Dibunuh oleh putrinya sendiri membuat Kayana bersumpah untuk membalas setiap perbuatan keji sang putri saat ia diberikan kesempatan untuk hidup kembali. Doanya terkabul ia diberikan kesempatan hidup lagi, apakah ia akan membalas dendam kepada sang putri atau luluh karena sang putri berubah menjadi anak baik???
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Its Zahra CHAN Gacha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Seberkas cahaya setelah luka
Satu tahun telah berlalu sejak kebenaran terungkap. Banyak hal telah berubah.
Putri kini menjalani hidup barunya dengan lebih kuat dan dewasa. Meski ia kini mengetahui siapa ibu kandungnya, ia memilih tetap tinggal bersama ibu angkatnya yang telah merawatnya sejak bayi. Wanita renta itu kini terbaring sakit, dan Putri merasa tak mungkin meninggalkannya.
"Aku tahu dia bukan ibu kandungku," ucap Putri suatu malam pada Mala yang datang menjenguk,
"Tapi dia adalah wanita yang memberiku kasih sayang, yang mengajari aku berjalan, yang menangis saat aku jatuh sakit. Dia adalah ibuku, Ibu yang memberiku kasih Sayang sampai mengorbankan kebahagiaannya sendiri, dan aku tidak akan meninggalkannya." lanjutnya
Mala menatap Putri dengan mata berkaca-kaca. Meskipun hatinya hancur, ia menghormati keputusan Putri. Ia tahu bahwa cinta tak selalu harus dimiliki. Kadang, cukup melihat orang yang kita cintai bahagia itu sudah cukup.
"Kalau begitu, biarkan aku tetap mendampingi dari jauh," kata Mala pelan. "Aku akan tetap jadi ibu, meski bukan di rumah yang sama. Jika kau membutuhkan bantuan ku datanglah padaku, pintu rumah ku selalu terbuka untuk mu,"
Putri mengangguk setuju. Mala hanya bisa memeluknya sebelum ia pergi meninggalkannya.
Di sisi lain, hidup Vanesa hancur. Karena ia tidak bisa bersekolah di sekolah formal, ia pun terpaksa mengikuti program paket C untuk mendapatkan ijazah agar dia bisa melanjutkan kuliah.
Bersekolah di sekolah paket membuat Ia begitu stress dan malu. Ia tak bisa lagi hidup mewah seperti dulu karena perekonomian keluarganya juga memburuk. Sepertinya Mala benar-benar membuat kehidupan keluarganya terpuruk. Ia benar-benar membalas dendam atas apa yang sudah ia lakukan kepadanya dan juga Putri.
Hidup Vanesa penuh penyesalan. Namun sayangnya, ia belum benar-benar memahami arti perubahan. Ia masih menyalahkan keadaan, menyalahkan Putri, menyalahkan semua orang kecuali dirinya sendiri.
Sementara itu, Haris kehilangan pekerjaannya. Tak ada perusahaan yang mau mempekerjakan mantan narapidana kasus percobaan pembunuhan. Shela pun kehilangan semua fasilitas mewah yang dulu membuatnya merasa berkuasa. Ia bangkrut, dijauhi relasi sosialnya, dan hidup dalam kehinaan.
Keluarga yang dulu tampak sempurna itu kini hancur berkeping.
Laston, yang dulu memegang banyak rahasia, kini memilih hidup lebih tenang. Ia mengajar di sebuah kampus kecil di kota lain, namun tetap menjaga hubungan dengan Putri dan Mala. Ia masih menyimpan hasil tes DNA itu, sebagai bukti dari cerita kelam yang pernah ada bukti kebenaran yang akhirnya terungkap.
Ia lega karena kini Putri berada di jalan yang benar. Meski menolak hidup mewah bersama Mala, Putri tumbuh menjadi pribadi kuat, penuh empati, dan mencintai dengan tulus.
Dan Mala…
Ia masih sering datang diam-diam ke sekolah Putri, menyaksikan dari jauh gadis itu tersenyum. Ia tahu dirinya bukan bagian dari kehidupan sehari-hari Putri, tapi ia tetap merasa menjadi bagian dari masa depannya.
Ia tak lagi mengejar balas dendam, atau cinta yang menyakitkan.
Ia hanya ingin menebus kesalahan masa lalu.
Menjadi seorang ibu, meski dari kejauhan.
Karena cinta sejati... tak pernah meminta.
Setahun kemudian...
Suasana kediaman keluarga Wijaya malam itu tampak semarak. Pesta penyambutan Putri sebagai bagian dari keluarga digelar cukup meriah. Putri akhirnya setuju untuk menjadi bagian dari keluarga Wijaya dan tinggal bersama Sang ibu, setelah Mala mengizinkan ibunya tinggal bersamanya di keluarga Wijaya.
