NovelToon NovelToon
DIAM DIAM SUAMIKU NIKAH SIRIH

DIAM DIAM SUAMIKU NIKAH SIRIH

Status: sedang berlangsung
Genre:Pihak Ketiga / Suami Tak Berguna / Selingkuh
Popularitas:10k
Nilai: 5
Nama Author: Hasri Ani

"Loh, Mas, kok ada pemberitahuan dana keluar dari rekening aku tadi siang? Kamu ambil lagi, ya, Mas?!"

"Iya, Mai, tadi Panji WA, katanya butuh uang, ada keperluan mendadak. Bulan depan juga dikembalikan. Maaf, Mas belum sempat ngomong ke kamu. Tadi Mas sibuk banget di kantor."

"Tapi, Mas, bukannya yang dua juta belum dikembalikan?"

Raut wajah Pandu masih terlihat sama bahkan begitu tenang, meski sang istri, Maira, mulai meradang oleh sifatnya yang seolah selalu ada padahal masih membutuhkan sokongan dana darinya. Apa yang Pandu lakukan tentu bukan tanpa sebab. Ya, nyatanya memiliki istri selain Maira merupakan ujian berat bagi Pandu. Istri yang ia nikahi secara diam-diam tersebut mampu membuat Pandu kelimpungan terutama dalam segi finansial. Hal tersebut membuat Pandu terpaksa harus memutar otak, mencari cara agar semua tercukupi, bahkan ia terpaksa harus membohongi Maira agar pernikahan ke duanya tidak terendus oleh Maira dan membuat Maira, istri tercintanya sakit.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

AMARAH ZAHRA

Aku kembali ke rumah sakit setelah semua yang aku cari berhasil aku amankan dan kugunakan sebagaimana mestinya.

Akan kutegaskan pada mereka, bahwa wanita berharga tak akan pernah menoleh kembali ketika ia telah pergi, bahwa wanita yang memiliki harga diri adalah dia yang mundur saat pilihan tidak jatuh pada dirinya.

Tak lupa aku membawa makanan ringan dan makan malam untuk Zahra yang terpaksa aku titipkan pada Suster hari ini.

"Dilepas, ya, infusnya. Zahra mau pulang nggak? Tuh, Dokter udah siap mau nganter, udah ganteng pake jemper."

"Nggak sakit, bentar aja."

Sayup kudengar dari depan pintu, Zahra sedang berbincang dengan seorang perempuan dan lelaki. Jika aku tidak salah mereka adalah dokter Sean dan perawat.

"Assalamualaikum," sapaku lalu mempercepat langkah begitu melihat Zahra menutup matanya rapat-rapat dengan satu tangan, ketakutan.

"Kenapa?"

"Tetep aja," gerutu Dokter Sean seraya melirik ke arahku. Namun, aku tak menghiraukan dan terus melaju mendekati Zahra.

"Zahra sudah bisa pulang sore ini, infus mau saya lepas," ujar perawat padaku.

"Oh."

Mendengar hal itu, bukan kebahagiaan yang aku rasakan, melainkan bingung akan penjelasan apa yang harus aku berikan jika di rumah nanti Zahra bertanya tentang Bude.

"Zahra, nanti dianter sama Om. Mau?" Dokter Sean berseru lalu menatap suster itu memberi isyarat untuk segera melepas infus di tangan Zahra.

"Di mobil, banyak boneka lebah baru. Mau?"

Zahra pun membuka ke dua matanya, binar kebahagiaan terlihat di mata gadis kecilku. Mungkin karena boneka lebah kesayangan yang selalu ia peluk itu sudah habis dilalap api.

"Beneran, Om?!"

"Iya, beneran. Tinggal pilih mau yang gede atau yang mungil seperti Zahra." Ia berujar lalu menoel hidung Zahra di akhir kalimat.

"Udah." Suster berujar, setelah infus benar-benar terlepas.

"Apa Suster bilang. Nggak sakit, kan?" lanjutannya.

"Ayo, Zahra, kita pulang." Kini Dokter Sean terulur dan meraih Zahra dari tempat tidur, seolah menganggap aku tak ada di sini.

"Dokter beneran mau nganter? Kan, sudah ada ibunya?" tanya Suter dengan suara pelan, lalu melirik ke arahku sungkan.

