Renjiro Sato, cowok SMA biasa, menemukan MP3 player tuanya bisa menangkap siaran dari masa depan. Suara wanita di seberang sana mengaku sebagai istrinya dan memberinya "kunci jawaban" untuk mendekati Marika Tsukishima, ketua kelas paling galak dan dingin di sekolah. Tapi, apakah suara itu benar-benar membawanya pada happy ending, atau justru menjebaknya ke dalam takdir yang lebih kelam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amamimi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sekutu Berkacamata
Pukul 19.00. Langit sudah gelap sempurna.
Marika sudah pulang lebih dulu sepuluh menit yang lalu karena dijemput oleh supir ayahnya. Dia meninggalkan Ren dan Sugawara dengan satu perintah mutlak: "Pastikan semua jendela terkunci dan AC mati. Lapor di grup kalau sudah selesai."
Sekarang, Renjiro Sato dan Sugawara Kenji berdiri di depan pintu ruang OSIS.
Ceklek.
Sugawara memutar kunci pintu dengan gerakan hati-hati, lalu mengecek gagang pintu dua kali untuk memastikan sudah terkunci rapat.
"Aman," gumam Sugawara. Dia membetulkan letak kacamatanya yang berkilau terkena lampu koridor.
Ren menghela napas lega, merenggangkan punggungnya yang pegal akibat memindahkan meja tadi sore. "Akhirnya. Pulang juga."
Mereka berjalan beriringan menyusuri koridor sekolah yang sunyi. Suara langkah kaki mereka menggema. Tap. Tap. Tap.
Awalnya hening. Ren merasa agak canggung. Selama ini interaksinya dengan Sugawara hanya sebatas urusan kerjaan atau jadi saksi saat dia dimarahi Marika.
"Sato," panggil Sugawara tiba-tiba.
"Ya, Wakil Ketua?"
"Rumahmu arah mana?"
"Stasiun Timur. Dua pemberhentian dari sini," jawab Ren.
Sugawara mengangguk. "Kebetulan. Arah kita sama. Ayo jalan bareng sampai stasiun. Lebih baik daripada jalan sendiri-sendiri kayak orang musuhan."
Ren tersenyum kecil. Ternyata si kacamata ini bisa santai juga. "Boleh."
Mereka keluar dari gerbang sekolah. Udara malam terasa dingin. Angin malam mulai menusuk kulit.
"Dingin banget ya," komentar Ren, menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya.
Sugawara berhenti di depan sebuah minimarket yang cahayanya terang benderang.
"Sato," kata Sugawara serius, perutnya berbunyi pelan. "Keberatan kalau kita mampir sebentar? Saya butuh asupan energi. Tadi sore Ketua bikin saya stres."
Ren tertawa. "Sama. Ayo cari yang anget-anget."
Lima menit kemudian, mereka berdiri di depan minimarket, masing-masing memegang cup ramen instan yang masih mengepul.
Ren memilih rasa ayam bawang pedas. Sugawara memilih rasa kari yang kental.
Mereka makan dalam diam sejenak, menikmati kuah panas yang langsung menghangatkan badan. Sederhana, tapi nikmat banget setelah seharian kerja bagai kuda.
"Enak," gumam Ren setelah menyeruput kuahnya.
"Banget," setuju Sugawara. Dia mengunyah mienya dengan lahap. "Ramen instan malem-malem emang nggak ada lawan."
Sugawara menelan makanannya, lalu menoleh menatap Ren. Ekspresinya melunak, tidak setegang saat di ruang OSIS.
"Makasih ya, Sato," katanya tiba-tiba.
Ren menoleh, mulutnya penuh mie. "Hah? Buat apa?"
"Makasih udah... bertahan," kata Sugawara. Dia menatap uap yang ngebul dari gelas ramennya. "Jadi bawahan Ketua Tsukishima itu... berat. Saya tahu banget rasanya. Saya udah jadi wakilnya dari kelas 1."
Ren tertawa kecil. "Berat banget, Sugawara-san. Dia itu perfeksionisnya nggak ketulungan."
"Bener," Sugawara tersenyum tipis. "Dia keras. Dia kaku. Dia nuntut kesempurnaan karena cuma itu yang dia tahu. Ibunya... keras banget sama dia."
Ren terdiam. Dia teringat kejadian di belakang gedung waktu festival. Ternyata Sugawara juga tahu soal tekanan keluarga Marika.
"Selama setahun ini," lanjut Sugawara, "Ruang OSIS itu rasanya kayak ruang operasi. Dingin. Tegang. Cuma ada kerjaan. Kami semua hormat sama Ketua, tapi... kami takut sama dia. Nggak ada yang berani bercanda."
