Novi adalah seorang wanita seorang agen mata-mata profesional sekaligus dokter jenius yang sangat ahli pengobatan dan sangat ahli membuat racun.
Meninggal ketika sedang melakukan aktivitas olahraga sambil membaca novel online setelah melakukan misi nya tadi malam. Sayangnya ia malah mati ketika sedang berolahraga.
Tak lama ia terbangun, menjadi seorang wanita bangsawan anak dari jendral di kekaisaran Dongxin, yang dipaksa menikah oleh keluarga nya kepada raja perang Liang Si Wei. Liang sangat membenci keluarga Sun karena merasa mencari dukungan dengan gelar nya sebagai salah satu pangeran sekaligus raja perang yang disayang kaisar.
Tepat setelah menikah, Novi melakukan malam pertama, ia menuliskan surat cerai dan lari. Sayangnya Liang, selalu memburu nya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Murka
Seorang pria berpakaian kasar mencengkeram lengan seorang pelayan muda. Wanita pemilik penginapan berdiri di sampingnya, wajahnya pucat.
"Lepaskan dia!" teriak pemilik penginapan.
"Bayar dulu utangmu, baru aku lepaskan!" bentak si pria. "Suamimu berhutang dua keping emas. Aku hanya mengambil jaminan."
Pelayan muda itu menjerit, berusaha melepaskan diri. Pria itu menamparnya sekali.
Sun Yu Yuan berjalan pelan, langkahnya nyaris tak terdengar. Saat pria kasar itu hendak menyeret pelayan keluar, tangan Sun Yu Yuan mendarat di bahunya.
"Lepaskan dia."
Pria itu menoleh. "Apa urusanmu? Kau cuma tamu penginapan ini!"
"Kalau kau tidak mau kehilangan lenganmu, lebih baik lepaskan sekarang."
"Sombong sekali!"
Si pria mengayunkan tangan kirinya yang memegang pisau kecil. Tapi Sun Yu Yuan menghindar dengan mudah, menyikut rahangnya dan menekuk tangannya ke belakang. Pisau pria itu jatuh, tubuhnya dibanting ke lantai.
"Kau! Akan kuingat wajahmu!" makinya sebelum lari keluar, terpincang-pincang.
Pelayan muda itu menangis pelan. Wanita pemilik penginapan membungkuk dalam-dalam.
"Terima kasih, Tuan. Aku, tak tahu harus berkata apa."
"Tidak perlu berterima kasih. Aku hanya tidak suka melihat ketidakadilan."
Ia kembali ke kamar tanpa banyak bicara. Di dalam kamar, ia kembali duduk dan memejamkan mata. Obat tadi mulai bereaksi. Napasnya menjadi lebih dalam, dan rasa berat di tubuhnya mulai berkurang.
Malam itu, Sun Yu Yuan terlelap untuk pertama kalinya sejak meninggalkan ibu kota.
Istana Liang Si Wei
Cahaya keemasan dari fajar baru menelusup masuk melalui jendela di kamar utama kediaman utama Liang Si Wei. Angin pagi mengusap lembut tirai sutra merah yang bergoyang pelan, seolah sedang menari bersama bayangan kegelisahan yang mulai mengisi ruangan itu.
Pangeran Liang Si Wei, perlahan mengerjapkan matanya. Tubuhnya terasa sedikit berat, namun bukan karena mabuk anggur atau lelah berlatih bela diri. Tidak. Ini lebih dari itu, dan ketika matanya sepenuhnya terbuka, hatinya langsung diselimuti firasat buruk.
Tangannya menyentuh sisi ranjang yang kosong. Tidak ada siapa pun di sana. Bahkan tidak ada suara napas halus, tidak ada kehangatan tubuh yang tertinggal. Sepi.
“Sun Yu Yuan?” gumamnya, suara beratnya masih serak.
