Demi harta Dirja rela melakukan pesugihan, pesugihan yang katanya aman. Tak perlu menumbalkan nyawa, hanya perlu menikah lagi saja. Semakin Dirja menikah dengan banyak wanita, maka harta yang dia dapatkan juga akan melimpah.
"Ingat, Dirja! Kamu harus menikah dengan wanita yang memiliki hari spesial, seperti wanita yang lahir pada malam satu suro. Atau, wanita yang lahir pada hari Selasa Kliwon."
"Siap, Ki! Apa pun akan saya lakukan, yang terpenting kehidupan saya akan jadi lebih baik."
Akan seperti apa kehidupan Dirja setelah melakukan pesugihan?
Benarkah pesugihan itu aman tanpa tumbal?
Gas baca, jangan sampai ketinggalan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon cucu@suliani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sah
Damar menatap Dirja dengan sorot mata tajam penuh sindiran. Tanpa ragu, ia melangkah maju dan menepuk pundak Dirja cukup keras, seolah ingin menancapkan pesan tanpa kata.
"Tentu saja kamu cuma cari-cari uang calon mertua saya, siapa juga yang mau nikah sama Mbak Susi tanpa alasan itu?" ejek Damar sambil menyeringai meremehkan.
Dirja mengangkat alis, napasnya pelan tapi suaranya tegas, walaupun pria itu memang saat ini dalam keadaan miskin, tapi dulunya kedua orang tuanya juga merupakan orang yang memiliki lumayan harta dan penghasilan.
"Mohon maaf, saya dilamar langsung oleh Bapak Lurah Sukarta. Bapak lurah sendiri yang menjanjikan bantuan pengobatan untuk istri saya, bukan saya yang berusaha masuk keluarga Pak Lurah. Pak lurah Sukarta juga yang menjanjikan uang yang banyak untuk saya dan juga istri saya. Jadi, tolong jangan salah paham dan jangan sembarangan bicara."
Damar membuang muka, ekspresinya berubah menjadi cemberut. Dia merasa tidak terima dengan apa yang dikatakan oleh pria itu, dia merasa sedikit tersinggung.
"Cih! Orang miskin mulutnya pedas dan belagu. Jangan sok suci, aku yakin kamu cuma ngincer harta calon mertuaku, jangan pura-pura suci di sini."
Dirja menarik napas dalam-dalam, matanya menatap Damar dengan begitu tegas dan suaranya tetap mantap dalam berbicara.
"Aku masih punya harga diri, Damar. Aku menjual rumah, sawah dan perkebunan yang diwariskan bapakku. Semua itu aku pakai untuk membeli rumah yang akan jadi tempat kami berumah tangga nanti. Aku bukan pria yang datang tanpa modal."
"Benarkah? Coba perlihatkan berapa mahar yang akan kamu berikan kepada Mbak Susi kalau memang kamu merupakan pria yang bermodal," tantang Damar.
Tanpa banyak bicara Dirja menyimpan segepok uang di atas meja, tepat di depan pak penghulu, lurah Sukarta, Susi dan juga Srini. Dia juga menyimpan satu set perhiasan emas di sana.
Semua orang kaget dengan uang dan juga perhiasan yang dibawa oleh Dirja, karena mereka mengira kalau Susi hanya akan diberikan uang mahar yang sedikit oleh pria itu.
"Ini, ehm! Emas kawinnya untuk Neng Susi?" tanya Pak penghulu.
"Iya, Pak," jawab Dirja mantap.
"Nggak pakai seperangkat alat salat dan juga Alquran?" tanya Pak penghulu lagi.
Karena biasanya di kampung mereka, Alquran dan juga seperangkat alat salat akan dijadikan sebagai mas kawin dalam pernikahan.
"Nggak, Pak. Kata orang tua saya tanggung jawabnya besar kalau menjadikan Alquran dan juga seperangkat alat salat untuk mas kawin," jawab Damar.
"Kenapa?" tanya Lurah Sukarta yang tidak paham.
"Kalau Neng Susi tidak mengaji dan juga tidak salat setelah menikah dengan saya, dosanya akan berlipat-lipat ganda yang saya dapatkan. Karena sudah memberikan mas kawin berupa alat salat dan juga Alquran tetapi tidak pernah dipakai salat dan tidak pernah dibaca sama sekali."
"Ah, betul juga. Ya udah ayo, acara nikahnya dimulai saja."
"Ya, tapi saya minta waktu sebentar."
Dirja bersimpuh di hadapan istrinya, dia menggenggam tangan istrinya lalu mengecup kening istrinya dengan penuh cinta.
"Mas mau nikah lagi, jangan sedih. Setelah Mas nikah, kamu akan langsung dibawa ke kota. Kalau sudah sembuh bakalan Mas jemput, nanti kita tinggal bertiga di rumah baru."
