Menikah dengan seseorang yang tumbuh bersama kita sejak kecil—yang rasanya sudah seperti saudara kandung sendiri—namun harus terpaksa menikah dengannya. Itulah yang kualami.
Namaku Alif Afnan Alfaris, seorang arsitek.
Sedangkan dia, Anna Maida, adalah adik sepupuku sendiri. Sepupu, kata ayahku, sudah sah untuk dinikahi—alasannya demi mendekatkan kembali hubungan darah keluarga. Namun sungguh, tak pernah sedikit pun terlintas di benakku untuk menikah dengannya.
Hubungan kami lebih mirip Tom and Jerry versi nyata. Setiap bertemu, pasti ribut—hal-hal kecil saja sebenarnya. Dia selalu menolak memanggilku Abang, tidak seperti sepupu-sepupu yang lain. Alasannya sederhana: usia kami hanya terpaut satu hari.
Anna adalah gadis cerdas yang menyukai hidup sederhana, meski ayahnya meninggalkan warisan yang cukup banyak untuknya. Ia keras kepala, setia, penyayang… dan menurutku, terlalu bodoh. Bayangkan saja, ia mau dijodohkan dengan pria yang sama sekali tidak ia kenal, di usia yang masih sanga
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ann,,,,,,, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
perintah paman
Keesokan paginya semuanya terlihat normal—setidaknya bagi semua orang kecuali aku.
Aku bangun agak kesiangan. Setelah salat Subuh, aku tertidur lagi tanpa sadar, mungkin karena semalam kurang tidur, Kalau saja Ayyan tidak datang membangunkanku, mungkin sampai sekarang aku masih meringkuk di bawah selimut. Baju koko pun belum sempat kuganti.
“Om Alif, bangun,” suara Ayyan terdengar dari sisi ranjang. Tangannya menarik ujung selimutku pelan.
“Sarapan sudah siap. Om ditunggu yang lain. Om lupa ya, mau ngantar Ayyan sama Abang ke sekolah.”
Aku mengerjap, lalu menghela napas panjang.
“Iya… iya,” gumamku sambil duduk. “Om bangun.”
Ayyan tersenyum puas, lalu berlari keluar kamar.
Aku menatap kosong ke dinding beberapa detik. Kepalaku masih penuh—kata-kata paman semalam, wajah Anna yang terlalu tenang, dan perasaan yang sejak tadi malam tak mau reda.
tenang,lif. semuanya akan baik saja, kataku dalam hati.
Semua orang bisa berpura-pura normal. Aku juga bisa… seharusnya.
Aku bangkit, merapikan tempat tidur seadanya, lalu mengganti baju.dengan pakaian santai hanya baju kaos oblong dan celana training, Saat melangkah keluar kamar, aroma nasi goreng dan telur ceplok langsung menyergap. syukurlah si Anna kelihatannya sudah kembali normal, mungkin.
Aku duduk, lalu refleks menatap dua kursi kosong di meja makan.
“An, paman mana?” tanyaku sambil mengernyit. “Bukannya pagi ini harusnya ada paman, sama mace? Tadi Subuh masih salat bareng.”
“Keluar, Lif,” jawab Anna santai sambil menggeser piring berisi telur ceplok ke arahku.
“Katanya mau ketemu teman katanya.”
“Oh…” jawabku singkat.
Aku mulai makan. Perutku memang sudah keroncongan—semalam aku makan seadanya. Ironis saja rasanya.
Anna yang habis cerai,
aku yang malah galau.
Aku mengunyah pelan sambil menunduk. Entah kenapa, pagi ini rasanya lebih berat dari kemarin. Mungkin karena semalam terlalu banyak yang disadari, dan pagi ini aku dipaksa kembali ke rutinitas—seolah tidak ada apa-apa.
Padahal di kepalaku, semuanya sudah berubah.
Aku menyelesaikan sarapan dalam diam. Anna juga tidak banyak bicara. Sesekali ia menyuapi Ayyan, memastikan tas sekolah Bian tidak tertinggal, seperti pagi-pagi lain sebelum hidupnya pecah.
