Jiwa seorang ilmuwan dunia modern terjebak pada tubuh pemuda lemah di Dunia Para Abadi. Chen Lian yang terjebak pada tubuh Xu Yin dan dianggap pecundang, berusaha mencapai Puncak Keabadian dan membuat Surgawi Berlutut di bawah telapak kakinya!
Namun, bukan tanpa rintangan. Dunia Abadi dimana yang lemah ditindas dan yang kuat disembah. Perjalanan Chen Lian akan mengorbankan banyak darah…
**
WARNING!
Bab 1 - 22 pengembangan diri MC, ritme lambat & membosankan.
Bab 23+ mulai perjalanan MC, penderitaan dan pengkhianatan tiada akhir demi mencapai Puncak Keabadian!
Update bab setiap hari.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Almeira Seika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29—Duel Teknik Murid Inti (2)
“Tinju Dewa Api!”
Api hitam membungkus tinjunya, membentuk seekor naga mini yang meraung dari kepalan tangannya. Tinju itu menghantam ke atas, menabrakkan tangannya itu ke arah hujan kelopak. Ledakan terjadi, mengguncang arena seperti guntur menabrak bumi. Li Jiayi mundur beberapa langkah, dadanya terasa sesak.
Mata Duan Fang membulat, lalu bergumam dalam hati. "Dasar jalang lemah! Aku hanya memakai teknik rendahan, dia sudah mundur..." Di lain sisi, Tinju Naga itu masih utuh, Duan Fang melesat ke arah Li Jiayi. Namun, sesuatu terasa aneh. Pergerakan Duan Fang… lambat.
“Eh?! Kenapa gerakan Duan Fang lambat?”
“Bukankah beberapa detik yang lalu harusnya menjadi kesempatan Duan Fang untuk menghantam Li Jiayi menggunakan tinjunya?”
“Apakah energinya habis hanya karena melawan kelopak bunga?"
Suara diskusi menyebar dari tribun. Banyak penonton yang bertanya-tanya dan penasaran, kenapa Duan Fang tidak mengambil kesempatan untuk menyerang. Sementara, para Tetua hanya menyipitkan mata.
Setelah kelopak api telah hancur, dan Li Jiayi sedikit lemah. Duan Fang mengarahkan Tinju Naga ke arah Li Jiayi dengan kecepatan yang tak lebih lambat dari burung pipit terbang. Dengan kesempatan itu, Li Jiayi melompat ke udara. Tangannya bergerak cepat membentuk mudra.
“Seribu Jarum Darah.”
Langit berubah menjadi merah darah. Awan menggulung, lalu meneteskan ribuan jarum kecil ke arah Duan Fang. Setiap jarum mengandung formasi kecil, siap menembus pertahanan spiritual apa pun.
Namun, saat jarum-jarum itu mendekat… tubuh Duan Fang bergerak seperti asap. Tanpa satu jarum pun yang bisa melukainya, ia seolah menghilang dan muncul kembali beberapa meter dari posisi semula.
Jarum-jarum itu… meleset.
“Bukan dia yang menghindar,” gumam salah satu Tamu Undangan, “Tapi medan spiritual di sekitarnya… berputar balik seolah melindunginya.”
Li Jiayi mengernyit. Ia mengeluarkan teko emas di atas jemarinya, lalu mengusap permukaannya dengan sebuah mantra.
“Keluar.” Teriaknya.
Cahaya keemasan memancar. Asap berdengung muncul dari lubang teko, membentuk sosok makhluk dengan mata menyala merah. Mahkluk itu berada di ranah Qi Awekening 19. Ia adalah Roh Penjaga Jiwa, yang disegel di dalam teko harta karun klan Li. Roh itu sudah terikat janji untuk menjadi budak siapapun dari keluarga Li.
Mahkluk itu mengeluarkan suara tangisan yang mengerikan. Lalu, ia itu melesat dengan kecepatan hantu ke arah Duan Fang. Cakar panjangnya yang berwarna hitam siap mencabik-cabik Duan Fang.
“Kenapa jalang ini mengeluarkan harta karun warisan klannya? Bukankah aku sudah bilang kalau aku akan mengalah…?” batin Duan Fang. Tapi ia tidak punya waktu untuk bicara.
Telapak tangan Duan Fang membentuk sebuah pedang yang memiliki cahaya merah darah. Pedang itu memiliki ukiran-ukiran kuno di sela-sela sinarnya. Itu adalah 'Pedang Darah Langit' Para tamu undangan dan Tetua matanya berbinar.
