Brakk
"Tidak becus! aku bilang teh hangat. Kenapa panas sekali? kamu mau membakar tanganku?"
Alisa tidak mengatakan apapun, hanya menatap ke arah suaminya yang bahkan memalingkan pandangan darinya.
"Tahunya cuma numpang makan dan tidur saja, dasar tidak berguna!"
Alisa menangis dalam hati, dia menikah sudah satu tahun. Dia pikir Mark, suaminya adalah malaikat yang berhati lembut dan sangat baik. Ternyata, pria itu benar-benar dingin dan tak berperasaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon noerazzura, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26. Mark Benar-benar curiga
"Ya ampun, aku mau istirahat. Kenapa terus bergetar ini ponsel!" omel Paula yang meraih ponsel di saku pakaian bagian dalam.
Bukan di pakaian dalam, tapi memang ada di kantong yang memang diatur supaya berada di bagian dalam bajunya.
"Halo, Riko!"
[Nyonya, tuan Mark pergi ke rumah sakit. Tadi dia datang ke pos dan bertanya tentang nyonya. Aku sudah katakan seperti yang nyonya instruksikan]
"Oke"
Paula menjawab singkat, lalu memutuskan panggilan telepon itu lagi. Setelah itu, dia turun dari tempat tidurnya dan berjalan menuju ke kamar mandi.
Setelah dari kamar mandi, dia memberitahu pada perawat yang berjaga di kamar itu kalian dia akan pergi. Dan jangan pernah katakan pada siapapun kalau dia pernah tidur selama 1 jam 45 menit disitu.
Saat berjalan ke dekat tempat parkir. Paula sedikit mengomel. Sambil memegang tengkuknya yang terasa pegal.
"Ya ampun, baru juga tidur sebentar. Kenapa tidak tidur saja pria itu di rumahnya sana!"
Paula menemukan tempat strategis, dimana Mark pasti akan menemukannya. Di tangga dari tempat parkir menuju ke dalam rumah sakit.
"Tunggu disini saja, pria itu menyusahkan sekali!" gumamnya.
Mark yang sudah sampai ke tempat parkir. Segera menepikan mobilnya lalu keluar, dia berjalan dengan cepat. Benar saja, dia melihat Alisa duduk dengan kepala tertunduk bertumpu pada kedua lututnya di dekat tangga.
Mark terlihat menghela nafas lega.
"Bangun!" panggil Mark dengan nada suara tinggi.
Dalam keadaan tertunduk itu. Paula berdecih pelan.
"Cih, beginikah cara memanggil orang dengan benar?" gumamnya sangat pelan.
Paula yang memang sudah cosplay menjadi Alisa, segera mengangkat kepalanya dan mendongak ke arah Mark.
"Suamiku" ucapnya lirih.
'Cih, suamiku. Ini benar-benar bukan gayaku!' gerutu Paula dalam hatinya.
Mark kembali mendengus pelan.
"Bangun!" katanya lagi, tapi kali ini dengan nada yang agak rendah, tidak setinggi tadi.
"Kakiku kesemutan!" kata Paula.
Percayalah itu hanya pura-pura. Tapi kalau ingin membuat Mark percaya dia sudah berada di tempat itu selama satu jam 45 menit, memang harus bertingkah seolah dia kesemutan. Jika tidak, siapa yang akan percaya kalau dia sudah duduk lama di tempat itu tanpa alas, di lantai yang sangat dingin itu.
Mark membuka jasnya, dia benar-benar masih mengenakan jasnya itu. Dan mata Paula melebar, ketika pria angkuh bin arogan bin kasar itu memakaikan jasnya itu pada Paula.
'Wah, otaknya konslet sepertinya. Mungkin karena sampai dini hari begini dia belum tidur!' batin Paula.
Yang merasa kalau apa yang baru saja di lakukan oleh Mark itu adalah salah satu keajaiban yang pernah terjadi padanya.
Dan bukan itu saja, Paula kembali dibuat tak percaya. Saat pria itu mengangkat tubuhnya.
"Eh..."
"Pegangan! kita pulang. Rena dan Tasya sudah lebih baik!" ujarnya lalu membawa istrinya itu menuju ke mobil.
Mark menurunkan Paula tepat di samping pintu mobil. Bahkan pria itu membukakan pintu mobil untuk Paula. Selama satu tahun ini, mana pernah mereka pergi satu mobil bersama seperti ini.
"Bisa masuk tidak?" tanya Mark dingin.
"Bisa" jawab Paula dengan cepat. Tapi tetap pura-pura seolah dia harus sangat hati-hati saat menggerakkan kakinya.
Pintu mobil kembali tertutup. Keduanya pun pulang ke kediaman Austin.
Namun di tengah perjalanan, Mark bertanya.
"Apa yang kamu lakukan pada Tasya?" tanya Mark.
Pria itu berkata seperti itu tanpa menoleh ke arah Paula. Paula juga hanya melirik sekilas dari spion di dalam mobil.
"Aku sedang menyetrika baju saat dia datang dengan marah-marah ke kamarku. Dia mau pukul aku, tapi aku refleks melindungi diriku" Ujar Paula ala-ala Alisa, "Tanganku masih memegang setrika ketika aku menjadikan kedua tanganku pelindung saat Tasya akan memukulku!" jawab Paula dengan suara pelan.
Terdengar sangat menyesal, terdengar begitu sedih karena sudah melakukan semua itu.
Mark menghela nafas panjang.
"Lalu, kenapa dia bilang kamu sengaja memberikannya air panas?" tanya Mark lagi.
Paula langsung menjawab juga.
"Dia membuatku gugup, dia terus berteriak dan marah. Dia bilang cepat! cepat! dan terus memaki, aku juga tidak tahu, kenapa panci yang ada di dapur itu berisi air panas, aku tidak sengaja menuangkannya, dan dia refleks menjatuhkannya sendiri, sampai terkena kakinya. Aku benar-benar tidak ingin membuatnya seperti itu!" kata Paula yang terdengar benar-benar mengatakan yang sebenarnya.
Meski tidak semuanya salah, tapi kan tidak semuanya juga benar.
"Akhir-akhir ini kamu berubah! apa mungkin itu bukan caramu membalas Tasya dan Rena?" tanya Mark.
Pria itu sepertinya cukup pintar. Tapi yang di sampingnya itu juga Paula Anna Helmith. Dia juga wanita yang sangat pintar.
"Apa mungkin kamu berpikir seperti itu? apa menurutmu aku bisa melakukan semua itu? apa mungkin aku punya kemampuan untuk itu?" tanya Paula dengan ekspresi wajah seperti teraniaya.
Alisa mana mungkin memiliki kemampuan untuk membalas. Dia mencoba bertahan saja tidak mampu, dia melindungi dirinya saja tidak mampu. Bagaimana bisa dia membalas dan melakukan semua hal itu.
Mark tidak menjawab. Dia belum bisa memutuskan saat ini. Dia bahkan sempat tidak percaya, saat Tasya mengatakan Alisa yang sengaja mencelakainya. Namun, beberapa waktu ini, istrinya itu memang berubah drastis. Dia bisa merasakan itu.
Begitu sampai di rumah, Paula mau pergi ke kamarnya yang ada di halaman belakang. Namun Mark kembali menarik tangan Paula.
"Ada apa?" tanya Paula.
"Aku lapar, buatkan aku makanan" kata Mark.
'Oh ya ampun, jadi Alisa sungguh tidak menyenangkan!' batin Paula.
***
Bersambung...