Terlalu rapi. Terlalu tenang.
Justru itu yang membuatku gelisah.
Kami berangkat mengantar anak-anak. Di mobil, Ayyan cerewet seperti biasa, Bian fokus ke jendela dengan ekspresi seriusnya yang khas. Anna menyetir dengan satu tangan, satu lagi sesekali merapikan spion. Tidak ada percakapan penting. Tidak ada tatapan berarti.
Seolah kemarin tidak pernah ada.
Setelah anak-anak turun di sekolah, Anna langsung memutar balik setir. “Langsung pulang,” katanya singkat.
Aku mengangguk.
Di rumah, mobil paman sudah terparkir rapi di depan. Jantungku langsung mengencang. Dari kaca depan, aku bisa melihat paman duduk di ruang tamu bersama mace. Keduanya tampak tenang—terlalu tenang untuk ukuran orang dewasa yang sepertinya menyimpan suatu perkara berat untuk di sampaikan.
Kami masuk setelah mengucap salam.
“Duduk,” ucap paman singkat.
Nada suaranya biasa tapi datar. Justru itu yang membuat suasana semakin berat.
Kami duduk berhadapan. Anna tegak, tangannya bertaut di pangkuan. Aku di sampingnya, punggungku terasa kaku.
Beberapa detik berlalu tanpa suara.
Lalu paman bicara, tanpa basa-basi.
“Anna,” katanya pelan tapi tegas, “kamu sudah mengambil keputusan besar tanpa memberi tahu paman. Paman menghormati itu.”
Anna mengangkat wajahnya.
“Tapi hari ini,” lanjut paman, “paman juga ingin mengambil keputusan untukmu.”
Aku bisa merasakan tubuh Anna menegang.
“Tidak ada penolakan,” kata paman lagi. “Tidak ada bantahan. Paman tidak sedang bertanya,ini perintah.”
Anna menarik napas. “Paman—”
“Dengar dulu,” potong paman, suaranya tetap datar.
“Kamu boleh bilang kamu sudah dewasa. Kamu boleh bilang kamu bisa jaga diri sendiri. Paman percaya itu.”
Tatapan paman bergeser, lalu berhenti pada Anna lagi.
“Tapi anak-anakmu, Anna… mereka butuh figur ayah, menurut paman Abang Alif, bisa memberikan itu.”
Ruangan terasa semakin sempit.
Anna langsung berdiri. “Paman,” ucapnya tegas, “Alif itu abang saya. Dia itu saudaraku. Apa maksud paman ngomong seperti ini?”
Ia menoleh ke arahku sekilas, lalu kembali menatap paman. “Dan satu lagi—Anna belum kepikiran menjalani rumah tangga lagi. Anna baru sidang kemarin, Paman.”
Paman ikut berdiri.
“Justru karena itu,” katanya.
“Karena kamu sedang rapuh, walaupun kamu tidak mau mengakuinya.”
Anna menggeleng keras. “Anna tidak rapuh.”
“Kamu kuat,” paman mengangguk. “Tapi kuat bukan berarti tidak butuh dijaga.”
Mace bangkit, berdiri di samping paman, namun tetap diam.
“Sebagai orang tua,” lanjut paman, “paman tidak bisa hanya menerima penolakanmu lalu berpaling. Tugas paman bukan membuatmu nyaman, tapi memastikan kamu dan anak-anakmu aman.”
Anna menoleh ke arahku.
Tatapan itu… bukan marah.
Lebih seperti mencari pijakan, dan matanya penuh permohonan.
Seolah berkata: Lif, tolong.
Dadaku mengencang.
Aku berdiri, refleks, sebelum sempat berpikir panjang.
“Anna,” suaraku serak, “aku—”
Aku berhenti sejenak, menarik napas. “aku setuju sama paman.”
Sunyi.
Anna menatapku seolah aku baru saja menamparnya.
Dan di detik itu, aku tahu— pagi yang “tenang” itu akhirnya benar-benar berakhir.
semangat thor