"Aku akan menceraikan mu!".
DUAR!!!!!
Seakan mengikuti hati Tiara, petir pun ikut mewakili keterkejutannya. Matanya terbelalak dan jantungnya berdebar kencang. Badu saja ia kehilangan putranya. Kini Denis malah menceraikannya. Siapa yang tak akan sedih dan putus asa mendapat penderitaan yang bertubi-tubi.
" Mas, aku tidak mau. Jangan ceraikan aku." isaknya.
Denis tak bergeming saat Tiara bersimpuh di kakinya. Air mata Tiara terus menetes hingga membasahi kaki Denis. Namun sedikitpun Denis tak merasakan iba pada istri yang telah bersamanya selama enam tahun itu.
"Tak ada lagi yang harus dipertahankan. Aju benar-benar sudah muak denganmu!'"
Batin Tiara berdenyut mendengar ucapan yang keluar dari mulut Denis. Ia tak menyangka suaminya akan mengatakan seperti itu. Terlebih lagi,ia sudah menyerahkan segalanya hingga sampai dititik ini.
"Apa yang kau katakan Mas? Kau lupa dengan perjuanganku salama ini?" rintih Tiara dengan mata yang berkaca-kaca.
"Aku tidak melupakannya Tiara,...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irh Djuanda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21
Tiba-tiba Tiara menggeliat kecil. Kelopak matanya terbuka perlahan, menatap Galang dengan pandangan kabur.
"Tuan… kenapa Anda di sini?" suaranya serak, lemah.
Galang terdiam sesaat, lalu menjawab singkat,
"Kau pingsan. Aku tidak akan meninggalkanmu dalam keadaan seperti itu."
Tiara mencoba bangun, tapi Galang langsung menahan bahunya.
"Jangan memaksakan diri. Kau butuh istirahat." tambah Galang lagi.
"Tapi Reihan…" gumam Tiara.
"Reihan bersama Bu Suti. Tenang saja," potong Galang lembut, kali ini tanpa nada dingin seperti biasanya.
Tiara menatapnya heran. Ada sesuatu yang berbeda dari cara pria itu berbicara. Hangat, tapi menyembunyikan sesuatu yang dalam.
"Tuan… aku minta maaf jika kemarin membuat Anda repot. Aku tidak ingin menambah beban Anda," ucapnya lirih, menunduk.
Galang menatapnya beberapa detik sebelum menjawab,
"Kau tidak merepotkan siapa pun. Dan berhentilah terus meminta maaf untuk hal yang bukan salahmu." balasnya tegas namun terdengar lembut.
Ucapan itu membuat Tiara terdiam. Ia tidak tahu harus berkata apa. Dadanya terasa hangat sebuah perasaan aneh yang sudah lama tidak ia rasakan. Di saat itu, dokter Ridwan pun akhirnya tiba di sana.
"Aku pikir kau yang sakit." ujar dokter Ridwan begitu masuk ke kamar.
Galang hanya menoleh tanpa membalas ucapan basa basi dari dokter Ridwan. Raisa hanya mengekor dibelakang, lalu Galang langsung menggeser tubuhnya ke samping.
"Aku akan memeriksa mu, Nona," katanya lagi.
Dokter Ridwan mendekat sambil membuka tas kecilnya. Gerak-geriknya cepat tapi tenang. Ia memeriksa suhu tubuh Tiara, menekan pelan pergelangan tangannya untuk mengecek denyut nadi, lalu menatap wajahnya yang masih pucat.
"Demamnya cukup tinggi. Kemungkinan karena kelelahan dan kurang istirahat. Apa akhir-akhir ini dia sering begadang?" ujar dokter pelan.
Raisa menatap Galang, sementara Galang hanya menunduk sedikit.
"Entahlah, Dok. Tapi beberapa hari terakhir dia memang terlihat lelah."
Dokter Ridwan mengangguk paham, lalu mengambil stetoskop dan kembali memeriksa Tiara. Setelah beberapa saat, ia menulis sesuatu di catatannya.
"Aku akan berikan resep obat dan vitamin untuk memulihkan tenaganya. Tapi yang paling penting, dia harus benar-benar beristirahat. Jangan banyak pikiran, jangan juga terlalu sering menangis," katanya, menatap Tiara dengan senyum lembut.
Tiara hanya bisa menunduk, pipinya memerah malu. .
"Terima kasih, Dokter," ucapnya pelan.
"Jangan sungkan untuk minta bantuan, Nona..."
"Tiara, Dokter" potong Tiara cepat.
"Ya , jangan sungkan untuk meminta bantuan, nona Tiara. Tubuhmu butuh ketenangan, bukan tekanan." tambahnya dengan nada hangat, seolah bisa membaca isi hatinya.
Setelah memberi arahan pada Bu Suti soal obat yang harus diminum dan kompres yang harus diganti, dokter Ridwan berpamitan. Galang ikut mengantar sampai ke ruang tamu, meninggalkan Raisa dan Tiara di kamar.
"Siapa wanita itu? Kau sudah menikah lagi ?" tanya dokter.
"Mana mungkin aku menikah lagi. Reina saru-satunya wanita yang aku cintai." balas Galang tegas.
"Kau yakin ?" ucap. dokter lagi,mencoba meyakinkan.
"Kelihatannya kau peduli. Itu tak seperti ucapan mu. Kau tahu itu kan?" tambahnya lagi.
