NovelToon NovelToon
Peluang Pulih

Peluang Pulih

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Misteri / Romansa Fantasi / Kehidupan di Sekolah/Kampus
Popularitas:721
Nilai: 5
Nama Author: jvvasawa

"Hai, aku gadis matematika, begitu Sora memanggilku."

Apa perkenalan diriku sudah bagus? Kata Klara, bicara seperti itu akan menarik perhatian.

Yah, selama kalian di sini, aku akan temani waktu membaca kalian dengan menceritakan kehidupanku yang ... yang sepertinya menarik.

Tentang bagaimana duniaku yang tak biasa - yang isinya beragam macam manusia dengan berbagai kelebihan tak masuk akal.

Tentang bagaimana keadaan sekolahku yang dramatis bagai dalam seri drama remaja.


Oh, jangan salah mengira, ini bukan sekedar cerita klise percintaan murid SMA!

Siapa juga yang akan menyangka kekuatan mulia milik laki-laki yang aku temui untuk kedua kalinya, yang mana ternyata orang itu merusak kesan pertamaku saat bertemu dengannya dulu, akan berujung mengancam pendidikan dan masa depanku? Lebih dari itu, mengancam nyawa!


Pokoknya, ini jauh dari yang kalian bayangkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon jvvasawa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 28 | PERPISAHAN SEMENTARA

Harap bijaksana dalam membaca,****karya ini hanya lah fiksi belaka, sebagai hiburan, dan tidak untuk ditiru.****Cukup ambil pesan yang baik, lalu tinggalkan mudaratnya. Mohon maaf atas segala kekurangan, kecacatan, dan ketidaknyamanan, dan terima kasih yang sebanyak-banyaknya atas segala dukungan; like, vote, comment, share, dan sebagainya, Jwasawa sangat menghargainya! 💛

Selamat menikmati, para jiwa!

Untung saja aku berhasil menangkap helm yang rubah itu lempar dengan satu tanganku yang tak memegang plastik makanan, hampir saja jantungku copot dibuatnya. “Kau punya masalah pribadi denganku, ha? Kau dendam padaku?!”

“Bagus juga refleksmu, Nat. Matamu sempat, ya, memperhitungkan jarak dan perkiraan lainnya? Keren, keren.”

“Sialan, jangan ganti topik, bodoh! Bagaimana kalau helm beratmu ini mengenai kepala – atau bahkan wajahku?! Kau bisa tanggung jawab?!” Mataku nyalang memandangi Zofan.

Kurasa dia mulai kebal dengan semprotan dariku, sebab kulihat bibirnya mengapit menahan seringaian. Apa dia meledekku? Aku tak pernah mengerti isi kepala manusia satu ini, kurasa bahasa asing membuat otaknya eror.

“Untuk apa aku bertanggung jawab? Kau, kan, bisa tinggal minta pertolongan Sora?”

Wajahku semakin menekuk kala mendengar perkataan tiba-tiba dari Zofan yang tengah mengenakan helmnya yang lain. “… apa?”

“Kenapa? Biasa juga kau melakukan itu, kan?”

“…”

Mulutku terbuka dan mengatup beberapa kali, tak sepatah kata pun terpikir olehku untuk dilontarkan.

Aku sudah tidak tahu lagi ekspresi seperti apa yang tergambar di wajahku sekarang, aku hanya tahu kalau aku sangat SANGAT terkejut mendengarnya. Bagaimana … bisa?

“A – apa yang kau bicarakan?”

“Tak usah mengelak, Natarin. Aku selalu bisa melihatnya di sekolah.” Lagi-lagi Zofan membuatku kaget dengan pernyataan darinya, sementara dia dengan santai naik ke atas motor oranye miliknya – warna yang hampir serupa dengan mobil yang pernah Zofan bawa ke sekolah.

Zofan membawa motornya berbalik arah memutariku sambil kembali memberi pengakuan yang lebih mencengangkan lagi, yang tetap bisa terdengar olehku, “pagi, siang, sore, kapan pun kau bertemu dan berpapasan dengan Sora, hal itu pasti akan terjadi.”

“Siapa, sih, Nat, yang tak tahu kalau kau itu orang yang begitu teliti dan hampir jarang membuat kesalahan? Tak masuk akal kalau tiba-tiba kau berubah ceroboh dan sering terluka.”

Tenggorokanku mendadak sukar menelan ludah. Dadaku berdebar sampai aku sulit bernapas.

“Rencanamu terlalu rapi dan sempurna untuk sebuah ketidaksengajaan, Natarin. Jangan terlalu perfeksionis dalam segala hal, tidak segalanya harus berjalan mulus. Kadang perlu sedikit bumbu ‘kekurangan’ untuk menciptakan sebuah kebetulan.” Bak seorang penasehat si mulut remix menceramahiku.

