Valeria bahagia ketika sang adik, Cantika diterima sebagai sekertaris di sebuah perusahaan. Setelah 3 bulan bekerja, Cantika menjalin hubungan dengan pimpinannya.
Ketika Cantika mengenalkan sang pimpinan kepada Valeria, dia terkejut karena pria itu adalah Surya, orang yang dulu pernah menjalin cinta dengannya sewaktu SMU, bahkan pernah merenggut keperawanannya.
Apakah yang Valeria lakukan selanjutnya? Apa yang akan terjadi pada mereka? Apakah hubungan mereka akan berlanjut?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yudhi Nita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Eps 30
Aku berjalan tergesa-gesa di belakangnya, dia jalan begitu cepat, hingga sampai di lift, ada dua karyawan di dalam lift yang begitu mengenalku.
"Eh, Bu Valeria, kemarin datang dari Jakarta ya, wah beda dipimpin sama Bu Magda, ga asyik seperti Bu Valeria, kami jadi ga pernah piknik-piknik kemana gitu, atau ada acara apa gitu, adanya kerja aja," seorang cewek bernama Gisella berceloteh dengan cepat.
"Kapan Ibu selesai tugasnya di Jakarta, Bu?" tanya cewek yang bernama Donna.
Lift keburu terbuka sebelum aku menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka.
"Eh, maaf saya duluan ya?" kataku tergesa saat Surya melangkah keluar dengan cepat. Aku melambaikan tangan pada mereka sambil menunjuk pada Surya.
Duh, maaf ya Mbak-mbak, gara-gara cowok ini jadi kuabaikan kalian.
Mereka memakluminya dengan mengangguk-angguk pelan.
Tiba di parkiran, dia berhenti dan menungguku mengambil mobil. Boss satu ini emang unik banget. Aku berasa jadi asisten sekalian supirnya.
Mobil telah keluar dari parkiran, dan dia tetap di tempatnya berdiri. Mau apa lagi sih? Ah minta dibukakan pintu kah? Ughh... Akhirnya aku keluar dari mobil dan membukakan pintu untuknya. Dia segera masuk dengan pandangan mata masih ke depan dengan sok angkuhnya.
Aku mengelus dada, baiklah sekarang baru jadi tamu, kesempatan untuknya mengerjaiku, kan? Puas-puasin deh...
Sebelum ke apartemenku, mampir dulu ke hotelnya yang dekat dengan kantor. Aku menunggunya di bawah, sesaat kemudian, seorang bell boy datang membawakan koper medium ke bagasi mobilku. Dia masuk ke mobil, kulirik melewati kaca spion senyum sedikit tersungging di wajahnya.
Di tengah perjalanan, dia bertanya padaku, "Kamu ada hubungan dengan siapa lagi selain Reno?"
Aku menghela nafas, "Bukan urusanmu, kan?"
"Sebentar lagi bakal jadi urusanku," katanya yakin.
"Kamu ga diapa-apain kan sama orang itu?" dia kembali bertanya, masih memandang lurus ke depan.
"Apaan, sih. Orang cuma temen kok," saking jengkelnya aku keceplosan.
"Oh, nah gitu jujur, bilang kalau cuma temen,"
"Kalau sama Reno?"
Entah kenapa saat ini ingin aku lajukan mobil dengan cepat.
"Woi, woi... Iya, iya aku ga bakal nanya-nanya lagi, pelan-pelan ngapa?" dia berteriak sambil berpegangan jok mobil.
Rasain, batinku, padahal kalau melaju cepat pun aku bakal kena tilang.
Sesampainya di apartemen, aku turun, kubalas dia dengan berjalan cepat menuju ke dalam. Dia yang masih mengambil koper, terburu-buru menyusulku.
Sampai di depan ruang apartemen, aku mengambil kunci dan membuka pintu.
"Mana ruangan apartemen untukku?" tanya dia sambil meletakkan koper di lantai.
Plash!
Mukaku pucat, aku lupa menanyakan kunci ruangan sebelah ke Bu Magda!
"Kamu lupa bawain kuncinya, kan?" katanya sambil mengangkat koper memasuki ruanganku.
"Eh, ngapain?" tanyaku heran padanya karena masuk ke ruanganku tanpa permisi.