Ia bangkit seketika dari ranjang, selimut merah terjatuh, memperlihatkan tubuhnya yang masih telanjang. Mata tajamnya menyapu seluruh ruangan. Sepi. Dingin. Bahkan aroma samar perempuan itu pun nyaris menghilang. Ia menggeram, menyambar jubah hitam yang tergantung dan mengenakannya dengan gerakan kasar.
Saat ia hendak memanggil pengawal, matanya tertumbuk pada sebuah kertas di meja.
Alisnya mengerut. Ia mengambil kertas itu. Hatinya mendadak berdebar. Saat ia membuka dan membaca tulisan yang agak goyah itu, amarahnya meledak.
“Surat cerai?”
Tangannya mengepal, kertas itu diremas begitu kuat hingga berkerut dan hampir robek. Wajahnya memucat, lalu berubah merah padam. Pembuluh darah di pelipisnya menonjol.
“PEREMPUAN GILA!!” teriaknya.
Ia melempar kertas itu ke tanah, lalu menyepaknya hingga terbang ke sudut ruangan.
“Berani sekali kau, Sun Yu Yuan!” desisnya penuh kemarahan. “Setelah berani padaku, menjatuhkan harga diriku, sekarang kau hendak bercerai denganku?!”
Langkah-langkahnya menghentak lantai ketika ia menghampiri jendela dan menatap halaman istana di bawah sana, matanya liar, penuh amarah dan ego yang tercabik.
“Kau pikir bisa pergi begitu saja dariku?!”
Liang Si Wei mengingat kejadian tadi malam bersama Sun Yu Yuan.
“Kurang ajar…!” ia bergumam sambil menggertakkan gigi.
Ia segera memanggil pengawal utama.
Pintu kamar terbuka keras, dua prajurit berlutut.
“Panggil semua pasukan penjaga kota. Tutup semua gerbang! Tempelkan wajahnya di seluruh ibu kota. Siapa pun yang menyembunyikannya, dihukum pancung!”
“Siap, Yang Mulia!” jawab para prajurit.
Si Wei berjalan mondar-mandir di dalam ruangan. Tangan kanannya mencengkeram pinggang, tangan kirinya terkepal. Napasnya cepat. Ia seperti singa yang terusik. Dalam diam, ia merasakan kehinaan paling besar dalam hidupnya.
“Aku, Raja Liang yang ditakuti tujuh negeri, ditinggalkan oleh seorang wania setelah malam pernikahan? Hah! Dunia pasti menertawakanku jika tahu.”
Ia kembali menatap surat cerai yang tergulung kusut di lantai.
“Sun Yu Yuan, kau pikir aku akan melepaskanmu begitu saja? Tidak semudah itu.” Suaranya rendah, nyaris seperti gumaman maut.
“Kau pikir bisa hidup bebas setelah kau mempermainkanku? Salah besar. Aku akan mencarimu sampai ke ujung negeri, dan saat aku menemukanmu…”
Ia berhenti. Matanya menyipit. Suaranya turun menjadi sangat pelan, tetapi dinginnya menusuk tulang.
“...kau akan menyesal telah dilahirkan di dunia ini.”
Ia berbalik, membuka pintu kamarnya dengan keras, lalu berteriak ke lorong, “Panggil Jenderal Hu dan Jenderal Kang. Sekarang juga. Aku akan mengatur sendiri pencariannya.”
Beberapa pelayan dan pengawal yang berada di lorong membungkuk dengan tubuh gemetar. Mereka tahu betul, saat raja mereka murka, akan ada nyawa yang melayang.
“Dan periksa siapa yang bertanggung jawab menjaga gerbang istana tadi malam!” lanjutnya. “Jika ada yang membiarkan wanita itu pergi, kepalanya aku jadikan pajangan di gerbang kota!”
“Siap, Yang Mulia!”
Si Wei kembali ke dalam kamar. Ia meraih sabuk pedangnya dan mengenakannya sendiri. Tangannya bergerak cepat, penuh amarah yang belum reda. Saat matanya kembali menatap tempat tidur itu, ia mengepalkan tangan lagi.
“Tammatlah riwayatmu!”