Dia mendengar kalimat yang menghancurkan hatinya dari balik pintu:
"Dia cuma teman tidur, jangan dibawa serius."
Selama tiga tahun, Karmel Agata percaya cintanya pada Renzi Jayawardhana – bosnya yang jenius dan playboy – adalah kisah nyata. Sampai suatu hari, kebenaran pahit terungkap. Bukan sekadar dikhianati, dia ternyata hanya salah satu dari koleksi wanita Renzi.
Dengan kecerdasan dan dendam membara, Karmel merancang kepergian sempurna.
Tapi Renzi bukan pria yang rela kehilangan.
Ketika Karmel kembali sebagai wanita karir sukses di perusahaan rival, Renzi bersumpah merebutnya kembali. Dengan uang, kekuasaan, dan rahasia-rahasia kelam yang ia simpan, Renzi siap menghancurkan semua yang Karmel bangun.
Sebuah pertarungan mematikan dimulai.
Di papan catur bisnis dan hati, siapa yang akan menang? Mantan sekretaris yang cerdas dan penuh dendam, atau bos jenius yang tak kenal kata "tidak"?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NonaLebah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 21
Noda jus markisa yang berwarna oranye pekat itu ternyata lebih bandel dari yang diperkirakan. Karmel mengelap, menekan, bahkan mencoba menggosok perlahan dengan sudut saputangan sutranya yang sudah basah, tetapi noda itu hanya memudar sedikit, meninggalkan bekas kecokelatan yang masih jelas terlihat di kain hitam jas Renzi.
"Susah sih banget ilangnya!" seru Karmel frustasi, akhirnya melempar saputangan basah itu ke kursi taman di dekat mereka. Wajahnya memerah, campur antara usaha fisik dan rasa kesal yang memuncak.
Renzi hanya menyilangkan tangannya, tetap tenang. "Aku nggak mau tau," ujarnya dengan suara datar yang penuh tekanan. "Baju ini harus bersih."
Karmel menatapnya sejenak, matanya berbinar dengan tekad. Dia memutar otaknya dengan cepat. Dia tidak bisa membiarkan Renzi terus berada di pesta dengan alasan ini, dan yang paling penting, dia ingin masalah ini selesai sekarang juga.
"Ayo!" seru Karmel tiba-tiba, tangannya meraih lengan Renzi dan menariknya.
"Mau kemana?" tanya Renzi, sedikit terkejut tapi tidak melawan, lebih penasaran dengan tindakan Karmel.
"Bersihin baju kamu lah! Apa lagi?!" jawab Karmel sambil terus menariknya, meninggalkan area pesta yang ramai.
Dia berjalan cepat, tangan kanannya masih menggenggam erat lengan Renzi, sementara tangan kirinya menarik tinggi ujung gaun panjangnya yang mulai menyapu jalan setapak berkerikil. Renzi mengikutinya dengan langkah santai, dan di bibirnya muncul senyum tipis yang penuh arti. Ada sesuatu yang menarik bagi pria licik ini— melihat Karmel yang biasanya sangat terkendali, kini bertindak impulsif karena ulahnya.
Karmel menuju ke area pelayanan tamu. Setelah bertanya pada salah satu staf, dia langsung menuju laundry express hotel yang buka 24 jam untuk tamu VIP. Ruangannya bersih, berbau harum deterjen premium, dan seorang petugas seragam rapi siap melayani.
"Lepas bajunya, biar aku kasih ke bagian laundry," tegas Karmel begitu mereka masuk, menunjuk ke jas Renzi.
Renzi meliriknya, lalu menunjuk ke bagian celananya. "Kamu nggak liat yang basah nggak cuma baju aku," ujarnya dengan nada datar, "tapi juga celana aku." Dia sedikit memiringkan badan, menunjukkan noda yang juga membasahi paha kanan celana trousers-nya. "Kamu suruh aku telanjang di depan umum?"
