"Apa yang kau lakukan di sini?"
"Aku hanya ingin bersamamu malam ini."
🌊🌊🌊
Dia dibuang karena darahnya dianggap noda.
Serafina Romano, putri bangsawan yang kehilangan segalanya setelah rahasia masa lalunya terungkap.
Dikirim ke desa pesisir Mareluna, ia hanya ditemani Elio—pengawal muda yang setia menjaganya.
Hingga hadir Rafael De Luca, pelaut yang keras kepala namun menyimpan kelembutan di balik tatapannya.
Di antara laut, rahasia, dan cinta yang melukai, Serafina belajar bahwa tidak semua luka harus disembunyikan.
Serafina’s Obsession—kisah tentang cinta, rahasia, dan keberanian untuk melawan takdir.
Latar : kota fiksi bernama Mareluna. Desa para nelayan yang indah di Italia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marsshella, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
08. Keras dan Berotot
Sejak kejadian ciuman di gazebo padang rumput, suatu kemesraan baru telah mekar antara Serafina dan Rafael. Pertemuan mereka di pelabuhan menjadi hal yang rutin. Entah dengan sengaja Serafina mengantarkan makanan buatan Nonna Livia untuk keluarga De Luca, atau sekadar ingin bermain dengan Mila. Elio selalu setia menemani, meski raut wajahnya semakin keruh.
Hingga suatu sore, di depan rumah Livia, Serafina akhirnya berbicara blak-blakan. “Elio, aku rasa aku tidak membutuhkan pengawal lagi untuk urusan-urusanku sehari-hari. Kau bisa melakukan hal yang kau suka. Jangan selalu dekat-dekat denganku.”
Elio tertegun. “Apa maksudmu, Signorina?”
“Rafael dan aku ... kami sedang berkencan. Aku aman bersamanya. Kau tidak perlu khawatir,” ujar Serafina, berusaha meyakinkan.
Namun kata-kata itu justru seperti pisau yang menikam hati Elio. “Jadi, itu alasannya? Aku digantikan oleh seorang pelaut?”
“Itu bukan soal menggantikan, Elio. Ini tentang ... kebebasanku.”
Elio menatapnya lama, lalu menunduk. “Va bene, Signorina. Jika itu yang kau inginkan.”
Tapi dalam diam, sebuah rencana yang kelam mulai mengkristal di pikirannya.
“Kau pikir pelaut itu bisa menjagamu? Mari kita lihat bagaimana cintamu bertahan ketika kau diingatkan betapa berisikonya hidupnya, betapa laut yang memberinya makan juga bisa menelannya suatu saat nanti.”
Serafina, yang sedang mabuk cinta, sama sekali tidak menyadari badai yang mulai mengumpul di hati sang pengawal setianya.
...🌊🌊🌊...
Keesokan paginya, sekitar pukul delapan, Serafina sudah duduk di kursi depan rumah keluarga De Luca. Rosa dengan ramah menyajikan es buah segar untuknya. Serafina menikmati minuman itu sambil matanya kerap melirik ke area pelelangan ikan, tempat Rafael, dengan tanktop-nya yang basah oleh keringat dan percikan air laut, sedang sibuk bernegosiasi dengan para pembeli dari kota. Suaranya yang berat dan penuh wibawa terdengar jelas, mengatur harga dengan percaya diri.
Mila, yang tak pernah lepas dari sisi Sera, mendekat dan berbisik, “Kaka Sera cocok sekali dengan Kaka Rafa.”
Serafina tersenyum lebar, memeluk gadis kecil itu erat dan mengecup pipinya yang gembul berulang kali. Mila terkikik girang, balas mengusap pipi Serafina yang lembut dan empuk.
“Pipimu sangat halus, Kak Sera.”
“Nanti kalau Mila sudah besar, Kak Sera kasih krim agar selalu lembut,” janji Serafina.
Rafael, yang telah menyelesaikan urusannya, berjalan mendekati rumah sambil membawa jala dan beberapa ekor ikan segar. Serafina mendekat saat pria itu mulai menata ikan-ikan tersebut ke dalam box berisi es batu. Dia dan Mila lalu jongkok di sebelahnya, mengamati dengan penuh minat.
“Rafa, aku penasaran. Kalau setiap hari kau menaruh ikan di box es, apa di rumahmu tidak penuh dengan box? Apakah kalian makan ikan setiap hari?” tanya Serafina.
“Rumah kami juga berfungsi sebagai tempat penjualan kecil. Banyak warga yang langsung membeli ikan segar di sini, jadi jarang ada yang sampai busuk.” Dia menunjuk ke sebuah ruang kecil di samping rumah. “Selain itu, Mamma sering mengolah ikan menjadi masakan siap santap yang juga laris. Ikan ini,” katanya sambil memegang seekor ikan berwarna perak, “enak sekali dipanggang. Kau mau coba?”
