Sinopsis
Rania, seorang gadis desa yang lembut, harus menanggung getirnya hidup ketika Karmin, suami dari tantenya, berulang kali mencoba merenggut kehormatannya. Belum selesai dari satu penderitaan, nasib kembali mempermainkannya. Karmin yang tenggelam dalam utang menjadikan Rania sebagai pelunasan, menyerahkannya kepada Albert, pemilik sebuah klub malam terkenal karena kelamnya.
Di tempat itu, Rania dipaksa menerima kenyataan pahit, ia dijadikan “barang dagangan” untuk memuaskan para pelanggan Albert. Diberi obat hingga tak sadarkan diri, Dania terbangun hanya untuk menemukan bahwa kesuciannya telah hilang di tangan seorang pria asing.
Dalam keputusasaan dan air mata yang terus mengalir, Rania memohon kepada pria itu, satu-satunya orang yang mungkin memberinya harapan, agar mau membawanya pergi dari neraka yang disebut klub malam tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maple_Latte, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab: 22
Suasana di lorong Mall Grand Galeria mendadak berubah menjadi tegang bagi dua pria yang berdiri di tengah keramaian. Airon, sang penguasa bisnis berdarah dingin, menatap asisten pribadinya dengan sorot mata yang mampu membekukan siapa pun.
"Di mana Rania?" Suaranya rendah, namun mengandung ancaman yang nyata.
Ergan menyapu pandangan ke sekeliling kafe, tempat ia meminta Rania menunggu beberapa saat lalu. "Tadi saya meminta Nyonya Muda menunggu di kursi ini, Tuan. Saya hanya pergi sebentar untuk menaruh belanjaan di bagasi mobil," jelas Ergan dengan raut wajah yang mulai diselimuti kepanikan.
"Mungkin Nyonya Muda pergi untuk melihat-lihat sejenak, Tuan," tambah Ergan mencoba menenangkan diri sendiri.
Airon mendengus kasar. "Kamu ke arah timur, saya ke arah barat. Cari dia sampai ketemu!" perintahnya mutlak.
Sepuluh menit kemudian, keduanya kembali ke titik semula dengan tangan hampa. Kecemasan mulai merayap di wajah Airon. Ia tahu Rania adalah gadis polos dari desa yang tidak terbiasa dengan labirin mall semegah dan seluas ini.
"Seharusnya Tuan membelikan ponsel untuk Nyonya Muda!" Ergan memberanikan diri menyalahkan atasannya. "Jika beliau punya ponsel, kita tidak akan kesulitan seperti ini!"
"Kenapa jadi kamu yang menyalahkan saya? Seharusnya kamu tidak meninggalkan dia sendirian di tempat terbuka seperti ini!" Airon balik membentak. Rahangnya mengeras, kemarahan dan kekhawatiran bercampur aduk menjadi satu.
Ergan memilih bungkam. Berdebat dengan Airon dalam kondisi seperti ini hanya akan membuatnya menjadi sasaran empuk kemurkaan sang tuan. Wajah Airon kini terlihat luar biasa panik, sebuah pemandangan langka yang menyerupai seorang ibu yang kehilangan anak satu-satunya di tengah keramaian.
Langkah lebar Airon terhenti ketika ia melihat kerumunan orang di depan sebuah toko perhiasan mewah. Di tengah kerumunan itu, hatinya mencelos melihat sosok yang dicarinya. Rania berdiri di sana, rapuh dan gemetar, sementara lengannya dicengkeram kasar oleh seorang penjaga toko.
"Beraninya kamu!" desis Airon. Darahnya mendidih seketika.
"Lepaskan tangan kotormu dari lengannya!" Suara Airon menggelegar, membelah kerumunan orang yang sedang menonton drama penghakiman itu.
Bisik-bisik mulai terdengar dari orang-orang di sekitar. "Bukankah itu Airon Demitri? Pengusaha kaya raya itu?" "Iya, itu benar dia! Sedang apa dia di sini?"
Penjaga toko itu seketika pucat pasi. Genggamannya pada lengan Rania terlepas secara otomatis. "Tu-tuan Airon..." ucapnya terbata-bata.
"Apa Anda mengenal wanita ini, Tuan?" tanya penjaga toko itu dengan bibir gemetar.
Airon menatap Rania sekilas, lalu kembali pada penjaga toko itu dengan sorot membunuh. "Dia asisten pribadiku," ucap Airon tegas.
Sebuah kebohongan pahit. Airon tahu ia tak bisa mengumumkan identitas Rania sebagai istrinya di depan publik. Jika media mencium bau pernikahan rahasia seorang Airon Demitri, hidup tenang Rania akan berakhir, dan bisnisnya akan terseret dalam kekacauan spekulasi.
Rania hanya diam tertunduk mendengar pengakuan itu. Ada rasa perih yang terselip di hatinya mendengar kata 'asisten', namun ia sadar posisinya memanglah rahasia.
"Berani sekali kamu memperlakukan orang saya dengan kasar! Bahkan sampai menuduhnya maling tanpa bukti!" Airon melangkah maju, aura dominasinya menyelimuti seluruh area toko. "Kamu telah berurusan dengan orang yang salah."
Airon menarik Rania ke dalam dekapannya, membawanya pergi meninggalkan toko tersebut tanpa menoleh lagi. "Ergan, kamu urus semuanya. Pastikan tempat ini membayar atas apa yang mereka lakukan."
"Baik, Tuan," sahut Ergan dengan nada dingin yang serupa.
