“Sekarang, angkat kakimu dari rumah ini! Bawa juga bayi perempuanmu yang tidak berguna itu!”
Diusir dari rumah suaminya, terlunta-lunta di tengah malam yang dingin, membuat Sulastri berakhir di rumah Petter Van Beek, Tuan Londo yang terkenal kejam.
Namun, keberadaanya di rumah Petter menimbulkan fitnah di kalangan penduduk desa. Ia di cap sebagai gundik.
Mampukah Sulastri menepis segala tuduhan penduduk desa, dan mengungkap siapa gundik sebenarnya? Berhasilkah dia menjadi tengkulak dan membalas dendam pada mantan suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sulastri 35
Purnama menggantung di langit berkabut, semilir angin membawa wangi manis permen gula berbaur dengan aroma minyak tanah lampu-lampu petromaks yang tergantung tinggi.
Anak-anak berlarian, pedagang sahut menyahut menawarkan dagangan, suara gamelan berdenting riuh dari panggung-panggung hiburan. Pasar malam bak kota kecil yang berteduh di bawah pilar bambu dan terbal biru.
Di pintu masuk Petter menggandeng Sulastri dengan lembut, sembari menggendong Anne yang terus saja mengayun-ayunkan kakinya—kesenangan.
“Kau ingin melihat-lihat terlebih dahulu atau mau beli sesuatu?” tanya Petter sedikit kencang.
“Jalan-jalan dulu saja,” sahut Sulastri
Pasar malam memang alternatif para penduduk desa untuk mencari hiburan, terlebih akhir pekan atau saat mereka baru menerima upah mingguan. Mereka akan berbaur, sekedar jalan-jalan atau mencari kebutuhan rumah tangga. Penawaran harga yang terkadang jauh labih murah membuat sebagian penduduk memilih pergi ke pasar malam tinimbang pasar tradisional yang ada di kota.
Petter masih menggandeng Sulastri memasuki area itu lebih dalam, pandangannya tertuju pada pedagang mainan yang terselip di antara tukang arum manis dan panggung hiburan.
“Kita kesana,” ujar Petter, tangan kekarnya dengan erat menarik Sulastri melewati orang-orang yang sedikit berdesakan.
“Mainan Anne sudah ada banyak, untuk apa membeli lagi?” Protes Sulastri saat Petter memilih beberapa mainan boneka kayu dan balon gas warna-warni.
“Anne belum punya yang berbentuk kelinci,” sahut Petter. Ia kemudian memilih beberapa balon yang diikat dengan benang kasur.
Sontak, bayi gempal itu berteriak kegirangan, tangannya berusaha meraih balon yang meliuk-liuk tertiup angin malam.
Petter dengan sengaja mendekatkan satu balon berwarna biru. Tangan Anne yang kecil meremat—gemas, mulutnya menggigit-gigit seolah ingin memakannya bulat-bulat.
“Noni cilik suka?” Petter dengan tatapan hangat melihat Anne yang masih asik bermain digendongannya. “Kasihkan ibu dulu, nanti meletus kamu terkej—”
DORRR
Belum sempat Petter menyelesaikan ucapannya, balon yang di remat kuat oleh Anne meletus, hingga bayi mungil itu terjingkat—kaget.
Mereka pun terkekeh bersamaan.
“Ibu bantu pegangkan, ya? Atau biar saya saja yang mengendong Anne, Meneer?” tanya Sulastri sedikit tak enak hati.
“Tidak usah, biar digendonganku saja, lebih aman,” jawab Petter, kemudian menyerahkan beberapa mainan dan balon yang baru saja dibelinya. “Belikan arum manis sekalian, dia pasti suka,” lanjutnya sembari menyerahkan dompet kecil berbahan kain suede.
Sulastri bergeser sedikit, lalu membeli dua bungkus arum manis berwarna merah muda.
“Pengantin baru, ya, Nyonya,” celetuk pedagang arum manis.