"Itu Pusaka Surgawi Tingkat tinggi!" ucap salah satu Tamu Undangan. Lalu, Tamu Undangan lainnya menyahut, "Kau yakin? Pedang itu hanya tiruan, bukan asli!"
Mulut Duan Fang mengucapkan mantra. Lalu, 'Pedang Darah Langit' menghunus ke arah dada Roh Penjaga Jiwa.
Namun, Roh Penjaga Jiwa itu tidak hancur. Tubuhnya berubah menjadi asap, lalu muncul kembali di belakang Duan Fang. Roh itu membuka lebar mulutnya yang berbau busuk, dan gigi tajamnya yang berwarna hitam siap menggigit punggung Duan Fang. Gigitannya bukan secara fisik, melainkan langsung menggigit jiwa.
“Argh…!”
Duan Fang tersungkur. Matanya melebar saat merasakan jiwanya terkoyak. Tapi ia tidak panik. Ia menarik napas, lalu menghentakkan kaki ke tanah. Sebuah ledakan spiritual membumbung dari telapak kakinya, melemparkan roh itu beberapa kaki ke udara.
Dalam sekejap, ia melompat, dan menebas roh itu dengan pedangnya hingga hancur. Kali ini, Roh Penjaga Jiwa benar-benar lenyap. Tapi Li Jiayi sudah menunggu.
Dari tanah, ia meluncur seperti sebuah peluru, lalu dengan satu gerakan tangan, mengaktifkan teknik pamungkasnya.
“Kelopak Ketiga Belas.”
Seketika angin di sekitar semakin kencang dan tanah bergetar.
Dari tubuhnya muncul kelopak bunga merah darah yang terus berputar dalam lingkaran spiritual. Kelopak itu tumbuh dan berputar, lalu melesat ke arah Duan Fang.
BOOM!
Satu suara ledakan, dan Duan Fang terpental keras ke ujung arena. Tubuhnya terguling, jubahnya robek, dan wajahnya terhantam lantai batu.
Semua hening.
Asap tipis keluar dari tubuhnya.
Duan Fang yang terbaring di ujung arena, menatap Li Jiayi dari kejauhan. Suara batinnya berbisik. "Li Jiayi… kau tampaknya benar-benar menikmati peranmu."
“Pemenangnya… Li Jiayi!” Gema suara murid Senior, sebagai pengumuman.
Sorak-sorai menggema, sebagian terkejut, sebagian bersorak. Tapi para Tetua hanya mengernyitkan dahi.
“Hm… aneh,” gumam Tetua Qian
"Bukankah Duan Fang memiliki Primordial? Bagaimana mumgkin kalah?"
“Apa Duan Fang… sengaja kalah?”
Namun tidak ada yang bisa membuktikannya. Arena sudah bergerak ke pertarungan berikutnya.
"Pertarungan Kedua. Hao Xin vs Zhu Qiang." Gema suara Murid Senior, sebagai pengumuman.
Dua murid inti ini langsung menciptakan tekanan yang mengguncang tanah dan udara. Hao Xin, seharusnya lebih unggul diatas Zhu Qiang, tapi pertarungan berlangsung… aneh.
Hao Xin mundur setelah beberapa serangan awal, tampak seperti kelelahan. “Aku… aku kehabisan napas,” ucapnya sambil berbatuk dan tangannya memegang dada. “Zhu Qiang… lebih kuat dariku.”
Suara menggema… “Pemenangnya adalah Zhu Qiang!”
“Kenapa Hao Xin tidak menekan?”
“Zhu Qiang langsung menang?”
"Bukankah Hao Xin itu terkenal brutal? Kok..."
"Lagipula, Hao Xin unggul satu tingkat dari Zhu Qiang. Harusnya dis menang. Tapi entahlah...."
"SIALAN! AKU BERTARUH SEPULUH BATU ROH KUALITAS TINGGI UNTUK HAO XIN!"
"Tidak. Mereka tidak serius dalam bertarung. Taruhanmu seharusnya tidak sah!"
Tepuk tangan terdengar… tetapi tidak semeriah sebelumnya. Beberapa murid mulai menyadari ada sesuatu yang janggal.
Xu Yin hanya menonton dari tempatnya. Sejak pertarungan babak pertama, matanya fokus dengan Qi di pertarungan, menghitung pergerakan dan membaca teknik-teknik yang sedari tadi di tampilkan di arena. Ia mulai mencium sesuatu, aroma kelicikan yang dibungkus dengan rapi. Hatinya terasa sakit dan remuk, saat menyadari bahwa orang yang ia anggap sebagai sahabat, ternyata satu komplotan dengan empat Murid Inti itu.