"Saya masih ada urusan sama Zahra. Lagipula yang memasukkan Zahra ke sini kan saya, jadi yang memulangkan juga harus saya."

Aku mengerutkan dahi, apakah ini wujud sebuah rasa tanggung jawab atau sindiran untukku?

"Oh, yaudah, saya bantu rapiin barang."

"Pastikan nggak ada yang ketinggalan, Sus,"

perintahnya pada suster yang mulai memasukkan barang-barang Zahra ke dalam tas besar yang datang entah dari mana.

"Biar saya aja, Sus." Merasa bertanggung jawab penuh pada Zahra dan tak enak aku pun mengambil alih.

"Saya tunggu diparkiran, mobil masih sama," ujarnya lalu meninggalkan kamar bersama Zahra. Aku sempat kesal, namun, Suster menepuk pundakku tak lama kemudian.

"Eh, iya, Sus."

"Saya tinggal dulu, Bu. Masih banyak pekerjaan.

Semua sudah saya masukkan."

"Oh, iya. Terima kasih."

"Eh, Sus. Ini terima dulu, untuk makan malam, kebetulan saya beli sekalian untuk Suster tadi.

Terimakasih sudah menjaga Zahra selama ini dan hari ini." Kuberikan satu kotak makan Mie goreng yang sempat kubeli di jalan menuju rumah sakit tadi.

"Oh, iya, terimakasih. Nggak perlu sungkan dokter memang sudah menugaskan satu orang untuk jaga kalau siang. Kalau gitu saya permisi."

Dokter? Siang? Jaga? Apa maksudnya?

***

Barang Zahra ternyata di luar dugaan, mainan serta baju ganti cukup banyak, bahkan ada beberapa yang masih baru dan cukup membuatku kerepotan membawanya. Tampaknya, semua barang ini digunakan untuk membujuk sekaligus menghibur Zahra selama di rumah sakit tanpa adanya keluarga di sampingnya, tak bisa kubayangkan tentu mereka kewalahan.

Aku mendengus, saat pintu tak kunjung dibuka padahal di tanganku penuh barang bawaan. Kutendang ban bagian belakang menumpahkan kekesalan pada lelaki di dalam sana yang justru sedang asik bercanda gurau dengan Zahra. Tak ada sedikit pun rasa iba pada wanita.

Setelah semua barang masuk di bangku belakang, aku pun membuka pintu bagian depan. Selain bangku belakang sudah penuh akan barang, aku juga harus menemani Zahra.

"Di depan sudah penuh, Bu," celetuknya ketika aku bahkan baru menonggokkan kepalaku.

"Kan, sama Zahra," jawabku tak mau harga diri turun hanya gara-gara hal sepele.

"Anda nggak lihat, Zahra sudah pake seatbealt, bisa duduk sendiri dia."

"Anda juga nggak lihat kalau di belakang penuh boneka sama barang-barang."

"Masih ada sisi kosong yang cukup kalau hanya untuk bobot 48 kiloan."

Aku tersentak, tapi Zahra justru terkikik.

Kuhela napas dalam, lalu tanpa banyak bicara kututup pintu dan berpindah ke bangku belakang.

"Baru kali ini aku diperlakukan seperti orang tak berguna," gerutuku dalam hati.

Mobil mulai melaju setelah aku menutup pintu.

Kemudian keluar gerbang setelah klakson berbunyi menyapa satpam yang ada di gerbang depan.

Tak ada suara atau percakapan di antara kami, hanya lagu anak-anak yang sengaja diputar untuk Zahra lah yang saat ini memecah keheningan.

"Nenek, kok, nggak ikut pulang?" celetuk Zahra di tengah perjalanan. Kami pun saling tatap melewati kaca spion.

"Bunda, nenek nggak ikut pulang?"

Seketika aku tersentak, mendengar namaku disebut oleh Zahra. Apa yang aku takutkan akhirnya terjadi juga.

"Em ... Nenek ...."

"Ini kita mau ketemu Nenek," sahut Dokter Sean, aku ternganga dan Zahra bersorak.

"Jadi nenek udah sembuh? Udah pulang?" sambung Zahra dengan gembira.

"Tapi, Dok, kalau Zahra ...."

"Ada saya," jawabnya memotong ucapanku. Aku pun

terdiam lantas menghempaskan diri di bahu jok belakang.

