, sebagian membawa kitab, dan sebagian lagi hanya doa yang terus terucap dari bibir mereka.
"Apa yang terjadi, Ustadzah?" tanya seseorang.
Aisyah menatap mereka. Kali ini tidak dengan rasa takut, tapi dengan keberanian baru.
"Desa ini belum aman. Tapi kita tidak akan menyerah. Parakang itu... berasal dari kita. Dan kita pula yang harus mengakhiri semuanya."
Langit mulai terang sedikit. Fajar mendekat. Namun malam panjang itu telah mengajarkan pada Aisyah satu hal: kebenaran tidak selalu lahir tanpa darah dan air mata.
Langit di atas Desa Batupute tampak muram, seolah menyimpan kesedihan dan rahasia yang tak terucapkan. Angin bertiup kencang dari arah Pantai Lasonrai, membawa aroma asin yang bercampur dengan hawa aneh dan menggigit. Di tengah gelap dan gugupnya malam itu, satu per satu bayang kelam mulai muncul ke permukaan.
Pak Samad duduk di beranda rumah panggungnya yang dikelilingi pohon bambu rimbun. Tatapannya kosong menembus gelap, tapi di balik matanya yang tenang, bergemuruh ingatan kelam dan kekuatan mistis yang telah lama tersembunyi.
Dulu, di masa mudanya, Pak Samad adalah salah satu pemuda cerdas di desanya. Namun kesombongan dan haus kekuasaan membawa langkahnya kepada sesuatu yang tak seharusnya disentuh: perjanjian spiritual dengan sosok gaib. Ia bersekutu dengan Parakang—makhluk mistis dalam kepercayaan Bugis yang mampu berubah wujud dan menyerap kekuatan kehidupan manusia.
Perjanjian itu mengharuskan Pak Samad menjaga identitasnya, bersembunyi di balik nama tokoh adat yang terhormat. Ia diberikan kekuatan untuk melihat yang gaib, memanipulasi pikiran, dan menjaga rahasia besar yang diwariskan oleh leluhurnya yang juga Parakang.
Namun kehadiran Aisyah dan Khaerul di desa itu mengguncang keseimbangan. Cahaya yang mereka bawa, dakwah yang mereka bangun, serta ketulusan mereka kepada masyarakat perlahan mengikis dominasi kegelapan. Masyarakat mulai bangun dari ketakutan, dari kebiasaan tunduk pada "penguasa adat" yang sebenarnya menjadikan mereka korban tanpa sadar.
Pak Samad merasakan kekuatannya mulai memudar. Ritual yang biasa ia lakukan tak lagi berdampak. Bisikan-bisikan gaib yang selama ini menemaninya kini menghilang, menyisakan kehampaan. Parakang dalam dirinya meronta, haus akan energi baru. Ia mulai merasa terdesak.
Dalam kegilaan yang perlahan melingkupinya, Pak Samad menyelinap ke tengah malam menuju gua tua dekat Pantai Lasonrai. Di sana, ia membuka kitab hitam peninggalan leluhur, mencoba memanggil kekuatan yang selama ini menjaga takhtanya. Tapi malam itu, sesuatu berbeda.
Sosok hitam menjelma dari bayangan gua, tidak seperti biasa. Parakang utama, yang dahulu membuat perjanjian dengan leluhur Pak Samad, kini datang menagih. Mata merah menyala, suara dalam yang menggema seperti ribuan jeritan mengguncang langit-langit gua.
"Waktumu hampir habis, Samad. Darahmu tak lagi murni. Mereka telah mengusik keseimbangan, dan kini kau harus membayar."
Pak Samad gemetar. Ia tahu, darah kebenaran telah menyusup melalui Aisyah. Perempuan itu bukan hanya santri, bukan hanya istri Khaerul. Ia adalah keturunan dari garis suci yang dahulu ditugaskan untuk memutus rantai Parakang.
Semakin banyak tanda-tanda muncul. Santri-santri yang dulu sakit tanpa sebab kini pulih. Majelis pengajian menjadi pelindung spiritual yang kuat. Masyarakat mulai menolak klenik dan ritual gelap. Dan Pak Samad—si Parakang dalam wujud manusia—semakin melemah.
Ia pun merancang rencana terakhir: menyerang secara spiritual. Ia menyebar mimpi buruk pada santri, membuat fitnah baru bahwa Aisyah membawa ilmu hitam, dan bahkan menabur benda-benda keramat palsu di sekitar pondok. Tapi semua itu perlahan terungkap berkat kekuatan doa dan kekompakan para santri.
Dalam majelis tengah malam yang dipimpin Khaerul, seluruh santri membaca Al-Qur’an tanpa henti. Doa-doa menggema hingga ke langit. Dan di malam itu, Aisyah melihat dengan matanya sendiri: bayangan Pak Samad berubah menjadi sosok hitam tinggi, dengan mata merah menyala dan kuku yang menghitam. Ia tersungkur dan berteriak, lalu pingsan.
Saat ia sadar, Khaerul menggenggam tangannya erat. "Parakang telah menunjukkan dirinya. Kini, kita harus bersatu, bukan hanya secara lahir tapi juga dalam batin dan iman."
Malam itu menjadi saksi dimulainya pertempuran spiritual terakhir antara cahaya dan kegelapan. Dan wajah Pak Samad, yang selama ini dihormati dan ditakuti, kini retak oleh kenyataan: bahwa kebenaran, meski tertunda, selalu menemukan jalannya.