Amira wanita cantik itu, menatap suaminya dengan perasaan yang sulit di artikan. bagaimana tidak, dua tahun yang lalu, dia melepaskan kepergian Andika untuk bekerja ke kota, dengan harapan perekonomian rumah tangga mereka akan lebih mapan, keluar dari kemiskinan. tapi harapan itu hanyalah angan-angan kosong. suami yang begitu di cintanya, suami yang setiap malam selalu di ucapkan dalam sujudnya, telah mengkhianatinya, menusuknya tanpa berdarah. bagaimana Amira menghadapi pengkhianatan suaminya dengan seorang wanita yang tak lain adalah anak dari bos dimana tempat Andika bekerja? ikuti yuk lika-liku kehidupan Amira beserta buah hatinya..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Baim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9
Di tempat Andika...
Andika menunduk menatap layar ponselnya yang sudah menghitam. Dia sedikit terkejut dengan sikap istrinya barusan. Yang dia tahu selama mengenal, Amira, wanita yang selalu terlihat kuat dan mandiri itu, memperlihatkan sisi rapuhnya. Istri kecilnya itu menangis. Andika tahu istrinya sudah tidak kuat menghadapi sikap Ibunya. Tapi dia bisa apa? Sebagai suami, dia merasa gagal. Dia sudah berusaha menegur Ibunya, malah berujung dia dibilang anak durhaka.
"Kamu kenapa?"Tanya Yanto, sahabat Andika, barusan keluar dari kamar. Menghampiri Andika, yang sedang termenung di ruang tamu, sedang menatap ponselnya. Lalu pria itu mengambil tempat duduk di samping sahabatnya itu.
"Ada masalah sama istri kamu?"Tanya Yanto lagi, lantaran Andika cuma diam saja.
"Huffff..."Andika membuang napas panjang.
"Aku nggak tau lagi To, harus bagaimana. Aku juga nggak ngerti, kenapa Ibu ku sangat nggak suka sama istri ku. Padahal sudah dua tahun lebih kami menikah, dan Amira juga sangat baik sama Ibu ku, walau dia di benci. Aku harus bagaimana mana To, yang satu Ibu ku, yang satu istri ku. Dua-duanya adalah wanita-wanita yang sangat berarti bagiku."
Andika membuang napas berat. Bagai makan buah simalakama, itulah yang dia rasakan saat ini.
"Apa alasannya Ibu kamu sangat nggak suka istri kamu Dik, pasti kamu tau kan?"Tanya Yanto sahabat, Andika semasa kuliah dulu. Dan sekarang Andika untuk sementara tinggal bersama sahabatnya itu, di kontrakan Yanto.
. "Alasan yang nggak masuk akal menurut aku. Ibu ku nggak menyukai Amira, cuma karena dia itu miskin, lagi yatim piatu."Jawab Andika, menundukan kepalanya.
"Apa?" Yanto sangat terkejut. Bola matanya melebar menatap Andika, dengan raut wajah seakan tidak percaya.
"Emangnya Ibu kamu berpikir kalau kalian itu orang kaya raya di kampung mu? Punya sawah berhektar-hektar, tinggal di rumah gedongan. Hahhh... ada-ada saja Ibu kamu itu.. seenaknya membenci orang. Emangnya istri kamu itu, mau di lahirkan menjadi orang miskin. Kalau kedua orang tuanya sudah meninggal, jelaslah dia anak yatim piatu. Menjadi miskin itu bukan pilihan bro..tapi itu takdir. Kalau kita mau jadi kaya, maka rubah lah takdir itu. Jadi saran aku nih ya...bekerjalah lebih keras lagi, biar cepat jadi kaya, biar istri mu di hargai dan tentunya, di sayang sama Ibu kamu."Tutur Yanto panjang lebar. Dia merasa geram dengan cara berpikir Ibu dari Andika itu.
Andika menarik napas panjang, lalu dihembuskan kuat.
"Aku sudah kasih. Pengertian ke Ibu ku, tapi Ibu nggak mau dengar. Malah dia menuduh Amira, mengadu domba aku sama Ibu. Aku harus gimana To, aku ngajak Amira untuk ikut aku ke sini, dia malah nolak, katanya kalau mau ke sini, aku sudah harus punya rumah, sendiri, Ibu juga harus ikut."
"Lihat Dik...kurang baik apa lagi istrimu. Ibumu saja nggak pernah bersyukur. Punya menantu sebaik istri mu."
Keduanya masuk ke kamar masing-masing, saat rasa kantuk menyerang.
......................
Seperti biasa, Amira mengawali paginya dengan berhadapan dengan kompor. Sebelum pergi, ke rumah Bu Indah, dia menyiapkan sarapan dan makan siang untuk Ibu mertuanya terlebih dulu. Agar tidak ada lagi drama saat dia pulang sore nantinya. Itulah Amira, menantu yang sangat di benci, tapi dia tidak pernah mengabaikan tugasnya sebagai seorang menantu.