Jadi ini yang dimaksud ada urusan dengan Zahra?

Mobil terus melaju, sedangkan pikiranku terus berkelana. Meraba dan membayangkan semua yang akan terjadi setelah ini.

Sesekali aku berdecak. Tak peduli lirikan tajam dari kaca spion terus terarah padaku karena decakan ini.

Sesampainya di persimpangan, nyatanya kami benar-benar mengarah ke arah lain, bukan ke arah rumah. Tapi TPU lebih tepatnya. Dadaku terus berdebar, menanti detik-detik di mana akan terdengar tangisan Zahra, ratapan Zahra. Ah, membayangkannya saja aku tak bisa.

Mobil melaju pelan lalu berhenti di tepi jalan begitu kami sampai di depan TPU.

"Kok, ke sini, Om? Katanya mau ketemu nenek? Kok, nggak pulang?"

Pening melanda, sesak mendera, badan terasa panas, namun tanganku terasa dingin seketika.

"Om, Bunda? Zahra mau ketemu sama Nenek, bukan ke tempat ini," rengek Zahra pada kami.

"Zahra ...."

"Dok!" Aku menyela tak sanggup jika harus mengatakan sekarang. Ia menoleh ke belakang dengan wajah datar namun terlihat tenang.

Detik selanjutnya, ia kembali menatap ke arah Zahra setelah memberi tatapan sinis padaku. Dadaku terus berdebar menunggu dengan cemas jawaban apa yang akan dia berikan pada Zahra. Karena jujur, aku belum mempunyai jawaban yang paling masuk akal. Menjelaskan seperti apa dan bagaimana tentang Bude pada Zahra agar bisa diterima tanpa adanya luka.

"Zahra, kamu tahu, Nak. Kemarin nenek itu kesakitan, sakit banget katanya. Terus, karena Tuhan kasihan dan sayang banget sama Nenek, jadi nenek diajak sama Tuhan untuk tinggal sama-sama Tuhan, di tempatnya Tuhan."

Zahra mengangguk. "Maksud Om Dokter?"

"Nenek sudah nggak sakit lagi, nenek sekarang istirahat di sana?" ujarnya menunjuk ke arah makam.

"Maksud Om, nenek Zahra meninggal?"

Hanya anggukan Pelang yang Dokter Sean berikan dan seketika tangisan Zahra pecah. Sakit. Hatiku pun seolah tersayat mendengar tangisan Zahra.

"Nenek...." teriaknya menatap ke luar kaca jendela, tepatnya pemakaman. Lalu, tangan mungil itu memukul-mukul kaca jendela.

Tak berbeda denganku, netraku menangkap Dokter Sean mengusap sudut matanya, sebelum akhirnya merengkuh Zahra dan membawanya dalam dekapan.

Melihatnya, aku pun sadar, saat-saat seperti inilah kehadiran lelaki begitu dibutuhkan. Dan seharusnya yang melakukan ini semua adalah Mas Pandu, bukan orang lain yang tidak ada hubungan dengan kami. Tapi, nyatanya Mas Pandu justru tak peduli, bahkan pesan genting pun tak diindahkannya.

"Zahra, Zahra pilih mana, Zahra. Nenek kesakitan atau nggak?!" Dengan mengusap punggung Zahra yang menangis histeris ia bertanya dengan suara lebih tegas dari sebelumnya.

Zahra tak menjawab, ia terus meraung.

"Zahra, denger Om Dokter. Kalau Zahra sayang sama nenek, Zahra nggak boleh seperti ini." Ia berujar, Zahra tetap tak mendengar. Ia justru menangis semakin keras.

"Zahra, ada Bunda, Sayang. Bunda akan nemenin Zahra terus." Kini aku berusaha membujuknya. Mendekati Zahra yang saat ini ada dalam dekapan dokter dan menghadap ke belakang. Aku mengusap pipinya yang basah oleh air mata. Air mataku pun ikut luruh melihat Zahra. Tak tega.

"Bo'ong, Bunda bo'ong. Bunda suka pegi-pegi terus. Nggak balik-balik. Zahra benci," teriak Zahra di tengah tangisannya, membuatku tercenung dan mematung seketika. Tangan yang sebelumnya sibuk mengusap air mata dan peluh Zahra pun terhenti seketika mendengar ucapan Zahra.

