Di tengah reruntuhan kota Jakarta yang hancur, seorang pria tua berlari terengah. Rambutnya memutih, janggut tak terurus, tapi wajahnya jelas—masih menyisakan garis masa muda yang tegas. Dia adalah Jagat. Bukan Jagat yang berusia 17 tahun, melainkan dirinya di masa depan.
Ledakan menggelegar di belakangnya, api menjilat langit malam. Suara teriakan manusia bercampur dengan derap mesin raksasa milik bangsa alien. Mereka, penguasa dari bintang jauh, telah menguasai bumi dua puluh tahun terakhir. Jagat tua bukan lagi pahlawan, melainkan budak. Dipaksa jadi otak di balik mesin perang alien, dipaksa menyerahkan kejeniusannya.
Tapi malam itu, dia melawan.
Di tangannya, sebuah flashdisk kristal berpendar. Tidak terlihat istimewa, tapi di dalamnya terkandung segalanya—pengetahuan, teknologi, dan sebuah AI bernama Nova.
Jagat tua menatap kamera hologram di depannya. Wajahnya penuh debu dan darah, tapi matanya berkilat. “Jagat… kalau kau mendengar ini, berarti aku berhasil. Aku adalah dirimu
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon morro games, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Guardian protrokol
Langit malam bergemuruh — seolah bumi dan udara saling menahan napas.
Cahaya biru dari mesin Arka One menembus kabut, memantulkan bayangan di genting-genting rumah yang nyaris rubuh.
Suara rotor magnetik bergulung berat, membuat kaca jendela bergetar hingga retak.
Ayunda menatap ke atas. Peluh bercampur debu di wajahnya, jemarinya masih menggenggam radio militer yang berasap.
> “Nova… cepat,” desisnya.
Suara Nova bergema dari speaker radio yang rusak, datar tapi mantap.
> “Pendaratan darurat dimulai. Jaga perimeter. Keluarga target dalam prioritas utama.”
Di belakang, Ibu Ratna merangkul Nadia yang masih menangis. Bau mesiu dan cat besi terbakar memenuhi udara.
Dari kejauhan, suara dentuman beruntun menggema — antara Bara Hitam dan pasukan Jagat.
Sersan Dimas, pemimpin tim Angsa Induk, menyapu pandangan ke arah gang.
> “Semua tim! Bentuk barikade di depan! Jangan biarkan mereka menembus jalur utama!”
> “Siap!”
Lima prajurit segera bergerak. Mereka membalikkan mobil, menumpuk puing, menyiapkan posisi.
Peluru-peluru pertama menyalak dari ujung gang, menyalib udara seperti hujan baja.
Bratatatat! Clang! Duar!
Salah satu tembok rumah warga jebol, serpihan bata berterbangan.
Nadia menjerit, dan Ayunda langsung merangkulnya.
> “Tenang, Nad. Sebentar lagi kita pergi dari sini.”
Langit mendadak meledak cahaya.
Siluet Arka One makin jelas — raksasa baja bersayap plasma berputar di atas perkampungan.
Gelombang energi dari mesinnya menciptakan tekanan udara yang menyapu bendera, jemuran, dan antena TV.
Dari lambung pesawat, enam kapsul baja meluncur seperti komet.
Setiap kapsul menembus atmosfer rendah dengan semburan cahaya — BOOM!
Begitu mendarat, penutupnya terbuka dan memunculkan rangkaian lengan mekanik otomatis.
Sinar biru keluar dari ujungnya, membentuk medan pelindung tipis di sekitar rumah Jagat.
> “Mereka… mengirim drone pertahanan?” Ayunda menatap tak percaya.
“Pertahanan Lapisan-A aktif,” jawab Nova. “Durasi maksimal: tiga menit. Gunakan untuk evakuasi.”
Sersan Dimas berteriak, memberi aba-aba:
> “Ayo! Bawa Bu Ratna dan Nadia lewat gang barat! Angsa Anak, jaga belakang!”
Peluru-peluru menghantam medan energi, memantul dalam percikan listrik.
Zt-zt-zt-bang!
Percikan itu menyambar motor di pinggir jalan — DUARR! — tangki bensin meledak kecil.
Nova berpindah ke kanal lain, suaranya bergema dalam saluran Jagat.
> “Jagat, keluarga hampir sampai di Arka One. Statusmu?”
Suara Jagat terdengar serak, dibungkus deru servo armor.
> “Masih di utara. Menghadapi unit utama. Nova, pastikan mereka selamat. Aku menyusul begitu bisa.”
> “Konfirmasi diterima.”
Nova kembali ke kanal Ayunda.
> “Koordinat pendaratan Arka One siap. Lima puluh detik menuju kontak darat. Siapkan jalur bersih.”
---
Gang depan sudah berubah menjadi neraka sempit.
Bara Hitam menurunkan tiga Robo 1.0 Hybrid — armor hitam pekat dengan senjata otomatis di bahu.
Setiap langkah mereka mengguncang tanah.
> “Dimas, mereka bawa unit robo!”
“Semua mundur! Tutup jalur!”
BRAK! BRAK! BRAK!
Rentetan peluru menghancurkan dinding, meninggalkan lubang menganga.
