Maksud hati merayakan bridal shower sebagai pelepasan masa lajang bersama teman-temannya menjelang hari pernikahan, Aruni justru terjebak dalam jurang petaka.
Cita-citanya untuk menjalani mahligai impian bersama pria mapan dan dewasa yang telah dipilihkan kedua orang tuanya musnah pasca melewati malam panjang bersama Rajendra, calon adik ipar sekaligus presiden mahasiswa yang tak lebih dari sampah di matanya.
.
.
"Kamu boleh meminta apapun, kecuali perceraian, Aruni." ~ Rajendra Baihaqi
Follow Ig : desh_puspita
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 25 - Galak Sekali ~
"Iya, aku pul-"
Belum sempat Rajendra menyelesaikan kalimatnya, suara telepon sudah lebih dulu terputus. Aruni menekan tombol merah dengan gerakan cepat dan tegas, tanpa ragu sedikit pun.
Dia masih dalam keadaan marah, meski dirinya sendiri tak sepenuhnya mengerti apa yang membuat emosi itu menggelegak begitu hebat.
Dengan langkah tergesa dan napas memburu, Aruni segera menginjak pedal gas sekuat tenaga. Ban mobil sedikit berdecit saat meninggalkan tempat itu.
Tanpa peduli dengan kendaraan lain, tanpa memperhatikan lampu lalu lintas yang berganti kuning ke merah, Aruni melaju di jalanan kota yang kebetulan sedang sepi malam itu.
Angin malam menerpa wajahnya lewat celah kaca jendela yang sedikit terbuka, namun bukannya menenangkan, justru makin membuat pikirannya kacau.
Biasanya, perjalanan dari tempatnya berada ke rumah hanya memakan waktu sekitar sepuluh menit. Tapi malam ini, karena tak ada hambatan dan dia benar-benar menginjak gas tanpa ampun, Aruni bisa sampai hanya dalam lima menit.
Begitu tiba di rumah, Aruni memarkir mobilnya dengan terburu-buru. Dia langsung melompat keluar, menghentakkan langkah menuju pintu rumah, membukanya cepat, lalu menaiki tangga dua anak tangga sekaligus.
Deru napasnya terdengar berat, namun ia tetap melangkah cepat menuju kamar tidur di lantai atas.
Sesampainya di kamar, Aruni membuka pintu dengan kasar, lalu menutupnya kembali, kali ini dengan sedikit lebih pelan.
Dia meraih gorden dan menariknya rapat, memastikan tak ada cahaya dari luar yang masuk. Setelah itu, ia berjalan ke arah tempat tidur, melempar tubuhnya begitu saja ke atas kasur.
Dia menarik selimut sampai menutupi tubuhnya hingga ke dada. Posisi tubuhnya dimiringkan, membelakangi pintu, seolah benar-benar sedang tidur.
Padahal, mata Aruni masih terbuka lebar. Kedua tangannya menggenggam erat ujung selimut, dan telinganya siaga mendengar suara apa pun dari luar kamar.
Lima menit berlalu. Tak ada suara motor, tak ada langkah kaki di halaman. Hanya dentingan jarum jam yang terasa makin nyaring di tengah keheningan.
Sepuluh menit berikutnya, tetap sama. Sunyi. Aruni mulai gelisah, perasaannya kembali dipenuhi prasangka.
Dia bangkit duduk, menatap jam dinding yang jarumnya terasa bergerak sangat lambat, lalu melirik ponsel yang tergeletak di meja samping tempat tidur.
"Ck, mana sih dia? Katanya iya bakal pulang, tapi kok belum juga?" gumamnya lirih, diselingi desahan frustrasi. Aruni menggigit bibir bawahnya, seolah ingin menahan amarah yang mulai mendidih.
Selisih waktu yang hanya beberapa menit saja terasa begitu mengganggu. Rasanya seperti menanti dalam kekosongan yang tak berujung. Hatinya mulai ragu, apakah Rajendra benar-benar menuruti perintahnya?
"Nantangin kayaknya ... apa dia menyepelekan perintahku? Bisa-bisanya-"
Ucapan itu terputus. Aruni menajamkan pendengarannya. Di tengah malam yang tenang, suara knalpot motor yang sudah sangat dia kenali mulai terdengar pelan, kemudian makin jelas mendekat.
Jantung Aruni berdegup lebih cepat. Dia segera melompat dari tempat tidur, menarik gorden dan mengintip ke luar jendela.
Benar saja, Rajendra pulang. Dengan helm full face yang masih dia gunakan dan jaket yang dibiarkan terbuka, pria itu tengah membuka gerbang dan masuk ke halaman rumah.