"Emmm," jawab Darmi.
Setelah mendapatkan restu dari istrinya, Dirja menikahi Susi secara siri. Walaupun hanya dihadiri oleh beberapa orang saja, tetapi pernikahan itu terjadi dengan penuh haru dan juga sukur.
"Sesuai dengan apa yang saya katakan, setelah pernikahan ini saya akan membawa Neng Susi ke rumah baru. Bapak tidak keberatan bukan?" tanya Dirja.
"Tidak, bawalah. Dia sudah menjadi istri kamu, untuk Darmi, saya akan langsung mengantarnya ke kota untuk berobat."
"Terima kasih," ujar Dirja.
"Ehm! Tunggu sebentar, setelah menikahi anak saya, kamu akan bekerja di mana?" tanya Srini.
"Mungkin akan membuat usaha sendiri, nanti saya pikirkan usaha apa yang bisa saya geluti."
"Saya setuju, kalau perlu modal bisa bicara kepada saya," ujar Lurah Sukarta.
"Tak perlu, saya masih punya uang."
Dirja menyaksikan kepergian Darmi terlebih dahulu dibawa ke kota untuk berobat, setelah itu dia langsung membawa Susi ke rumah barunya. Tentunya dengan menggunakan motor, karena selain membeli rumah, dia juga sudah membeli motor untuk digunakan bepergian.
"Rumahnya bagus ya, Kang?"
Susi terpana melihat rumah sederhana milik Dirja, rumah itu tidak besar dan hanya memiliki tiga kamar. Namun, di depan rumah itu terlihat begitu asri karena ditanami dengan banyaknya tanaman hias.
Saat Susi melangkahkan kakinya menuju belakang rumah, di sana banyak juga bunga yang sedang bermekaran. Rumah sederhana itu dikelilingi bunga-bunga yang cantik dan juga wangi.
"Iya, Akang bersyukur kalau kamu suka. Mari masuk," ajak Dirja.
Dirja membawa Susi menuju kamar yang sudah dia siapkan, Susi langsung merapikan baju dan juga peralatan yang dia bawa. Setelah itu dia duduk bersama dengan Dirja di ruang keluarga.
"Kamarnya ada tiga, yang depan kamar aku dengan Akang, kamar yang tengah pasti buat Akang dan juga mbak Darmi. Lalu, kamar belakang apakah buat ruang tamu?"
"Bukan, itu adalah ruangan yang akan Akang pake. Kamu tak boleh masuk ke dalam kamar itu," jawab Dirja.
Susi menganggukan kepalanya tanda mengerti, dia berpikir kalau Dirja ingin memiliki privasi sendiri. Makanya ada hal atau tempat yang tidak boleh dia jamah.
"Oh, oke. Terus, ini adalah malam pertama kita. Apakah Akang akan minta hak Akang sebagai suami?"
Susi bertanya dengan ragu-ragu, karena walaupun mereka sudah menikah, pernikahan mereka dirasa sangat tergesa-gesa dan tidak ada perkenalan sama sekali.
"Akang ini lelaki normal, tanpa Akang perlu menjawab, kamu pasti tahu jawabannya."
Susi menelan ludah, dia tidak percaya kalau Dirja akan langsung memerawani dirinya malam ini. Ini di luar dugaannya, karena dia berpikir kalau Dirja begitu mencintai Darmi, pria itu akan menjaga dirinya untuk wanita itu.
"Kok malah bengong?" tanya Dirja.
"Ehm! Tak apa, cuma kaget saja." Susi menunduk sambil meremas kedua tangannya.
"Oiya, apa Akang boleh bertanya tentang hal yang pribadi?"
"Boleh, kita sudah menikah. Akang tanyakan saja apa yang ingin Akang ketahui," jawab Susi.
"Apakah Neng Susi masih perawan?"
Walaupun wanita itu sebelumnya diisukan susah dekat dengan pria, Dirja tentu ingin memastikan apakah wanita itu masih perawan atau tidak. Karena Ki Gundul pernah berkata kalau misalkan dia mendapatkan keperawanan Susi, maka kekayaan yang dia dapatkan dari wanita itu akan sangat melimpah.
"Akang nuduh saya sudah melakukannya sebelum nikah? Akang nuduh saya wanita tidak benar?" tanya Susi yang begitu tersinggung dengan pertanyaan dari Dirja.
punya pikiran tidak sih Dea ini.
Egois, judes dan emosian
iblis kalau di turuti semakin menjadi membawamu makin dalam terperosok dalam kehinaan .
Dirja ,ringkih banget hatimu ,baru di katain begitu kau masukkan ke dalam hati terlalu jauh ,hingga punya pikiran melenyapkan kehidupan insan tidak bersalah yang baru berkembang.
semangat teh Ucu