"Di mana aku bisa istirahat kalau ruanganku masih terkunci?"
Dia meletakkan koper di lantai pojokan lalu merebahkan diri ke atas tempat tidur. Hihhh... Kenapa Tuhan menciptakan satu manusia super menyebalkan ini?
Akhirnya aku mengalah, karena memang kealpaan membawakan kunci pintunya. Aku memasuki ruangan, menutup pintunya dan masuk ke dapur, menjerangkan air untuk minum pak Boss ini. Sekejap kemudian, terdengar suara dengkuran dari tempat tidur. Ah, Lia kedua.
Bau teh semerbak di ruangan ketika air panas dituangkan ke serbuk teh di dalam teko. Dia masih tertidur pulas. Aku menikmati secangkir teh panas di sofa, dan menonton acara televisi. Ketika menengok ke tempat tidur, dia masih saja terlelap. Kuamati wajahnya dari jauh, ingin mendekati tetapi aku tidak punya hak atasnya. Akhirnya mata ini kembali ke layar televisi.
"Minum."
Terdengar suara parau, aku beranjak mengambil secangkir teh untuknya. Dia belum juga membuka mata ketika aku telah sampai di hadapannya. Akhirnya teh hanya kutaruh di meja samping tempat tidur.
Ketika berbalik menuju ke sofa, terdengar lagi suara paraunya,
"Aku lapar."
Dengan sabar kulangkahkan kaki menuju dapur, membuka lemari pendingin dan menemukan beberapa kaleng ikan tuna di situ, untung kemarin belanja di supermarket. Jadi stok bahan makanan tersedia.
Aku mulai membuatkan dia nasi goreng ikan tuna di dapur. Tampaknya dia masih berbaring di atas tempat tidur.
"Aw!" jariku terkena pisau dapur saat mengiris bawang bombay.
Surya segera melompat dari tempat tidurnya, berlari ke arahku, dan memegang jari yang telah berdarah.
"Kamu ini gimana bisa sampai kena pisau? Ini darahnya banyak banget, sakit? Aku ambilkan plester, di mana kotak obatnya?" dia panik seperti kebakaran jenggot.
"Ga usah, cuma kena pisau doang aja, kenapa musti lebay gitu?" ucapku merengut sambil menarik jariku lalu membersihkannya di kran kitchen sink.
Dia mendengus, "Takut, nanti kamu kehabisan darah cuma karena mau bikinin aku makan, kan?"
Kulanjutkan memasak tanpa menghiraukannya, dia masih berdiri menatapku di gawang pintu dapur.
"Emang kamu mau bikin apa?" tanya dia kemudian.
"Nasi goreng," jawabku singkat.
"Oh, yang enak ya?"
"Hmmmmmmmmm..." Aku hanya mendehem panjang.
"Emang kamu ga tau kalau Reno punya istri?"
Lagi-lagi pertanyaan itu yang dia ajukan, ga ada yang lain apa.
Aku hanya mengangkat bahu lalu bilang sekenanya, "Kalau masak, trus sambil jengkel, jadi pedesnya bikin bersin, trus bikin sakit perut juga."
"Apa iya?"
Kumasukkan bumbu ke dalam minyak yang telah panas.
"Hatsyihhhh! Hatsyiih!"
"Kubilang juga apa," ujarku lirih tetapi masih terdengar olehnya.
Dia pun mengalah, menyingkir ke sofa lalu menonton televisi. Mungkin percaya dengan omonganku. Bibirku tersungging tanda kemenangan karena dia mengalah kali ini.
Dua piring nasi goreng telah kusiapkan di atas meja depan televisi. Dia segera menyantapnya dengan lahap.
"Enak, besok aku minta ayam kecap," seenaknya dia meminta.
Aku hanya melanjutkan makanku, sambil menatap layar televisi.
"Ya?" tanya dia sambil mendekatkan wajahnya ke wajahku.
"Iya!" jawabku sambil menghindari wajahnya.
Setelah itu dia tersenyum sambil melanjutkan makannya.
"Minumku, mana?"
Sambil mendengus lalu aku beranjak dari sofa, mengambilkan segelas air putih untuknya.
Ini udah kayak istrinya aja, aih...
berharap anaknya ga cacat semoga, berkali-kali mencoba digugurin 😌😩