Jingga seorang gadis cantik yang hidupnya berubah drastis ketika keluarga yang seharusnya menjadi tempat pulang justru menjadi orang pertama yang melemparkannya keluar dari hidup mereoka. Dibuang oleh ayah kandungnya sendiri karena fitnah ibu tiri dan adik tirinya, Jingga harus belajar bertahan di dunia yang tiba-tiba terasa begitu dingin.
Awalnya, hidup Jingga penuh warna. Ia tumbuh di rumah yang hangat bersama ibu dan ayah yang penuh kasih. Namun setelah sang ibu meninggal, Ayah menikahi Ratna, wanita yang perlahan menghapus keberadaan Jingga dari kehidupan keluarga. Davin, adik tirinya, turut memperkeruh keadaan dengan sikap kasar dan iri.
Bagaimanakan kehidupan Jingga kedepannya?
Akankan badai dan hujannya reda ??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon R²_Chair, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rumah Baru di antara luka ku
Malam itu hujan turun tanpa belas kasihan. Langit seperti menumpahkan seluruh kesedihannya, sama seperti hati Jingga yang terasa penuh dan sesak. Setelah pertengkaran kecil namun menyakitkan dengan ayahnya yang kembali mempertanyakan siapa dirinya.
Jingga memilih keluar dari rumah tanpa payung, hanya membawa jaket tipis yang langsung basah diguyur hujan.Airmatanya yang mengalir deras seolah bercampur dengan derasnya air hujan.
Bahkan suara tangisnya saling bersahutan dengan suara petir yang ikut berseru.Rasa takut yang biasanya hadir,kini pergi entah kemana tersisihkan rasa sakit yang teramat.
Ia berjalan tanpa tujuan, menyusuri trotoar yang sepi. Lampu-lampu jalan memancar redup, memantul di genangan yang ia lewati tanpa peduli. Setiap langkah terasa berat, tetapi diam di rumah terasa jauh lebih menyesakkan.
“Kenapa semua orang nggak mau percaya sama aku…?” bisiknya lirih, tenggelam dalam suara hujan.
"Ayah,kenapa...kenapa ayah berubah,kemana ayah yang dulu.Apa ayah sudah tak mengenali siapa aku?"
"Bunda,kenapa ayah berubah menjadi sosok yang tidak aku kenal.Bunda..bawa Jingga bersama bunda,ini teramat sakit bun.Entah bisa di obati atau tidak,namun rasanya seperti mati rasa bun"
Jingga meraung,berteriak melepaskan semua sesak di dadanya.Rasanya seperti terhimpit batu besar.
Mobil-mobil jarang melintas. Malam sudah lewat dari pukul sebelas. Udara dingin menusuk kulit, membuat tubuhnya menggigil. Namun pikiran dan hatinya yang berantakan terasa jauh lebih dingin.
Sampai tiba-tiba sebuah mobil tua menghentikan lajunya mendadak karena hampir menyerempetnya. Cahaya lampu menerangi tubuh Jingga yang berdiri terpaku di tengah jalan, terlalu larut dalam pikirannya hingga tak menyadari mobil mendekat.
“Anak muda!” suara seorang lelaki tua terdengar panik dari balik kemudi.
Namun Jingga tak sempat merespons. Kepalanya terasa berat terlalu berat.Pandangannya berputar, lalu gelap. Tubuhnya ambruk tepat di bawah guyuran hujan.
Ketika kesadarannya kembali, Jingga merasakan kehangatan menyelimuti tubuhnya. Aroma kayu basah dan teh hangat memenuhi ruangan. Ia membuka mata perlahan.
Sebuah rumah sederhana menyambut pandangannya. Dinding kayu, lemari tua, dan pencahayaan kekuningan dari lampu meja. Di sampingnya, seorang kakek berusia sekitar tujuh puluh tahun duduk di kursi, memegang handuk kecil.
“Syukurlah kamu sudah sadar,” ucap kakek itu lembut. Suaranya menenangkan.
Jingga mencoba bangun. “Saya… di mana?”
“Di rumah Kakek,” jawabnya sambil tersenyum tipis. “Kamu pingsan di jalan. Hujannya deras sekali. Untung Kakek sempat mengerem.”
Ia menatap selimut tebal yang menutupi tubuhnya. Pakaian yang ia kenakan sudah diganti dengan baju yang lebih kering dan hangat.
“Ada… orang lain di sini?” tanya Jingga, suaranya masih bergetar.
Kakek itu menggeleng pelan. “Tidak. Kakek tinggal sendiri.Tapi tadi kake meminta tetangga wanita mengganti pakaian mu."
Hening sesaat. Namun bukan hening yang menakutkan melainkan tenang, seperti rumah ini menyimpan keteduhan yang sudah lama hilang dari hidup Jingga.
“Kamu lapar? Kakek buatkan sup hangat dulu, ya.”