Galang menghela nafas pelan,
"Dia ibu susu Reihan, Mama yang membawanya ke sini. Jadi... itulah kenapa aku terlihat seperti yang kau pikirkan." jelas Galang, namun ia tidak benar-benar yakin dengan ucapannya.
"Ibu susu, ya?" gumam dokter.
Di kamar, Raisa masih duduk di tepi ranjang sambil menatap Tiara yang kini tertidur kembali. Ia membenarkan selimut di tubuh Tiara, lalu mengusap rambutnya pelan.
"Kasihan sekali kau, Nak," bisiknya lembut.
Tak lama kemudian, Bu Suti masuk sambil membawa semangkuk bubur hangat.
"Nyonya, saya sudah siapkan bubur untuk nanti kalau Nona Tiara bangun," ujarnya.
"Terima kasih, Bu Suti. Taruh saja di meja. Biarkan dia tidur dulu." sahut Raisa tersenyum kecil.
Sebelum keluar, Bu Suti sempat berhenti sejenak.
"Nyonya, kalau boleh saya bicara… Tuan Galang sepertinya benar-benar sangat mengkhawatirkan nona Tiara. Sudah lama sekali saya tak melihat tuan Galang bersikap hangat seperti itu sejak nona Reina tiada."
Raisa menatap Bu Suti, wajahnya sedikit menegang, tapi kemudian melembut. Raisa menarik napas pelan, lalu menatap Tiara yang masih tertidur lelap.
"Ya, aku juga menyadarinya, Bu Suti. Ada sesuatu yang berubah dalam diri Galang. Entah sejak kapan, tapi aku bisa merasakannya." ujarnya lembut.
Bu Suti menunduk hormat, lalu berkata lirih,
"Mungkin ada sesuatu pada diri nona Tiara yang membuat tuan Galang berempati padanya."
Ucapan itu membuat Raisa terdiam sejenak. Tatapannya teralihkan pada wajah Tiara yang tenang di balik cahaya lampu redup.
"Mungkin," jawab Raisa perlahan.
Raisa menatap Tiara lama. Ada sesuatu dalam diri wanita itu yang membuat hatinya hangat sekaligus khawatir. Ia mengusap lembut dahi Tiara sambil berbisik pelan,
"Semoga kau selalu diberi kebahagiaan, Nak. Mungkin di sini, di rumah ini. Aku berharap kau bisa menyembuhkan hati Galang sudah terlalu lama hidup dalam bayang kehilangan."
Sementara itu, di ruang tamu, Galang duduk sendirian di kursi panjang. Lampu ruang itu hanya menyala temaram. Suara hujan yang mulai reda terdengar samar dari luar. Ia menatap secangkir teh yang disuguhkan Bu Suti tadi tapi belum disentuhnya.
Ponselnya berdering, Galang menatapnya namun tak ingin menjawab panggilan itu. Hari ini benar-benar melelahkan dan Galang butuh istirahat untuk sekedar menghilangkan rasa penat di kepalanya.
"Kau tidak ke kantor?" ucap Raisa begitu menuruni tangga dan melihat Galang masih duduk di ruang tamu.
Galang menoleh pelan ke arah Raisa yang kini berdiri di ujung anak tangga. Wajahnya tampak letih, rambutnya sedikit berantakan, dan dasi yang tadi pagi sudah ia siapkan kini masih tergantung di jemari.
"Tidak, Ma. Aku sudah menghubungi kantor. Hari ini aku kerja dari rumah saja," jawabnya singkat, suaranya serak tapi tenang.
Raisa berjalan mendekat, lalu duduk di kursi seberangnya.
"Kau kelihatan sangat lelah, Galang. Apa kau memikirkan Tiara?" tanyanya lembut.
Galang terdiam sesaat sebelum menjawab,
"Tidak ada apa-apa, Ma. Aki hanya ingin istirahat sebentar."
Raisa mengangguk pelan. Raisa memandangi anak menantunya dengan tatapan yang sulit diartikan, antara iba dan cemas. Ia tahu Galang berusaha menutupi perasaannya, seperti biasa. Tapi sorot mata itu, getir sekaligus hangat, tak bisa berbohong.
"Kau boleh saja bilang tidak ada apa-apa, tapi ibu ini sudah cukup lama mengenal wajah lelah mu. Sejak Tiara datang, ada sesuatu yang berubah dari caramu menatap orang lain, Galang." ucap Raisa lembut sambil tersenyum tipis.
Galang menatap ke arah meja, menghindari pandangan ibunya. Tangannya memainkan sendok di cangkir teh yang mulai dingin.
"Aku hanya… tidak ingin ada kesalahpahaman, Ma. Tiara hanya pengasuh Reihan. Dan selama dia berada di bawah atapku, aku bertanggung jawab atasnya."
Raisa menghela napas pelan, lalu menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi.
"Baiklah Galang. Apa pun perasaanmu hanya kau yang tahu."
"Ma…"
Galang menatapnya, sedikit kesal tapi tidak bisa menutupi kegelisahan di wajahnya.
"Aku harap, Mama tdak lagi membicarakan hal ini lagi. Reina baru saja meninggal. Aku tak ingin siapa pun menggantikannya, termasuk Tiara."
"Baiklah, Nak." potong Raisa pelan.
❤️❤️❤️❤️❤️
⭐️⭐️⭐️⭐️⭐️
❤️❤️❤️❤️❤️