Senyum kecil mengembang di wajah Aruni. Sebuah helaan napas panjang lolos dari bibirnya, entah karena lega atau puas karena suaminya benar-benar pulang sesuai yang dijanjikan.
Begitu Rajendra tak lagi tampak dari balik jendela, menandakan bahwa pria itu sudah masuk ke dalam rumah, Aruni pun segera kembali ke tempat tidur.
Dia kembali menarik selimut hingga dada, kali ini dengan lebih tenang, lalu memejamkan mata pura-pura tidur, seolah sejak tadi memang tak pernah menunggu siapa-siapa.
.
.
Tak lama setelah Aruni menutup mata, terdengar suara kunci diputar dari luar kamar. Suara logam itu pelan, namun cukup jelas di tengah keheningan malam.
Gagang pintu kamar berputar perlahan, lalu terdengar decit engsel saat pintu dibuka. Aruni tetap memejamkan mata, meski jantungnya berdetak lebih cepat.
Langkah kaki yang familiar terdengar masuk. Langkah Rajendra. Berat, pelan, namun penuh kehati-hatian.
Seolah pria itu tahu istrinya sedang tidur dan tak ingin membangunkannya.
Rajendra berdiri beberapa saat di sisi tempat tidur, menatap tubuh istrinya yang tampak tenang di balik selimut.
Sorot matanya tak dapat ditebak, mungkin lelah, mungkin bersalah, atau malah heran dengan sikap istrinya yang tiba-tiba menyuruhnya pulang dan kini malah tertidur tanpa kata.
Dia menunduk perlahan, tangannya mengusap pelan helaian rambut yang keluar dari selimut dan jatuh di bantal. Sentuhannya ringan, seolah ingin menyentuh tanpa membangunkan.
Tangan Rajendra yang hangat di dahinya membuat Aruni menahan napas. Dia sempat ingin berpura-pura menggeliat agar seolah bangun, tapi akhirnya memilih tetap diam. Dia ingin tahu apa yang akan dilakukan Rajendra selanjutnya.
Setelah beberapa saat, Rajendra menarik napas panjang, lalu berbalik pergi ke arah kamar mandi. Suara air keran mengalir sesaat kemudian, diikuti bunyi cipratan air.
Aruni membuka sedikit matanya, melirik ke arah pintu kamar mandi yang terbuka sebagian. Bayangan tubuh Rajendra tampak samar di balik uap air.
Tanpa sadar, Aruni kembali tersenyum kecil. Bukan karena lega semata, tapi karena hatinya sedikit luluh.
Meski tadi emosi sempat menguasai, namun melihat Rajendra benar-benar pulang, benar-benar mematuhi perkataannya, membuatnya merasa dihargai.
Ketika suara air berhenti dan Rajendra keluar dari kamar mandi, Aruni buru-buru menutup matanya kembali dan menenangkan napas.
Usai mengenakan pakaiannya, Rajendra kembali mendekat ke tempat tidur, kemudian duduk perlahan di sisi kasur. Tempat tidur sedikit bergoyang, dan Aruni bisa merasakannya dengan jelas.
Lalu, dengan suara yang dalam namun lembut, Rajendra berbisik. "Aku tahu kamu nggak tidur, Aruni."
Jantung Aruni berdebar. Tapi dia tetap diam. Menyaksikan hal itu, Rajendra tertawa kecil, lalu dengan gerakan santai, ia merebahkan diri di sebelah Aruni.
"Setelah kuhitung, ternyata aku pulangnya tidak sesuai janji dan, yang tadi apa bisa kamu pertimbangkan lagi?"
Aruni diam sejenak, menimbang, lalu perlahan membuka matanya dan menatap Rajendra dari jarak dekat.
Demi Tuhan dia katakan, wajah Rajendra malam ini begitu tampan, nyaris sempurna sampai dia memalingkan muka setelah beberapa saat menatapnya. "Ehm iya, untuk kali ini kuampuni."
"Besok-besok?"
"Jangan mimpi!!" sahut Aruni kembali melibatkan emosi, tapi justru berakhir membuat Rajendra tertawa lagi.
"Galak banget, kamu kenapa sih? Ada dendam pribadi kah atau-"
"Kamu sudah makan belum?"
"Hem?"
"Aku tanya, kamu sudah makan atau belum?" tanya Aruni sekali lagi, dan dari wajahnya Rajendra terlihat cukup terkejut.
"Kenapa tanya begitu? Mau nemenin makan malam ya?"
.
.
- To Be Continued -
akhirnya yg ditakutkan aruni kejaidan juga, udah junur aja run sama jendra, biar dia bisa lindungin kamu
.. ah jdi kamu denger labrakan tadi yah. pdhl kata² aruni bikin sakit bgt