"Apa Andika sudah mengirim uang ke kamu?"Tanya Bu Susi, saat sedang sarapan di meja makan. Pertanyaan nya sungguh tidak enak di dengar di telinga Amira.
Amira yang sedang menyuapi sarapannya ke dalam mulut, menghentikan gerakan tangannya. Mengangkat wajah menatap wajah Ibu mertuanya.
"Belum Bu..nan..."
Praaaangngng...
Bunyi suara sendok makan di banting dibatas meja, sebelum Amira selesai dengan ucapannya.
Alif yang sedang duduk di kursi sebelah Ibunya, sontak saja menangis, karena terkejut. Amira yang ikut terkejut, hanya bisa mengusap dadanya sambil beristighfar. Dia segera mengangkat anaknya membawa dalam pelukan, kemudian menenangkannya .
"Jangan bohong kamu. Semalam Andika bilang kalau dia kirim uang ke kamu. Tapi kenapa kamu bilang belum di kirim Amira. Kamu mau menipu ku hahhh, kamu mau sembunyikan uang anak saya, mau makan sendiri hasil kerja keras anak saya, begitu Amira, dasar perempuan miskin serakah."Umpat Bu Susi, meneriaki Amira. Tidak perduli dengan tangisan cucunya, yang melengking di ruangan itu.
"Iya Bu..Mas Dika .memang mau kirim uang, tapi aku nggak punya nomor rekening. Insya Allah hari ini aku mau ke Bank, mau buka rekening baru..permisi Bu, aku mau bujuk Alif dulu , kasihan anakku."Ucap Amira, sambil membujuk anaknya.
Dia beranjak dari duduknya pergi dari ruangan itu. Sarapannya masih tersisa begitu banyak di piring. Tidak perduli dengan tatapan marah Ibu mertuanya. Dia melangkah menuju kamarnya. Yang dia inginkan saat ini, membujuk anaknya agar diam.
"Udah jangan nangis ya, ada Ibu di sini. Sekarang Alif diam ya?"
"Amira, kurang ajar kamu, aku belum selesai ngomong, bilang sama Andika, kirim saja uangnya pada Riska, dia punya rekening...Amira kamu dengar tidak. Dasar menantu sialan."
Umpatan Bu Susi, masih di dengar Amira. Tapi dia tidak ingin membalasnya. Sampai di dalam kamarnya, Amira menumpahkan air matanya. Dai merasa terhina.
"Ya Allah..apa salahku? Apa aku ikut Mas Dika saja? Aku sudah nggak kuat ya Allah."Rintih Amira. Sambil memeluk anaknya yang masih terisak.
"Sudah ya sayang, sekarang Alif diam ya? Ayo kita pergi!"
Amira menghapus pipinya yang basah. Lalu mendekati tempat tidur, mengambil tas tangannya yang berukuran sedang, berisikan perlengkapan Alif, di rumah Bu Indah, nantinya. Lalu dia kembali ke dapur. Di sana, Ibu mertuanya masih betah duduk di tempatnya. Amira bisa melihat kemarahan tersorot di mata tua itu. Tapi Amira cuek saja. Menghadapi Ibu mertuanya, tidak boleh saling beradu mulut. Cukup dengan tidak menanggapinya maka semua akan baik-baik saja. Begitulah yang selalu Amira lakukan selama ini.
"Bu aku pamit ya, assalamu'alaikum."Pamit Amira. Dia yakin Ibu mertuanya tidak akan membiarkan dirinya untuk mencium tangan itu. Untuk itu, dia tidak ingin melakukannya. Tapi sebelum dia berbalik, Ibu mertuanya kembali berteriak. Dan Amira langsung mendekap anaknya erat. Tidak mau anaknya terkejut dan menangis lagi.
"Amira, apa kamu sudah menelpon Andika? Bilang padanya, kirim uangnya pada Riska saja, orang miskin seperti kamu, tidak pantas punya tabungan."
Kembali hinaan di lontarkan Ibu mertuanya. Amira memejamkan matanya sebentar. "Astaghfirullah hal'azim, kamu kuat Amira. Anggap saja ini pujian dari Ibu mertua mu."
"Bu..kalau itu maunya Ibu, tolong Ibu bilang sendiri sama Mas Dika. Aku nggak punya pulsa untuk nelpon Mas Dika..permisi Bu, aku mau kerja, sudah siang, Assalamu'alaikum."
Tanpa berkata-kata lagi, Amira segera berlalu dari hadapan Ibu mertuanya.
"Amira..heiii Amira, jangan dulu pergi, kamu yang harus telpon Andika..dasar menantu durhaka, awas kamu ya."
Telinga Amira seakan-akan dibuat tuli oleh teriakan Ibu mertuanya. Dia terus melangkah keluar dari rumah itu.
Bersambung.......
Jd gmes bcanya bkin emosi
Thor jgn bkin amira jd org bego. Toh itu cm mertua bkn ibu kndungnya