Jingga hanya bisa mengangguk, matanya mulai berkaca-kaca tanpa ia sadari. Di rumah asing ini untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa diperhatikan, bukan dicurigai. Dirawat, bukan disalahkan.
Dan dalam hati kecilnya, ia mulai bertanya-tanya siapa sebenarnya kakek ini?
Dan kenapa ia tinggal sendirian?
Pertemuan ini mungkin bukan sebuah kebetulan. Tapi awal dari sesuatu yang akan mengubah seluruh hidup Jingga.
Sup panas mengepul di meja kecil itu, aroma kaldu dan jahe memenuhi ruangan. Jingga duduk pelan, masih sedikit limbung. Kakek yang menyelamatkannya yang kemudian memperkenalkan diri sebagai Kakek Arga,meletakkan mangkuk di hadapannya.
“Makanlah selagi hangat. Tubuhmu pasti kedinginan,” ucapnya lembut.
Jingga menunduk, menggenggam sendok dengan tangan yang sedikit gemetar. “Terima kasih, Kek… saya merepotkan.”
Kakek Arga tersenyum samar. “Di umur Kakek sekarang, punya teman bicara saja sudah sangat membantu. Kamu tidak merepotkan.”
Jingga terdiam. Kata-kata itu terasa sederhana, tapi menenangkan. Ia menyeruput sup perlahan, merasakan kehangatan yang mengalir sampai ke dada menghangatkan luka yang sudah lama membeku.
Setelah makan, Kakek Arga menyiapkan teh hangat untuknya. Jingga memegang cangkir itu erat-erat. Mereka duduk di ruang tamu kecil yang penuh ukiran kayu.
“Kamu tinggal dengan keluarga?” tanya Kakek Arga hati-hati.
Pertanyaan itu membuat Jingga membeku sejenak. Ia memainkan ujung lengan bajunya. “Iya… tapi rasanya bukan rumah, Kek.”
Rasa sakit dan perih itu kembali terasa,dadanya kembali berdenyut.Bayangan kejadian tadi kembali berputar seolah menegaskan jika hidupnya tak lagi sama seperti dulu.
Kakek Arga tidak memaksa. Ia hanya mengangguk pelan, menunjukkan bahwa ia mendengar tanpa menghakimi.
“Kadang,” katanya pelan, “darah tidak selalu menjamin rumah. Yang membuat rumah adalah hati yang mau menerima.”
Jingga menunduk. Kata-kata itu menyentuh bagian terdalam dirinya bagian yang sudah terlalu sering ditolak.
Kakek Arga melanjutkan, “Kalau besok kamu mau pulang, Kakek bisa antar. Tapi kalau kamu butuh tempat menenangkan diri sebentar… kamu boleh tinggal satu dua hari.”
Jingga menatapnya dengan mata membesar. “Boleh…?”
“Tentu,” jawab Kakek Arga. “Rumah ini sepi. Sejak istri Kakek meninggal, tidak ada lagi yang mengisi suara di sini.”
Ada kesedihan yang tipis namun nyata dalam suaranya. Namun tidak pahit lebih seperti kerinduan yang sudah lama berdamai dengan waktu.
Jingga mendengarkan tanpa bertanya lebih jauh. Untuk pertama kalinya, ia merasakan kehangatan seperti keluarga.Tapi bukan yang melukainya.
Malam semakin larut. Kakek Arga menyiapkan kamar tamu kecil untuk Jingga. “Kamu bisa tidur di sini. Kalau butuh apa-apa, panggil Kakek.”
“Terima kasih, Kek sungguh_”
“Sudah. Istirahatlah. Kamu aman di sini.”
Pintu kamar ditutup perlahan. Jingga duduk di tepi ranjang, mengamati ruang itu. Selimut rapi, meja kecil, jendela dengan tirai bermotif bunga. Sederhana, tapi terasa seperti tempat yang peduli padanya.
Dengan perlahan, Jingga menarik lututnya dan menangis dalam diam.Bukan karena takut, tapi karena untuk pertama kalinya ia merasa dilihat.
Ia tidak tahu apa yang menunggunya besok.
Ia tidak tahu bagaimana keluarga di rumah akan bereaksi.
Ia tidak tahu siapa sebenarnya Kakek Arga, atau kenapa ia begitu baik.
Rasanya seperti saat dulu masih ada sang bunda,rasanya sama yang justru membuat Jingga semakin menangis terisak.
Ia rindu...
Rindu pada sang bunda.
Rindu pada sang ayah.
Rindu kasih sayang yang utuh,tanpa ada luka.
Apakah kata Dulu masih pantas ia harapkan setelah retak.Bahkan bukan hanya retak namun sudah pecah berkeping-keping.
Tapi malam itu, di rumah kecil yang hangat, Jingga merasakan sesuatu yang hampir ia lupakan.
Perasaan aman.
Dan dalam diam, ia tahu hidupnya baru saja memasuki babak baru yang akan mengubah segalanya.
...🍀🍀🍀...
...🍃Langit Jingga Setelah Hujan🍃...