Para tamu undangan datang silih berganti, mengucapkan selamat kepada gadis yang dulu hanya dianggap bayangan di balik cahaya Vanesa. Kini, Putri tampil anggun dalam balutan gaun putih sederhana namun elegan, duduk berdampingan dengan Mala dan Nyonya Wijaya di kursi utama.
Namun di tengah keriuhan dan tawa bahagia itu, Vanesa diam-diam menyelinap. Wajahnya menegang, langkahnya cepat namun ringan, menyusuri lorong rumah besar itu hingga tiba di depan kamar Nyonya Wijaya.
Dia membuka pintu perlahan. Tidak terkunci. Di dalam, suasana kamar gelap dan hening. Vanesa melangkah menuju lemari tua di sudut ruangan. Di balik lemari itulah brankas warisan keluarga Wijaya disimpan—tempat yang dulu kerap disebut-sebut Nyonya Wijaya sebagai “jantung kekayaan keluarga mereka.”
Vanesa berlutut, mengetikkan sandi yang sudah dihafalnya sejak kecil.
Klik.
Brankas terbuka perlahan. Matanya berbinar melihat deretan perhiasan emas, sertifikat tanah, dan lembaran uang yang tertata rapi.
Namun belum sempat ia mengambil apapun, suara berat menghentikan gerakannya.
“Vanesa?”
Vanesa menoleh cepat. Nyonya Wijaya berdiri di ambang pintu dengan tatapan penuh kekecewaan.
“Kau… mencuri dariku?” Suaranya lirih, namun mengandung luka mendalam.
“Bukan begitu, Nek…” Vanesa berusaha mendekat. “Aku hanya… hanya butuh jaminan. Putri akan mengambil semuanya dariku. Aku tidak mau kehilangan apa yang seharusnya milikku!”
Nyonya Wijaya mencoba melangkah mundur, tubuhnya gemetar. “Semua ini… bukan tentang harta. Tapi tentang hati dan kelayakan. Kau sudah mengecewakan kami…”
“Aku cucumu!” bentak Vanesa, tangannya meraih lengan sang nenek. “Aku pewaris keluarga ini! Bukan gadis yatim piatu itu!”
“Aku tak pernah mengajari cucuku untuk tamak dan kejam…”
Dorongan emosi menguasai Vanesa. Dalam sekejap, tangannya mendorong tubuh Nyonya Wijaya yang sudah renta.
Nyonya Wijaya kehilangan keseimbangan.
“NEK, TUNGGU!”
Tapi sudah terlambat. Tubuh wanita tua itu terhempas dari balkon lantai dua, menabrak lantai marmer di bawahnya dengan suara yang membekas.
Suasana pesta seketika berubah menjadi kepanikan. Teriakan tamu dan tangisan terdengar bersahut-sahutan.
Mala dan Laston yang mendengar keributan langsung berlari ke arah sumber suara. Tubuh Nyonya Wijaya tergeletak bersimbah darah.
Putri terpaku, tubuhnya menggigil. “Nenek… Nenek…”
Sementara itu Vanesa masih berdiri di atas, tubuhnya gemetar, wajahnya pucat. Tangannya berlumuran darah.
Mala menatap ke atas, dan untuk pertama kalinya, kemarahan yang selama ini ia tahan menggelegak. Ia menatap anak yang selama ini ia rawat dengan hati remuk.
“Vanesa…”
Namun Vanesa hanya mundur perlahan, menyadari perbuatannya telah melampaui batas.
Suasana kediaman keluarga Wijaya berubah drastis. Dari pesta mewah penuh cahaya menjadi tempat duka dan kebingungan. Ambulans datang, namun nyawa Nyonya Wijaya tak bisa diselamatkan. Tubuhnya terbujur kaku, selimut putih menutupi wajahnya. Tamu-tamu mulai meninggalkan rumah dengan wajah muram dan penuh tanya.
Laston menghubungi polisi. Ia tahu, ini bukan sekadar kecelakaan.
Sementara itu, Vanesa berlari menyelinap ke kamarnya. Ia mengunci pintu dan duduk di sudut ruangan sambil menggenggam kepala. Tangannya masih gemetar, wajahnya dipenuhi rasa takut dan bingung. Ia tidak menyangka dorongan kecil itu akan mengakhiri nyawa satu-satunya orang yang benar-benar mencintainya.
"Apa yang harus aku lakukan sekarang??"
"Aku tidak mau di penjara??"
Tak lama, suara ketukan keras di pintu kamarnya terdengar. Itu suara Mala.
“Vanesa! Buka pintunya!” bentak Mala. “Apa yang sudah kamu lakukan?!”
Namun Vanesa tetap membisu. Ia menyumpal telinganya dengan bantal dan meringkuk ketakutan.
hadeh ada juga yg kyk gtu