Aku tak menyangka, di dalam senyuman yang Zahra berikan selama beberapa hari ini nyatanya semua hanyalah senyuman semu yang menyimpan banyak luka. Apa yang aku lakukan nyatanya menancap kuat diingatan dan hati Zahra.

"Bunda sama ayah nggak sayang Zahra." Seraya menarik jilbab dan terus memukul pundakku ia berujar. Aku hanya bisa diam, mematung, bak orang yang terkena serangan jantung.

Akhirnya apa yang selalu mengganggu pikiran dan membuat aku takut selama berada di rumah Mas Pandu hari ini menjadi kenyataan. Zahra membenciku.

"Zahra, dengerin, Om." Dokter Sean mencoba menenangkan dengan mengeratkan pelukannya. Namun, Zahra masih terus meraung dan memukul.

"Zahra, Om, nggak mau jadi temen Zahra kalau Zahra nggak mau diem!" Akhirnya ancaman ia keluarkan dengan nada lebih tegas. Namun, mampu membuat Zahra terdiam seketika.

Dokter Sean kemudian mengurai pelukannya. Kini, Zahra menunduk lesu seraya terisak-isak.

"Om nggak mau ngajak Zahra ketemu sama Nenek kalau Zahra nggak bisa tenang. Zahra mau ketemu nenek nggak?" Dengan tangan yang membingkai wajah Zahra dan membawa wajah itu untuk menatap matanya, ia berujar, kali ini lebih lembut.

"Mau ketemu nenek, nggak? Hem?" ulangnya semakin lembut.

"M-au, Om," jawab Zahra tersendat-sendat oleh isakan.

"Zahra nenek sudah capek kesakitan. Kalau Zahra sayang sama nenek, Zahra harus seneng karena sekarang nenek nggak sakit lagi. Zahra mau nenek sakit terus?"

Zahra menggeleng dengan bibir mengatup dan bergetar menahan tangis.

"Ya udah, sekarang hapus airmatanya kalau mau ketemu nenek." Dengan lembut tangan kokoh itu mengusap pipi Zahra lalu membersihkan hidung dan air mata yang bercampur keringat dengan tissue.

Aku hanya bisa melihat tanpa bisa melakukan sesuatu.

Apa yang dilakukan dokter ini seolah mengambil alih semua yang seharusnya menjadi tugasku sebagai pengganti orang tua Zahra dan orang terdekat Zahra.

Ya, tak bisa aku pungkiri, kepiawaiannya dalam menenangkan Zahra memang sudah tidak diragukan lagi, mungkin karena dia adalah seorang dokter anak sehingga dia lebih mudah untuk melakukan pendekatan dengan Zahra dibanding aku yang bahkan tak bisa memiliki anak.

"Om tunggu sampe malem kalau Zahra masih nangis terus, ni. Masak mau ketemu nenek nangis. Nanti neneknya sedih, lo," bujukan dan rayuan masih berlangsung hingga kini, sebab, air mata Zahra masih terus keluar meski tak bersuara.

Zahra menghela napasnya dalam-dalam. Lalu mengusap sudut matanya dengan punggung tangan.

"Udah, nangisnya?!" tanyanya lagi.

Zahra mengangguk pelan.

"Pinter. Janji nanti di dalam nggak nangis lagi? Biar neneknya nggak nangis lihat Zahra." ujarnya seraya mengeluarkan jari kelingking.

"Janji." Akhirnya dengan Zahra menyanggupi dan membalas dengan mengalikan jari kelingking tersebut dengan jari kelingkingnya. Aku tersenyum lega.

"Kapanpun dia menangis, biarkan saja, selama tidak menyakiti dirinya atau orang sekitar. Anak-anak hanya bisa meluapkan semuanya dengan menangis. Beri waktu sampai tangisannya mereda," ujarnya sebelum membuka pintu.

"Rapikan hijab Anda sebelum keluar," ujarnya saat aku hendak mengikutinya membuka pintu. Sontak aku mengalihkan pandang pada kaca spion.

"MasyaAllah," sentakku kaget, saat kulihat jilbab ini bermatakan bahkan beberapa rambut keluar dari sana.

Cepat aku merapikan.