“Lain kali kau tanya dulu pendapat dari temanmu, atau kau juga bisa tanya padaku. Setidaknya aku lebih berpengalaman darimu dalam hal itu.”

Sialan. Sialan. SIALAN! Aku harus menangkis seperti apa sekarang? Tak ada celah untuk menyangkal! Aku bisa terlihat bodoh jika memaksakannya.

“Cepat pakai helm itu, dan naik. Bukannya kau bilang jam sembilan sudah harus ada di rumah? Lima belas menit lagi, Nona Natarin,” Zofan menunjukkan layar jam pintar yang melingkar di pergelangannya ke arahku.

Bibir bawahku tergigit kecil tanpa sadar, menyiratkan kegelisahanku. Zofan seperti memberi kesempatan padaku untuk tidak menanggapinya. Maka, tanpa berkata apapun, dengan tergesa-gesa kuikuti saja instruksinya, lalu duduk di bagian belakang jok motornya dengan helm yang sudah kukenakan.

“Kenapa kau sebegitu tertariknya pada Sora?”

Ternyata laki-laki ini belum puas juga membahas soal Sora, dan kenapa aku selalu kehabisan kata-kata kalau sudah berkaitan dengan Sora.

“Uh, aku … hanya mencari kesenangan.”

“Lalu, apa kau senang?” teriak Zofan, menembus angin malam yang melawan laju motornya.

“Tentu saja, tapi tidak dengan akhir-akhir ini. Beberapa hari ini aku jarang melihat Sora.”

Sesekali aku ikut mengeraskan suaraku saat angin kencang hampir membawa pergi suaraku.

“Aku pernah bilang, kan, kalau Sora tak jauh berbeda dariku? Aku tahu kau tak percaya, tapi, bagaimana seandainya nanti kau melihat Sora berubah?”

Proses interogasi dadakan yang berlangsung di jalan ini jadi terdengar seperti dialog-dialog dramatis dalam perfilman. Begini kah rasanya kalau hidup di dalam dunia fiksi?

“Natarin, kau dengar tidak?!”

Suara jerit Zofan memekakkan telingaku yang memang sudah sakit ini, menyadarkanku bahwa duniaku nyata. Mana ada karakter fiksi yang akan semenjengkelkan dan se-tidak-keren dia!

“Mana aku tahu akan bagaimana? Lihat saja nanti kalau memang itu terjadi! Aku malas berandai-andai.” Kurasa, pun, tak akan ada karakter fiksi yang bicara asal-asalan seperti aku. Dialog macam apa yang kuhasilkan barusan? Sangat tak kreatif, sangat tak bersifat fiktif.

Huh, seandainya aku karakter fiksi, pasti sudah berjodoh dengan Sora.

Sora lagi, Sora lagi.

… dan, entah aku yang salah menerka, atau memang Zofan sepertinya menertawakanku. Bahunya bergetar, tapi aku tak mendengar apa-apa lagi darinya. “Tipikal Natarin.”

Tunggu, suara apa barusan? Aku seperti mendengar Zofan mengatakan sesuatu dengan pelan. Kenapa pula helm ini begitu sempit, apa muat di kepala besar Zofan? Membuat telingaku terhimpit dan semakin susah mendengar saja! Helmnya ini lah yang menyakiti telingaku sedari tadi.

Sesampainya di depan gerbang rumahku, segera kuturunkan diriku dari atas motor Zofan. Melihatku yang kesusahan melepaskan helm, Zofan sempat menawarkan diri, tapi langsung kutolak. Aku bilang aku bisa melepasnya sendiri – setidaknya, kalau aku berusaha, pasti akan berhasil.

“Helmmu sempit sekali, memangnya ini muat di kepalamu?” Aku menanyakan itu sambil menyodorkan helm kembali pada Zofan, dan dia meletakkan helm dariku di atas tangki motor besarnya. Kalaupun bukan dia yang kenakan, pasti di kepala teman-temannya seperti Nero atau Bian, atau Sora, pun, helm ini tak akan muat.

“Berarti kepalamu terlalu besar. Helm itu milik kekasihku.”

Sialan! Seharusnya tak perlu kukembalikan secara baik-baik helmnya tadi, langsung kulempar saja ke kepalanya. Enak saja bilang kepalaku besar – sebentar, helm siapa, dia bilang??!

“Apa? Milik kekasihmu?! Dan kau membiarkan aku memakainya? Kau mau dihajar kekasihmu?!”

“Santai saja, sudah biasa. Dia juga sering dibonceng teman-teman pria di kampusnya.”

Diam sejenak. Langkahku sedikit mundur agar bisa menyandarkan punggung pada gerbang rumahku yang belum kubuka. Tanganku terlipat di dada, serentak kaki yang saling menyilang satu sama lain.