Satu prajurit tersungkur, tapi sempat menarik pin granat.
> “AMBIL INI, BAJINGAN!”
DUAARRR!
Ledakan besar menumbangkan dua unit, tapi satu lagi masih berdiri — matanya merah menyala.
Sinar laser menembus medan energi, menggores aspal, mengenai bahu Ayunda.
> “ARGHH!”
Ia jatuh berlutut, tapi masih menahan pistol di genggaman.
Sersan Dimas menahan tubuhnya.
“Ayunda! Bertahan! Evakuasi hampir tiba!”
Langit memekik.
Suara mesin Arka One menggema seperti petir panjang, menembus semua kebisingan.
> “Semua unit di bawah! Fase dua dimulai — Evakuasi Prioritas!”
Kapsul raksasa di perut pesawat terbuka. Cahaya plasma biru menyapu seluruh area.
Udara tersedot ke atas, menciptakan pusaran besar.
Ibu Ratna memeluk Nadia erat-erat saat tali magnetik turun dari langit, bergulung di tengah asap.
Ayunda menggertakkan gigi menahan sakit.
> “Naikkan mereka dulu! Aku tutup belakang!”
“Tapi kau—”
“Lakukan!”
Dimas mengangguk. Dua prajurit menarik Ibu Ratna dan Nadia ke tali pengaman magnetik.
Cahaya menyelubungi mereka, lalu — Zwoooosh! — mereka terangkat ke langit, menghilang ke dalam perut Arka One.
Ayunda menatap ke atas, terengah, pundaknya berdarah, tapi bibirnya tersenyum kecil.
> “Selamat, Bu… selamat, Nad.”
Ia membidik robo terakhir di depan.
Tiga peluru terakhir dilepaskan — TAK! TAK! TAK!
Tak cukup untuk menghancurkan, tapi cukup untuk memberi waktu bagi drone terakhir menubruk musuh dan meledak bersamaan.
BOOOOOOM!
Gelombang kejut menelan seluruh gang.
---
Di sisi lain kota, Jagat masih bertempur.
Robo 1.0 Hybrid terakhir, Model Alpha, mendekat perlahan — raksasa logam dengan sisa api di bahunya.
Setiap langkahnya menimbulkan gempa kecil.
Jagat mengaktifkan Switch Tank Mode, lapisan baja di tubuhnya menebal, servo menegang seperti otot manusia menahan beban.
> “Nova!” serunya.
“Keluarga berhasil naik ke Arka One. Ayunda terluka ringan. Tim Angsa bertahan di posisi.”
“Baik,” jawab Jagat lirih. “Sekarang tugasku.”
Bara Hitam menembakkan meriam bahu — DUAARR!
Ledakan pertama menghantam mobil di belakang Jagat, serpihan kaca beterbangan.
Jagat berputar, memanfaatkan reruntuhan sebagai tameng.
> “Nova, aktifkan Heavy Weapon Module.”
“Konfirmasi. Switch Heavy Weapon… ON.”
Suara magnetik meledak.
Dua laras meriam terbuka di bahunya, bersinar biru pekat. Cahaya plasma menumpuk seperti jantung bintang.
Robo Alpha mengaum dalam suara mekanik dan melompat maju.
Jagat menatap lurus.
> “Untuk keluarga… dan untuk Ayah.”
DUAAAAARRRR!
Plasma menembus dada musuh. Ledakannya menyilaukan.
Gelombang panas menyapu jalan, menenggelamkan semua suara.
Jagat terhuyung, armor-nya berasap, tapi Robo Alpha sudah tumbang — terbakar, lalu meledak sekali lagi sebelum hening.
Nova berbicara lembut di helmnya.
> “Ancaman utama dinetralisir. Semua unit sekutu mundur.”
“Pastikan mereka selamat,” ucap Jagat perlahan.
“Sudah di dalam Arka One. Koordinat aman.”
Langit mulai terang.
Kabut asap menipis, berganti cahaya pagi pucat.
Jagat menatap ke atas — Arka One meluncur naik menembus awan, meninggalkan jejak biru panjang seperti belahan harapan.
Ia menurunkan helmnya, wajahnya letih tapi matanya menyala.
> “Nova…”
“Ya, Jagat?”
“Berapa banyak lagi perang seperti ini akan datang?”
Hening sejenak.
> “Sebanyak yang dibutuhkan… sampai manusia berhenti ingin saling memiliki.”
Jagat terdiam. Di bawah langit yang perlahan memutih, suara mesin Arka One memudar seperti gema jauh.
Ia berdiri di tengah jalan yang hancur, diapit reruntuhan dan api kecil yang masih menyala.
Lalu, dengan suara rendah, seperti doa:
> “Selama aku masih hidup… tak ada yang akan menyentuh keluarga ini lagi.”
Nova menjawab lembut, penuh ketegasan.
> “Rekaman tersimpan. Guardian Protocol aktif. Babak baru dimulai, Jagat.”
Kamera imajiner menjauh perlahan —
kota porak-poranda di bawah, langit biru muda di atas,
dan satu sosok berdiri tegak di tengah asap:
RoboHero 1.1 — sang penjaga pertama Indonesia.