Sugawara menatap Ren lewat kacamatanya yang sedikit berembun karena uap ramen.
"Tapi sejak kamu masuk... suasananya beda."
Ren mengerjap. "Beda gimana? Jadi lebih berantakan?"
"Jadi lebih... hidup," koreksi Sugawara.
Dia menunjuk ke arah sekolah yang gelap di kejauhan.
"Tadi pagi... pas dia nyuruh kamu geser meja biar duduk di sebelahnya. Itu pertama kalinya saya liat Ketua ngelakuin sesuatu bukan karena logika kerjaan, tapi karena... perasaan."
Sugawara terkekeh pelan. "Cemburu itu emosi yang nggak efisien. Tapi liat Ketua Tsukishima cemburu, mukanya merah, terus bikin alibi macem-macem... itu bikin saya lega."
"Lega?"
"Lega karena ternyata dia masih remaja normal," kata Sugawara. Dia menepuk bahu Ren. "Kamu itu penyeimbang yang dia butuhin, Sato. Kamu bikin dia jadi manusia lagi, bukan robot."
Ren merasa wajahnya memanas. Dipuji oleh Sugawara rasanya aneh, tapi menyenangkan.
"Aku nggak sekeren itu kok," elak Ren. "Aku cuma... ya, aku cuma nggak mau liat dia sendirian."
"Itu udah cukup," kata Sugawara. Dia menghabiskan kuah ramennya sampai tetes terakhir. "Sebagai Wakil Ketua yang tugasnya jagain kewarasan Ketua... saya titip dia sama kamu, ya."
Ren menatap Sugawara. Pria kacamata ini ternyata bukan robot birokrasi. Dia adalah penjaga setia Marika. Dia peduli pada Marika, tapi dia tahu dia bukan orang yang bisa membuat Marika tersenyum. Dia tahu peran itu milik Ren.
"Siap, Wakil," kata Ren mantap, mengangkat gelas ramen kosongnya seolah bersulang. "Aku bakal jagain dia. Dan aku bakal pastiin dia nggak meledak karena kebanyakan kerja."
Sugawara mendentingkan gelas ramennya ke gelas Ren. "Tos."
Mereka melanjutkan perjalanan ke stasiun sambil mengobrol santai. Kali ini topiknya lebih ringan.
Ternyata Sugawara adalah penggemar berat anime robot-robotan (mecha). Dia bisa bicara panjang lebar soal desain robot terbaru dengan semangat yang sama saat dia bicara soal anggaran sekolah. Ren, yang juga gamer, nyambung banget dengan topik itu.
"Serius? Kamu ngerakit model robot juga?" tanya Ren antusias saat mereka menunggu kereta.
"Iyalah. Ngerakit robot itu butuh kesabaran tingkat tinggi. Latihan bagus buat ngadepin Ketua," jawab Sugawara bangga.
Kereta arah rumah Sugawara datang lebih dulu.
"Ah, kereta saya," kata Sugawara.
"Eh, Sugawara-san," panggil Ren sebelum temannya itu naik. Ren mengeluarkan ponselnya. "Minta ID LINE dong. Biar gampang... koordinasi soal robot. Eh, soal OSIS maksudnya."
Sugawara tersenyum miring. Dia mengeluarkan ponselnya. Casing ponselnya ternyata bergambar robot tempur, kontras banget sama seragam rapinya.
"Boleh."
Ting.
[Sugawara Kenji] menambahkan Anda sebagai teman.
"Sampai ketemu besok di markas, Agen Sato," kata Sugawara, melangkah masuk ke kereta.
"Sampai jumpa, Wakil."
Pintu kereta tertutup. Ren melihat Sugawara berdiri di dalam, membetulkan kacamatanya, lalu melambaikan tangan kaku padanya.
Ren melambaikan tangan balik.
Saat kereta itu melaju pergi, Ren melihat ponselnya. Sebuah pesan masuk dari Sugawara.
[Sugawara Kenji]: [Stiker Robot Hormat]
[Sugawara Kenji]: Btw\, besok bawa obat sakit perut ya. Saya punya firasat bekal buatan Ketua besok bakal lebih 'ajaib' dari hari ini.
Ren tertawa lepas di stasiun yang sepi.
Dia punya sekutu. Dia punya teman cowok yang bisa diandalkan.
Perang melawan takdir, dan perang melawan masakan Marika yang kadang aneh, rasanya jadi sedikit lebih ringan sekarang.