Karmel mendengus kesal, wajahnya memerah lagi—kali ini karena menyadari situasi yang semakin rumit. Dia berpikir sejenak, melihat Renzi yang tampak nyaman dengan kekacauan ini, lalu memutuskan.
"Aku akan buka kamar. Kamu tunggu di sana sampai bajunya selesai," ucap Karmel dengan suara tegas, seolah itu satu-satunya solusi logis. Dalam pikirannya, ini hanya masalah teknis. Berikan Renzi ruang untuk berganti, bersihkan pakaiannya, lalu selesai. Titik.
Tapi bagi Renzi, ini adalah undangan tak terduga ke dalam ruang privasi—walau hanya kamar hotel sementara. Senyumnya semakin dalam, menyadari bahwa sekali lagi, takdir—atau kecerdikannya—membawanya lebih dekat kepada Karmel. Diikuti oleh Karmel yang masih terlihat geram, mereka berjalan menuju lobby untuk mengatur kamar.
Karmel menggunakan nama dan kartu aksesnya sebagai tamu undangan untuk mendapatkan sebuah kamar guest room. Petugas dengan sigap menyiapkan kunci digital. Sepanjang jalan menuju kamar, Karmel berusaha keras untuk tidak melihat Renzi, fokus pada langkahnya dan tujuan akhir: membersihkan noda itu dan mengembalikan Renzi ke pesta, jauh darinya.
Begitu pintu kamar guest suite terbuka, Karmel langsung mempersilakan Renzi masuk. "Lepas. Aku tunggu di luar."
Tapi Renzi sudah melepas jasnya, dan kini berdiri di tengah kamar yang mewah, mulai membuka kemejanya. "Kamu nggak tunggu di sini aja? Takutnya laundry butuh konfirmasi."
Karmel menggigit bibir, akhirnya masuk dan menutup pintu. Dia mengambil jas dan celana yang diberikan Renzi, menghindari kontak mata. "Aku antar ini ke laundry. Kamu tunggu di sini. Jangan ke mana-mana."
Sebelum pergi, tatapan mereka bertemu sesaat. Renzi sekarang hanya mengenakan celana dalam dan undershirt putih tipis, tetapi sikapnya masih sama: dingin, mengendalikan, dan penuh dengan percaya diri yang membuat Karmel merasa terjebak dalam permainannya lagi.
Dan Karmel tahu, malam ini mungkin akan lebih panjang dari yang dia rencanakan.
***
Karmel berdiri tak bergerak di depan pintu kamar guest suite, telapak tangannya yang dingin menempel pada permukaan kayu yang halus. Di dalam sakunya, kunci digital terasa seperti bara panas. Pikirannya bergejolak antara logika dan naluri.
Masuk, atau tinggalkan dia sendirian?
Tapi registrasi kamar dan laundry atas namanya. Jika ada konfirmasi atau masalah, staff akan menghubungi dia, bukan Renzi. Bolak-balik antara pesta dan kamar ini akan terlalu merepotkan, dan lebih parah lagi, akan menarik perhatian. Bima mungkin akan bertanya, dan menjelaskan situasi ini padanya terdengar terlalu rumit.
Dengan napas dalam yang ia harap bisa menenangkan detak jantungnya, Karmel menempelkan kartu kunci pada sensor. Bunyi blip yang lemah terdengar, diikuti oleh sentakan pintu yang terbuka.
Cahaya lampu kamar yang hangat menyambutnya. Renzi langsung menatapnya dari tengah ruangan, seolah sudah menunggu.
"Udah?" tanya Renzi, suaranya datar tapi ada sesuatu di baliknya—semacam penantian.
"Iya..." jawab Karmel, suaranya terdengar lebih kecil dari yang diinginkannya. Matanya tak bisa tidak menangkap sosok Renzi.
Pria itu berdiri di antara ruang tamu kecil dan area kasur, hanya mengenakan celana dalam boxer hitam dan undershirt putih tipis yang menempel pada torso atletisnya. Otot-otot lengan dan bahunya yang terdefinisi jelas terlihat, bekas-bekas masa lalu yang pernah begitu akrab dengan sentuhannya. Pemandangan itu membawa gelombang kenangan yang tak diundang—kenangan keintiman, kehangatan, dan juga kepahitan.
