Possesive Boyfriend

Seorang pemuda berjalan angkuh menuju ke dalam Mansion megah miliknya. Jaket kulit berwarna hitam dengan lambang Naga melekat di tubuhnya. Bukan orang sembarangan yang mempunyai jaket berlambang Naga seperti itu.

Karena jaket itu adalah sebuah identitas seorang anggota. Anggota yang memang bagian dari sebuah Geng bernama Dragster. Geng motor yang diketuai oleh Gibran Eldan Damareno.

Gibran duduk di single sofa. Di depannya sudah ada dua orang sebagai anggota inti Dragster, dan dua orang lagi adalah tamu.

"Apa rencana yang akan kita jalankan? Langsung serang Xevior di markasnya atau bagaimana?" tanya salah satu dari mereka. Zidan Verland Anzelo. Wakil ketua Dragster, sekaligus sahabat dekat Gibran.

Gibran tak langsung menjawab, matanya melirik ke sofa kanan di mana seorang pemuda tampan duduk menyesap nikotinnya. Dia adalah Ketua dari Geng sebelah. Geng Verlix.

"Kenapa lo nanya gua? Yang punya masalah kan dia," jawab Gibran dingin.

"Jadi gimana?" Zidan beralih menatap Marcell.

Marcell mengedikan bahu acuh. "Gua terserah kalian aja. Intinya lo harus bisa hancurin Geng sampah itu!" ucap Marcell dengan penuh dendam.

"Kenapa nggak lo aja yang hancurin mereka? Lo kan punya pasukan," tanya Gibran heran.

"Ck, tetep aja gua butuh bantuan Geng lo, saudara-ku."

Gibran mendengus mendengar kata saudara-ku keluar dari bibir Marcell. Gibran dan Marcell memang saudara, lebih tepatnya adalah saudara tiri. Ibu Gibran menikah dengan Ayah Marcell.

Saudari kembar Gibran yang bernama Gisela Cindy Damareno ikut tinggal bersama Ibu-nya di Rumah keluarga Affegan. Keluarga Marcell.

Sedangkan Gibran memilih tinggal di Mansion-nya sendiri. Tidak ingin ikut Ibu atau Ayah kandungnya. Bukan karena benci, tapi dia hanya ingin mandiri saja.

"Sebenarnya lo ada masalah apa si sama Geng Xevior? Setau gua mereka bukan Geng yang suka nyari masalah," sahut Kenzo Nauval Aldinata. Tangan kanan dan orang kepercayaan Gibran setelah Zidan.

"Ya sebenarnya bukan masalah besar si," ucap Marcell santai.

"Terus kenapa lo sampai dendam banget ke mereka?" tanya Zidan.

"Ketua mereka udah malu-maluin gua di depan umum. Gua nggak terima jadi gua pengen kalian hancurin Geng mereka!" Marcell berucap dengan tangan terkepal erat. Dia sangat dendam dengan Ketua Geng Xevior itu.

Mereka mengangguk-angguk paham. "Oke gua paham. Sekarang lo pergi dari sini, biar ini jadi urusan gua sama yang lain," usir Gibran tanpa basa basi.

Marcell berdehem, lalu bangkit diikuti oleh Dimas Risky Sanjaya. Wakil-nya.

"Ya udah gua serahin ini semua ke lo," ujar Marcell menepuk bahu Gibran. Lalu menoleh ke arah Dimas.

"Ayo kita pergi, Dimas."

Dimas mengangguk, lalu pergi mengikuti Marcell.

Beberapa langkah kemudian Marcell berhenti dan berbalik, "oh ya, Gisel pengen ketemu sama lo. Katanya dia kangen," ucap Marcell kepada Gibran.

"Bilang ke Gisel suruh temuin gua di tempat biasanya besok siang," balas Gibran tanpa menatap balik Marcell.

"Oke."

Marcell kembali melangkah pergi dengan Dimas.

"Jadi gimana, Gib?" tanya Kenzo.

"Panggil semua anggota Dragster, suruh kumpul di Markas utama nanti malam. Dan soal rencana biar itu jadi urusan gua," perintah Gibran menyenderkan tubuhnya.

Zidan dan Kenzo mengangguk paham.

...***...

Nathan berjalan ke sana ke mari di ruang tamu. Matanya melirik ke jam dinding yang menunjukan pukul 20.49 WIB. Ini sudah malam, dan adik-nya belum pulang dari sekolah.

Padahal jam sekolah sudah selesai beberapa jam yang lalu. Dia juga sudah mendatangi sekolah Thania. Tapi gadis itu tidak ada di sana, kata temannya Thania sudah pulang.

Ada juga yang bilang waktu itu Thania diganggu oleh beberapa preman. Lalu setelahnya ada orang yang menolong dan membawanya pergi. Hingga sampai sekarang adik-nya masih belum pulang juga.

"Lo ke mana si, Thania? Jangan bikin gua khawatir napa si?!" gumam Nathan mendudukan dirinya di sofa dengan kasar dan mengacak-acak rambutnya frustasi.

Beberapa saat kemudian Thania memasuki rumahnya. Nathan langsung berdiri dan menghadang Thania dengan berbagai pertanyaan.

"Dek, lo darimana aja si? Kenapa jam segini baru pulang? Gua tadi dateng ke sekolah lo, teman lo bilang kalo lo udah pulang. Terus ada juga yang bilang kalo lo diganggu sama preman. Lalu ada yang nolongin lo dan bawa lo pergi. Lo nggak papa kan? Dia nggak--"

"Assalamualaikum!" sela Thania berteriak.

"Waalaikumsalam!!" balas Nathan ikut berteriak.

Thania mendengus kesal, "nyerocos mulu, mau salam aja susah amat!"

"Namanya juga khawatir! Gua Abang lo, ya wajar lah kalau khawatir sama adek sendiri. Apalagi lo itu cewek, pulang sekolah bukannya balik ke Rumah malah keluyuran. Sebenarnya lo ke mana si?"

"Bang, bisa nggak kalau nanya itu satu-satu. Gua pusing! Baru pulang udah ditanya ini itu aja," jawab Thania dengan kesal.

"Nggak bisa! Sekarang jawab lo dari mana dan ke mana aja tadi?!"

"Gua dari Rumah temen."

Thania berjalan melewati Nathan, melemparkan tasnya ke sofa sembarang arah. Lalu mendudukan dirinya di sofa. Matanya ia perjamkan dengan kepala yang bersender di kepala sofa.

Nathan mengikuti Thania, dia berdiri seraya bersedekap dada. "Teman lo yang mana? Gua tadi udah ketemu sama temen lo yang namanya siapa tu, emm," Nathan berusaha mengingat nama gadis yang ia temui di sekolah adiknya tadi.

"Gi- Gita! Nah iya, gua tadi ketemu sama dia. dan dia bilang lo udah pulang. Jadi nggak mungkin kan kalau lo ke Rumah dia?" ucap Nathan dingin.

"Teman gua kan bukan dia doang, Bang."

"Udah deh gua mau ke kamar dulu," sambung Thania bangkit dan mengambil tasnya lalu berjalan menaiki anak tangga. Tapi suara dingin Nathan membuat langkahnya berhenti dengan tubuh menegang.

"Nggak papa kalau lo nggak mau jujur tentang masalah ini. Tapi lo harus jujur tentang luka di sudut bibir lo itu!"

Deg!

Bersambung...