Dengan membawa Zahra dalam dekapan ia pun keluar memasuki TPU. Aku mengekori setelah merapikan jilbab yang terkoyak karena Zahra. Dengan perasan was-was, aku terus melangkah. Di dalam sini masih tersimpan rasa takut. Takut jika Zahra akan lebih histeris lagi ketika melihat makam neneknya.

Sesampainya di pusara bude, kami berhenti. Dokter tak lantas menurunkan Zahra.

"Nenek sudah istirahat di dalam sana. Nyaman,"

ujarnya lembut seraya mengusap punggung Zahra.

"Zahra mau ngomong sama nenek. Boleh, Om?"

"Boleh, dong, tapi nggak boleh na ?"

"Ngis," jawab Zahra.

Tanpa sadar senyumku tersungging untuk kesekian kali nya

Apa yang sudah diberikan oleh dokter garang ini pada Zahra sehingga dia begitu patuh padanya hanya dalam waktu beberapa hari.

Zahra turun. Lalu mendekat ke pusara bude. Aku pun ikut mendekat menemani Zahra.

"Om, di dalam gelap enggak?" Pertanyaan Zahra terlontar ketika ia menatap lekat gundukan tanah bertabur bunga tersebut.

Dokter Sean beringsut duduk mendekatinya. "Enggak, nenek orang baik, jadi Tuhan udah kasih lampu di

dalam."

"Kalau hujan dingin nggak, Om?"

"Enggak, dong. Pokoknya di sana nenek sudah nggak merasakan apa-apa, asal Zahra senang, nggak nangis terus, gitu. Ayo sekarang mau ngomong apa sama nenek?"

Zahra terlihat menatap sekilas ke arah Dokter Sena mengangguk. "Nenek, Zahra nggak akan nangis lagi, biar Nenek seneng di sana. Sekarang, Zahra punya temen baru ...."

Zahra bercerita panjang lebar. Kami setia mendengarkan, kadang senyum tersungging di bibir kami ketika celoteh yang ia keluarkan tidak masuk akal.

Aku akui, orang di sebelahku ini, meskipun terlihat datar dan tidak punya hati, tapi rasa sayangnya terhadap anak-anak begitu kentara. Boleh lah dijadikan teman untuk Zahra.

***

Kami kembali setelah Zahra merasa cukup puas bercerita dengan sang nenek. Kini wajah Zahra sudah berubah lebih berbinar, namun, ia masih enggan melakukan interaksi denganku. Sejak tadi ia hanya mengobrol dengan teman barunya itu.

Sampai di depan rumah, adzan Maghrib berkumandang. Ia tak bergegas pergi namun justru turun lagi dari mobil dengan membawa sarung, kemeja dan peci di tangan.

Dahiku mengerut curiga. Mau apa di rumahku?!

"Dokter," sapa Pak RT tiba-tiba. Membuyarkan semua pikiran curiga.

"Ei, Pak," Dekter itu mengulurkan tangan pada Pak RT

lalu mereka pun berjabat taggan.

"Kok, kemarin nggak dateng ke acara pengajian Bu ayu," tanyanya terlihat akrab.

"Oh, iya, maaf, saya sedikit sibuk. Kemarin ke rumah sakit pusat ada kepentingan."

"Oh, gitu."

"Tapi, semua aman, kan?"

"Aman, siap. Semua sudah sampai dan sudah ditata sama ibu-ibu. Oh, ya, hari ini karena Neng Maira sudah pulang pengajiannya diadakan di rumah Neng Maira kata ibu-ibu," ujarnya pada Dokter Sean seraya menoleh sungkan ke arahku.

"Oh, terserah saja."

"Yaudah, ke masjid dulu, Dok."

"Oh, iya. Mari-mari. Zahra, Om ke masjid dulu. Nanti ke sini lagi."

Zahra mengangguk. Aku terdiam lalu dalam hari menertawakan diri sendiri karena sudah berpikir yang tidak-tidak. Ternyata dia mau ikut tahlilan kukira..