"Udah sering liat badan aku, kenapa mesti gugup?" ujar Renzi sambil menyeringai, membaca ketidaknyamanan di wajah Karmel dengan sempurna. Dia melangkah perlahan mendekat, seperti predator yang menikmati momen sebelum menerkam. "Pengen coba buat sentuh lagi?"
Setiap langkahnya mempersempit jarak, mengisi ruangan dengan kehadiran yang terasa mendominasi. Aroma tubuhnya yang familiar—campuran parfum kayu dan sesuatu yang sangat maskulin—menyergap indra Karmel.
"Mundur!" seru Karmel, suaranya tegas meski ada getaran halus di ujungnya. Tangannya terangkat, telapaknya menghadap ke depan seperti perisai. "Aku cuma mau nyelesein urusan baju kamu itu. Jadi nggak usah mikir yang macam-macam, atau aku teriak!"
Ancaman itu menggantung di udara. Tapi Renzi hanya tertawa pendek, matanya menyipit penuh tantangan.
"Aku juga pengen denger teriakan kamu kok," godanya, nadanya rendah dan bermuatan ganda. "Tapi..." dia berhenti, lalu jarinya yang panjang menunjuk ke arah kasur king size yang rapi. "...disana."
Saat Renzi melangkah lagi, mendekati batas aman yang Karmel tetapkan dalam pikirannya, naluri lamanya muncul. Tanpa ragu, Karmel membungkuk dan dengan gerakan cepat melepaskan sepatu hak tinggi designer-nya. Sepatu itu kini dipegang erat di tangannya, hak tipis yang runyah menghadap ke depan seperti senjata primitif.
"Kalau kamu maju selangkah lagi," desis Karmel, matanya membakar dengan tekad yang tidak main-main, "aku pastiin sepatu ini melayang ke muka kamu!"
Renzi berhenti. Ingatannya langsung melesat ke beberapa tahun lalu. Ada satu insiden di apartemen lama Karmel, saat mereka bertengkar karena hal sepele. Karmel yang sudah kesal, melepas sepatu haknya dan—dengan akurasi yang mengejutkan—melemparkannya tepat ke arah kepalanya. Dia nyaris tidak menghindar saat itu. Bukan kekuatan lemparannya yang diingat Renzi, tapi presisi dan kecepatannya. Seperti yang pernah ia pikirkan dalam hati: Dengan refleks dan akurasi seperti itu, dia seharusnya jadi atlet, bukan sekretaris.
Dia melihat mata Karmel. Tidak ada keraguan di sana. Itu adalah tatapan wanita yang benar-benar akan melakukannya.
Perhitungan cepat berjalan di pikiran Renzi. Memaksa situasi mungkin bisa memberinya kemenangan kecil, tetapi risiko terkena sepatu hak di wajah—di tengah pesta penting—adalah skenario yang tidak diinginkan. Lebih buruk lagi, itu bisa memberi Karmel kepuasan moral.
Dengan perlahan, senyum sinisnya kembali, tetapi kali ini diikuti dengan langkah mundur. Dia mengangkat kedua tangannya, telapaknya terbuka, dalam gesture menyerah yang dibuat-buat.
"Oke... Fine," ucapnya, suaranya kembali datar. Dia berbalik dan kembali duduk di sofa velvet dekat jendela, menyilangkan kaki dengan santai seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
Tapi matanya, yang tetap tertuju pada Karmel, masih memancarkan percaya diri. Bagi Renzi, ini hanyalah gencatan senjata sementara. Perang belum berakhir. Dan di kamar hotel yang mewah ini, dengan Karmel berdiri tegang sambil menggenggam sepatu haknya seperti pedang, Renzi tahu pertempuran mereka hanya memasuki babak baru.