Hatinya... mengeras lagi, dan mungkin... tidak akan cair dalam waktu yang lama.
Xu Yin menatap arena dengan tatapan kosong. "Bahkan arena telah mereka atur. Aku hanya perlu tetap bernapas… sampai giliranku datang."
Energi Qi di seluruh tribun dan arena, menuju ke arah Xu Yin seperti angin puting beliung. Itu adalah reaksi Void Primordial miliknya, saat rasa sakit hati yang dirasakan oleh Xu Yin semakin dalam. Setelah energi itu terkumpul, akhirnya tersedot ke dalam Void Primordial.
Hilangnya energi Qi di seluruh tribun dan arena, menciptakan hawa gerah yang aneh pada semua penonton, tamu undangan dan para tetua.
"Kenapa aku menjadi gerah?"
"Angin di sekitar hilang?"
"Ayo kita membuat angin menggunakan Qi di sekitar supaya tidak gerah."
Saat para penonton mencoba membuat angin dari energi Qi... tidak ada angin yang muncul. Bukan karena mereka tidak bisa menciptakan angin, tapi karena energi Qi di sekitar hilang.
Para Tetua saling pandang dan menjadi panik. "Bagaimana bisa energi Qi di sini lenyap semuanya?" cetus Tetua Jiang Xiong.
"Apakah ada praktisi jail yang melakukan ini? Mungkin dari salah satu tamu undangan?" balas Tetua Zhang Wei.
Ketua Sun mengerutkan keningnya, ia tidak marah, hanya penasaran, siapa yang berani mengganggu pertunjukan sektenya. Lalu, ia memberi perintah pada para Tetua. "Saudara Dao Qian, Tetua Jiang, Tetua Xie, Tetua Zhang, Tetua Han. Apakah kalian bisa menstranfer seluruh energi Qi ke tiap sudut foemasi perlindung? Bagaimana pertandingan ini akan berlanjut jika tidak ada energi Qi sama sekali?"
Kelima Tetua itupun terbang masing-masing ke sudut formasi perlindungan Sekte. Kedua telapak tangan mengarah ke luar, dan cahaya Qi berbinar menyebar ke seluruh formasi perlindungan. Setelah selesai energi Qi cukup penuh di dalam formasi, kelima Tetua itu kembali ke kursi kehormatan di sisi timur.
Di sisi lain, Void Primordial Xu Yin tidak bereaksi lagi dengan energi Qi. Mungkin, rasa sakit hati yang Xu Yin rasakan telah reda. Tetapi, bukan berarti ia melupakan kejahatan keempat Murid Inti itu. Dan, dia juga ingin tahu apa tujuan dari Duan Fang. "Apakah kau ingin membunuhku? Dan, kenapa?" gumamnya dalam hati.
Sementara itu, di kejauhan beberapa puluh kaki, Tetua Qian memperhatikan Xu Yin. Di matanya terpancar belas kasih yang semakin besar. "Bagaimana anak itu bertahan nanti… semua murid telah merencanakan ini? Dan jika aku tidak bertindak sekarang… mungkin dia akan mati…"
Langit biru semakin cerah, energi Qi sudah kembali normal. Dan Gong emas ditabuh sekali lagi.
"Pertarungan ketiga. Murid Inti Xu Yin melawan Murid Inti Hao Lin." Gema suara Murid Senior.
LANJUTIN!!!
BUAT SEMUA ORANG YANG NGEHINA, NGEKHIANATIN, MAU NGERUSAK XU YIN,
GUE MAU MEREKA DIBANTAI, DIPATAHIN, DIKULITI, DISERET KE DIMENSI PENDERITAAN ABADI, ANJINGGGG!!!!
BTW KOPI UDAH GW KIRIM Y TORRRR JGN NGAMBEK UPDTE SEBIJI DOANK APAAN DAH?? GW NUNGGU XU YIN JD BRUTALLLL
EMG BENER” OTAK BINATANG!!!
JUJUR APAANN LO SM AJA SMPAHNYA BGO!!
TLONGLAHH KOK GK AD YG BAIK DAH?? PNGHIANAT SMUA ANJGGG
LU GURU MCEM AP LO ANJGGG???
dh psti nanti dpukuli rame2
QIAN GOBL00K MALAH CURIGA2 SEGALA!! PADAHAL ABIS BUNUH ORANG BARENG MASIH G PERCAYA SATU SAMA LAEN