1
Ma Em
Oh mungkin yg cari Sean itu suruhan istrinya Hartawan yg bos nya Pandu mantan suaminya Maira , wah seru nih nanti kalau Maira nikah dgn Sean Maira nanti akan jadi bos nya Pandu .
Ninik
berarti perusahaan yg dipegang pandu perusahaane bapak nya dokter Sean tp istri kedua nya serakah menguasai semuanya
Ninik
heh pandu beda istri beda rejeki mungkin dulu maira selalu mendoakanmu tp sekarang viona cuma butuh uangmu dasar jadi laki laki kok bego tapi bener jg yang kamu bilang kalau itu karma mu
Ma Em
Akhirnya Bu Azizah jadi salah paham dikiranya dr Sean menghamili Maira , Bu Azizah tdk tau bahwa Maira hamil anak dari mantan suaminya si Pandu bkn anak Sean 😄😄
Ninik
makasih Mak othor cantik untuk crazy up nya hari ini semoga hari2 selanjutnya terus seperti ini 💪💪💪💪 tenang aku dah subscribe juga
Hasri Ani: 😁😁mksi kembali say...
total 1 replies
Ninik
ternyata oh ternyata mas dokter anak Bu Azizah to dan apa td benihnya gak subur wah jgn2 dikawinin nih orang dua kan maira lagi hamil g ada laki pas kan jadinya Sean jadi ayah nya si baby
Ninik
pandu g melek apa ya Zahra bukan anaknya Zahra keluarga maira pasti pandu mau maksa maira rujuk menggunakan zahra karna tau sekarang maira hamil
Ninik
Rani pasti ngomong sama nanti dan pandu bakal tahu kalau maira hamil anaknya dihitung dr waktu perceraian,,,, Thor kenapa up nya dikurangi padahal di awal bab selalu crazy up nya
Hasri Ani: hehe tangan lagi kurang sehat say.. Sox UP BAB di cerita lainnya juga..
total 1 replies
Ninik
Thor kok cuma satu biasanya sekali up 3 ayo Thor semangat 💪💪💪
Hasri Ani: ditunggu ya say tangan ku kayak nya ada sedikit masalah Sox ngilu2 hehe mngkin efek ketikan Sox ada Bab dari cerita lainnya juga yang saya up hehehe
total 1 replies
Ma Em
Maira kalau pandu ngajak rujuk jgn mau lbh baik maira dgn dokter Sean saja , biarkan si pandu menyesal seumur hidupnya .
Ninik
rasanya g sabar nunggu lanjutan esok hari 💪💪💪
Ma Em
Maira mau saja nurut sama Pandu akhirnya kamu sendiri yg menyesal juga tersingkir karena maira terlalu cinta sama pandu sehingga apa yg dikatakan pandu dituruti saja tanpa melawan emang maira yg bodoh , sekarang baru menyesal setelah dibuang pandu mungkin baru terbuka matanya .setelah tau semua kebenaran nya .
Ninik
lanjut Thor 3 bab lagi bolehkah mumpung masih emosi nih mau ikut Jambak si pelakor aku rasanya
Hasri Ani: 🤣🤣🤣sabar saaay...
total 1 replies
Ninik
Thor saat maira nangis marah2 sama Alloh sebetulnya salah ya mestinya marahnya sama Mak othornya karna yg bikin sengsara kan Mak othor jgn kelamaan nyakitin maira ayo mulai kehancuran pandu dan viona aku aja yg baca nyesek rasanya
Hasri Ani: waduhhh.. 🤭🤭🤭
total 1 replies
Ninik
kpn penderitaan maira berakhir lantas kpn balas dendamnya
Ninik: jujur ini novel hampir ku hapus karna g kuat bacanya liat penderitaan maira jantung rasanya kaya mau meledak
total 2 replies
Ninik
Mai jgn lupa kamu minta bayaran untuk kamu menyumbangkan darah mu waktu itu jgn tangung2 bayarannya adalah nyawa viona karna dulu kamu kasih darah untuk viona hidup
Ma Em
Maira masa kamu ga bisa kabur dari Pandu seberapa pinter sih si Pandu sampai kamu tdk bisa berkutik , cari akal dong jgn cuma pinter ngomong doang tapi otak ga dipake .
Ninik
Thor kenapa pandu kejam sekali katanya dia taat ibadah tp kok zinah katanya adil tp kok hanya istri ke w yg dibelikan rumah dan ditransfer nafkah sedang maira malah diporotinbahka uang warisan dr keluarga nya maira taat agama dr mana DLAM Islam penghasilan istri suami g berhak lho bahkan uang mahar pernikahan jg suami g berhak sama sekali lha ini pandu apa
Makhfuz Zaelanì
maira nya terlalu lamban
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!