“Jadi, kau memang sering bertengkar dengan kekasihmu?”

“Kau tahu darimana?”

“Kau tak tahu rumor soal dirimu dan pacarmu sudah menyebar ke mana-mana?”

“Rumor? Tentang aku? Dan kekasihku? Tapi … dari mana – oh … apa mereka melakukannya lagi? Mengikuti, menguntit, dan menyebar privasiku?” Dibanding bicara denganku, Zofan lebih terdengar seperti bermonolog sendirian.

“Kau ini aneh. Memang sudah berapa lama kau jadi si paling tenar di sekolah, sampai masih tak terbiasa dan tak menyadari itu? Semua hal tentangmu akan selalu jadi konsumsi penggemar-penggemar fanatikmu, Zo.”

“Kalau begitu, apa aku perlu memanfaatkan kau lagi?”

“Maksudmu?”

“Hmm~” Zofan mencondongkan tubuhnya ke depan, mengandalkan helm yang kupinjam tadi sebagai tumpuan kedua lengannya. “Berdasarkan yang kutahu, selama kita jadi ‘rekan kerja’, tak ada rumor apa pun yang tersebar soal kita. Iya, kan? Kenapa? Apa karena itu kau? Cika, pun, tak dirundung lagi begitu ada di dekatmu, kan? Itu alasan kau pernah sesering itu di dekatnya, kan?”

“Sepertinya kau benar-benar sudah lama memantau dan menargetkanku, ya, rubah licik?”

“Memang. Bukannya sudah sangat jelas yang kukatakan saat di kafe tadi?”

“Ck, kebetulan saja aku masih dalam perlindungan Tuhan. Kita tak tahu bisa segila apa penggemar-penggemarmu itu, bagaimana kalau aku justru dibuat celaka?”

“Coba saja dulu, atau kita buat kontrak? Nanti kusediakan asuransi.”

“Tidak! Berhenti bercanda dan sok akrab denganku. Jangan lagi libatkan aku pada apa pun urusanmu, ya! Sudah cukup soal kertas-kertas itu. DAN—! Dan, bantuanku berhenti sampai di gulungan kertas yang kedua nanti. Setelah itu, tak ada lagi yang akan kulakukan untukmu. Mengerti?!”

Tanganku mengacung pada wajahnya, “DAN! Jangan berani-berani kau coba ancam aku lagi, atau aku akan benar-benar memberi perhitungan.”

Alis Zofan hampir menyatu di balik kaca helm yang baru dia turunkan untuk melindungi wajah, dari tinjuanku, kurasa. “Perhitungan sekali, sih, padaku?”

“Sadar diri! Kau bukan siapa-siapa untukku! Sekarang pun aku membantumu karena Sora saja,” hardikku, membuat Zofan mencibir tanpa suara.

“Aku tahu, Nona.”

“Ck. Terima kasih untuk traktirannya, kau masih berhutang menyelesaikan tugasku!” seruku memperingati sambil kuayun-ayunkan plastik makanan yang masih dalam genggaman le udara, hanya setinggi kepalaku.

“Iya, iya! Cerewet sekali! Sudah sana, masuk! Aku mau pulang.”

“Pulang lah, sana. Aku juga tak menyuruhmu menungguku masuk.”

Benar-benar baru sedetik aku mengakhiri kalimatku, dia langsung menggeber motornya dan melaju pergi dengan kecepatan tinggi, meninggalkan asap knalpotnya dan membuatku terbatuk-batuk.

“Dasar rubah!” teriakku pada aspal kosong bekas jejak motor si rubah licik. Tanganku berkibas-kibas di depan hidung, lalu kubalikkan tubuh dan cepat-cepat membuka gerbang rumahku.

“Huh, enak saja mau menyeretku ke dalam masalahnya lagi,” gumamku mengomel sendiri, tak lupa menggembok gerbang rumah begitu masuk perkarangan. “Sora saja masih belum kugapai, malah mau dibuat berurusan dengan para penggemar dan kekasihnya Zofan yang bahkan tak kukenal itu.”

...

Bersambung

1
Avocado Juice🥑🥑
Luar biasa kisahnya
Jwasawa | jvvasawa: Huhu terima kasih banyaak sudah luangin waktu membaca Peluang Pulih! 🥺💛
total 1 replies
Aishi OwO
Mantap, gak bisa berhenti baca
Jwasawa | jvvasawa: Waaaa terima kasih banyak! Semoga betah terus bacanyaa. /Whimper//Heart/
total 1 replies
Tsuyuri
Thor, tolong update secepatnya ya! Gak sabar nunggu!
Jwasawa | jvvasawa: Aaaa terima kasih banyak dukungannya! 🥺 akan aku usahakan! ♡♡
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!