Penjaga toko itu lemas seketika. Ia tahu, jika ia beruntung, ia hanya akan kehilangan pekerjaan. Namun, berhadapan dengan pengacara milik keluarga Demitri berarti pintu penjara sudah setengah terbuka untuknya karena tuduhan palsu dan perbuatan tidak menyenangkan.
Suasana di dalam mobil Porsche Panamera itu begitu hening. Hanya suara mesin yang halus menemani perjalanan mereka kembali ke vila. Airon melirik ke arah Rania yang sejak tadi hanya mematung menatap keluar jendela.
"Kamu tidak apa-apa?" tanya Airon.
"Tidak apa-apa, Tuan," jawab Rania lirih. Ia berbohong. Jantungnya masih berdegup kencang karena trauma dituduh sebagai pencuri di depan banyak orang.
"Tuan..." panggil Rania pelan.
"Ya?"
"Terima kasih."
Setelah itu, keheningan kembali merajai. Airon melirik dari sudut matanya, melihat Rania yang sedang mati-matian menahan air mata di pelupuk matanya. Gadis itu berkali-kali menyeka matanya dengan cepat sebelum butiran bening itu sempat jatuh ke pipi. Hati Airon berdenyut aneh—sebuah rasa bersalah yang tak biasa.
Sesampainya di vila, Airon mematikan mesin. "Kita sudah sampai," ucapnya. Namun, tidak ada jawaban.
Airon menoleh dan mendapati Rania sudah tertidur pulas karena kelelahan emosional. Ia turun dari mobil, berjalan memutar, dan membuka pintu di sisi penumpang. Dengan gerakan yang sangat lembut, ia membuka sabuk pengaman dan menggendong tubuh mungil Rania masuk ke dalam vila.
Airon membawa istrinya ke lantai atas, membaringkannya di tempat tidur dengan hati-hati. Ia menatap wajah Rania sejenak dalam remang lampu kamar. Rasa geram kembali muncul di benaknya; bagaimana mungkin ada orang yang tega menuduh gadis setulus ini sebagai pencuri?
Rania terbangun saat kegelapan sudah sepenuhnya menyelimuti langit. Ia menatap jam dinding dengan panik. Pukul 09.20 malam.
"Astaga!" pekiknya sembari bergegas keluar kamar. Karena terlalu terburu-buru, ia menabrak sesuatu yang keras di lorong.
"Tuan Airon..." Rania mendongak, menatap wajah suaminya yang tinggi menjulang.
"Sudah bangun?" tanya Airon datar.
"Maaf, Tuan, saya ketiduran. Tuan pasti lapar, saya masak sekarang ya?" ucap Rania penuh rasa bersalah. Ia hendak berlari menuju tangga, namun kakinya tersandung karpet. Tubuhnya hampir terjatuh jika Airon tidak sigap menangkap pinggangnya.
"Hati-hati, Rania. Jangan ceroboh," ucap Airon memperingatkan.
"Maaf, Tuan..."
"Kamu tidak perlu memasak. Saya sudah memesan makanan tadi," ujar Airon sembari melepaskan pegangannya.
Rania menunduk lesu. "Maaf, Tuan. Gara-gara saya ketiduran, Tuan jadi harus memesan makanan lagi. Padahal tadi saya sudah belanja bahan-bahan segar."
"Tidak apa-apa. Masaklah besok," sahut Airon pendek.
Malam itu berakhir dengan makan malam yang sunyi. Di dalam kepalanya, Rania bertanya-tanya; siapa yang membawanya ke kamar tadi? Ia ingat terakhir kali ia berada di dalam mobil. Namun, ia tak punya keberanian untuk bertanya.
Keesokan paginya, Rania bangun jauh lebih awal. Ia ingin menebus kesalahannya semalam dengan membuatkan sarapan istimewa untuk Airon sebelum pria itu berangkat bekerja.
"Selamat pagi, Tuan," sapa Rania ceria saat melihat Airon turun dengan setelan jas yang sangat rapi.
"Pagi," jawab Airon singkat.
"Saya sudah siapkan sarapan, Tuan. Mari makan dulu," ajak Rania dengan senyum manisnya.
Langkah Airon tidak melambat. "Sarapanlah sendiri. Pagi ini saya harus ke luar kota untuk urusan mendesak. Saya baru pulang nanti malam."
Seketika, senyum di wajah Rania luntur. Harapan yang ia bangun sejak fajar menyingsing hancur seketika. Ia menatap nasi goreng dan lauk pauk yang masih mengepul di meja makan dengan tatapan kosong.
Airon pergi begitu saja, dijemput oleh Ergan yang sudah menunggu di depan.
"Aku... harusnya memang tidak boleh terlalu berharap banyak," gumam Rania sembari menarik napas panjang.
Ia menatap meja makan yang kini terasa begitu sepi. Bayangannya tentang Airon yang memuji masakan sarapannya hanyalah sebuah angan-angan kosong. Dengan lesu, Rania memutuskan untuk menyimpan makanan itu sebagai jatah makannya sendiri nanti, lalu ia kembali ke kamarnya dengan hati yang terasa sedikit lebih dingin dari biasanya.
*****
Halo pembaca setia! Terima kasih sudah terus menemani perjalanan Rania dan Airon. Maafkan jika masih ada kekurangan dalam penulisan. Mohon dukungannya terus ya! Klik LIKE, Vote dan berikan KOMENTAR seru kalian, agar Author makin semangat melanjutkan kisah ini. Dukungan kalian adalah energi terbesar bagi Author.
Untuk kak Partini terima kasih karena setiap membaca karya-karya author.
masa tangan kanan ga punya rencana 🤦🤦