Pedagang kacang rebus yang berada di bawahnya turut menyahut dengan suara pelan. “Hust, gundik.”
“Opo?” Pedagang yang sedikit tak mendengar, meyakinkan dengan gumaman. “Gundik.”
“Seng lagi rame megat bojone di desa Punjer,” imbuh pedagang kacang rebus.
“Oh, iki? Pantes ae geger, pancen uayuuu, jek koyo gadis.”
“Halah, ayu tapi geleman ngge opo.” Ketus pedagang kacang, seolah Sulastri patung yang tak bisa mendengarkan.
Sulastri tersenyum tipis, namun sorot matanya bergetar—getir. Ia kemudian lekas membayar tak lupa juga membeli semangkuk kacang rebus yang di bungkus kain koran berbentuk kerucut.
“Sudah?” sambut Petter saat Sulastri kembali kedekatnya. Tatapannya seketika menajam saat melihat raut yang berbeda di wajah wanita ayu-nya.
“Kenapa? Ada yang tidak enak di hati?” tanyanya seolah tau kegelisahan yang dirasakan wanitanya.
Sulastri bergeming, tatapannya menyapu sekitar.
“Hei,” tegur Petter, membuat Sulastri terjingkat kecil. “Ada apa?” ulangnya dengan nada khawatir.
“Tidak ada apa-apa.” Sulastri mayakinkan dengan senyum kecil di sudut bibir ranumnya. “Kita kesebelah sana sebentar, tadi Mbok Sum berpesan untuk membeli taplak meja yang baru.”
Petter mengikuti Sulastri yang berjalan di depannya, langkahnya melebar—mengimbangi, lalu kembali meraih tangan Sulastri untuk digandengnya.
“Jangan dengarkan kata orang, kita kemari untuk bersenang-senang,” bisik Petter.
Sulastri mengangguk kecil, tatapanya kembali bercahaya. Wanita itu masuk ke lapak yang menjual taplak dengan berbagai corak. Dari bunga-bunga, hewan hingga pemandangan kota. Taplak bercorak bunga lili menjadi pilihannya.
“Petter!” panggil seorang laki-laki dengan nada berat, laki-laki dengan wajah asli Eropa itu kemudian menghampiri Petter yang sedang menunggu Sulastri. “Ternyata benar kau, aku pikir tadi salah orang?”
Petter menoleh ke arah orang yang memanggilnya, wajahnya seketika sumringah. “Hei, apa kabarmu, Jongens(panggilan untuk laki-laki)? Lama sekali kita tidak bertemu.”
“Aku baik, kau sendiri … lama tidak bertemu, kau sudah menggendong bayi saja.”
Petter terkekeh kecil, sembari mengayun Anne yang sedikit gelisah. “Yah … seperti yang kau lihat.”
William—nama laki-laki itu. Ia menyipitkan matanya, alisnya bertaut dalam, saat melihat Sulastri keluar dari krumunan di lapak taplak dan langsung menghampiri Petter. “Ini istrimu?”
Petter meraih pinggang Sulastri, memeluk dengan posesif. “Ini istriku, Sulastri.”
William terpana seketika, matanya tak berkedip, mulutnya terbuka—melongo. "Wau, pantas saja kau tak mengabari, istrimu cantik luar biasa.”
Tawa kecil mengembang dari bibir Petter, sudut matanya melirik Sulastri sesaat. “Apa sih yang tidak terlihat cantik di matamu, kambing di bedaki juga kau bilang cantik.”
“Ck, kalau ini surga, Petter! Di mana kau menemukannya?”
“Rahasia.”
William menepuk punggung Petter pelan. “Ayolah jangan pelit, kau dapat barang seindah ini dari mana?”
Petter kembali tertawa, lalu menatap lekat wajah Sulastri yang sedikit merona. “Ini hanya ada satu di dunia.”
Seketika, William tergelak, wajahnya sedikit menunduk. “Kau …,” ucapnya di sela gelak tawa. “Kau harus membawanya dipertemuan nanti.”
“Akan aku usahakan,” sahut Petter, Ia kembali menimang Anne yang semakin gelisah. “Baiklah, aku pergi dulu, putriku sepertinya haus dan mengantuk.”
William mengangguk pelan seraya melambaikan tangan.
Saat sudah jauh dari pandangan William, Sulastri melepaskan pelukan Petter, wanita itu melirik tajam, seringainya sinis—sedikit menyeramkan.
“Apa maksudnya menyebut saya istri dan Anne anak Anda, membuat orang semakin salah paham saja.”
Petter tersenyum kecil, tangannya kembali meraih pergelangan tangan Lastri untuk tetap bergandengan.
“William itu gila wanita, kalau aku tidak bilang kau istriku, dia bisa mengejarmu sampai dapat.”
Sulastri berdecak ketus. “Ck, memangnya kenapa kalau dikejar-kejar pria, bukankah itu artinya dia menyukai kita.”
Petter menghembuskan napas kasar, giginya bergemeretak pelan, dengan satu tarikan dia kembali membawa Sulastri kepelukannya.
Sulastri meronta kecil, namun semakin meronta semakin erat pula Petter memeluknya, hingga mereka sampai ke tempat mobil mereka terparkir.
Petter lekas membukakan pintu mobil, mendorong Lastri untuk masuk lalu meletakkan Anne ke pangkuannya.
Anne yang sepertinya benar-benar haus dan mengantuk, menduselkan wajahnya ke dada ibunya. Sulastri melirik Petter yang sudah duduk di kursi kemudi. Ia menggigit bibir bawah, suaranya sedikit tertahan—ragu.
“M-mener, Anne sepertinya ingin menyusu. Saya—”
Petter yang paham menengok sekilas, lalu mengusap pipi halus sang bayi. “Aku tunggu di luar, kalau sudah selesai panggil saja.”
Sulastri mengangguk pelan, lalu mulai menyusui Anne.
Petter meneguk ludahnya kasar saat tidak sengaja netranya menangkap Sulastri yang sedang mengeluarkan air susu untuk Anne. Laki-laki itu menyurai rambutnya, tersenyum lirih, lalu memilih menyulut rokoknya di belakang mobil.
Kurang dari lima belas menit Anne selesai menyusu, bayi mungil itu sudah tertidur lelap, dengan bibir yang masih sedikit mengompil.
“Anne sudah tertidur, Meneer,” panggil Sulastri pelan.
Petter pun segera mematikan rokoknya, lalu kembali ke kursi kemudi. “Kita jalan pulang sekarang.”
Sulastri mengangguk pelan.
Mobil sedan dengan mesin 6-silinder tua, menggeram pelan menyusuri jalanan desa yang sudah sepi. Petter sengaja mengendarainya dengan pelan, bukan hanya takut mengganggu warga desa, tapi juga dua orang yang tertidur pulas di sampingnya.
Laki-laki itu menatap lekat wajah Sulastri begitu mereka sampai pelataran rumah, ia menyuruh Mbok Sum kembali masuk saat wanita sepuh itu menyambut dengan langkah terhuyung.
Senyum hangat terulas dari wajar Petter, tatapannya tertuju pada bibir ranum wanita itu, perlahan Petter mendekatkan wajahnya, lalu mengecup singkat bibir Sulastri.
Sontak wanita itu terbagun dari tidurnya, matanya membeliak, wajahnya memerah. “Menn—”
“Sebentar saja,” lirih Petter.
Sulastri mengerjap pelan, belaian tangan Petter di pipinya, juga tatapan yang mengikat membuatnya terbuai, pasrah dan memilih memejamkan kembali matanya.
Cup
Bibir keduanya pun kembali bertemu dalam ciuman yang hangat.
Bersambung.
Kiwww ... Kiwwww 😘
Penulis izin besok pagi tidak up, mungkin malam atau sore.
Mau menenangkan hati sebentar. Ehm ...😘