“Enak?” tanya Serafina ragu-ragu.
Mila yang menjawab dengan semangat. “Sangat enak! Makan sama nasi.”
Serafina yang terbiasa dengan risotto, pasta, dan ravioli, tersenyum. “Nasi? Aku jarang makan nasi.”
“Kaka Giada suka beli makanan online, pernah coba pesan risotto,” celetuk Mila.
Tiba-tiba, Rosa memanggil dari dapur. “Makanan sudah siap! Giada, tolong antarkan ini untuk Papà di padang rumput.”
Giada yang sedang berdandan rapi segera protes. “Tapi Mamma, aku janji mau jalan dengan Marco.”
Seolah-olah dipanggil, Marco muncul di ambang pintu. “Tidak apa-apa, Giada. Kami bisa mampir ke padang rumput dulu.”
Dengan patuh, Giada mengambil rantang susun itu dan berjalan keluar. Marco mengambil alih rantang itu dari tangannya, lalu dengan lembut mengusap kepala Giada.
“Jangan kasar dengan orangtuamu. Aku tidak suka,” bisik Marco.
Giada hanya menunduk, malu.
“Dan dengarkan,” lanjut Marco, suaranya lembut, “kau akan selalu ada di hatiku, Bella. Jadi kau tidak perlu terlalu fokus padaku saja. Lihatlah sekelilingmu juga, hargai mereka yang menyayangimu.”
*Cantik
Giada mengangguk membuat Marco mengecup pelipisnya.
Di meja makan, suasana terasa hangat. Mila dengan bangga menunjukkan caranya makan nasi dicampur dengan ikan goreng. Serafina mencoba menirunya, dan ternyata rasanya cukup enak.
“Kau suka, Sera?” tanya Rosa.
Serafina mengangguk, sambil berusaha menyamakan caranya makan agar tidak terlalu anggun dan mencolok. Dia ingat, jika rahasianya terbongkar, keluarga Romano tidak akan segan memindahkannya lagi.
Rafael bergabung dan duduk di seberang Serafina. Dia makan dengan lahapnya, dan Serafina merasa senang hanya dengan melihatnya. Rosa sibuk membantu Mila yang wajahnya sudah belepotan nasi.
Setelah makan, Rafael mencuci piring dan gelas yang kotor. Serafina mendekat, menawarkan bantuan.
“Biarkan aku membantu.”
Rafael menggeleng sambil tersenyum. “Tidak perlu. Jelas-jelas kau tidak pernah menyentuh pekerjaan ini. Keluargamu di kota pasti memiliki cameriera, bukan?”
Serafina diam, wajahnya sedikit berubah. “Tolong, jangan bahas soal keluargaku di kota,” pintanya pelan.
Rafael mengerti. Dia segera mengubah topik dengan cara yang manis—dia mendekatkan wajahnya kepada Sera. Serafina mengerti isyarat itu dan membalasnya dengan mengecup bibir Rafael dengan lembut.
“Sebentar lagi selesai,” bisik Rafael, mencuci piring terakhir dengan cepat. “Nanti aku ajak kau jalan-jalan keliling desa. Sudah pernah kemana saja?”
“Hanya di sekitar rumah Nonna Livia, melukis, ditemani Elio,” jawab Sera.
“Bagaimana kalau kita ajak kakakmu, Elio, juga? Daripada dia sendirian di rumah,” usul Rafael, tulus.
Serafina langsung menggeleng. “Tidak! Ini ... ini kencan. Masa aku ajak Kak Elio?”
Rafael tertawa. Dia selesai mencuci, mengelap tangannya dengan serbet, dan mengambil kemeja kotak-kotaknya yang tergantung. Saat dia akan memakainya, tiba-tiba tangan Serafina terulur, menyentuh perutnya yang keras dan berotot di balik tanktop putihnya.
Rafael terkejut. “Ada apa?”
“Kenapa bisa sekkeras dan seberotot ini?” tanya Serafina penasaran, jari-jarinya menelusuri definisi otot perutnya.
“Karena ikan-ikan itu berat-berat,” jawabnya sambil tertawa.
“Lebih berat dari aku?” goda Sera.
Rafael mengangguk pasti, membuat Serafina tertawa terkekeh. Tiba-tiba, Rafael melingkarkan tangannya yang kuat pada pinggang Serafina yang ramping dan mengangkatnya dengan mudah lalu memutar tubuh. Kaki Serafina terangkat, dan dia berteriak kecil, tangan menepuk-nepuk bahu Rafael karena takut jatuh.
Dalam posisi itu, wajah mereka sangat dekat. Tanpa bisa menahan diri, mereka saling bertukar kecupan singkat yang manis. Rafael perlahan menurunkan Sera, tapi sebelum kakinya menyentuh lantai, dia menahan bibir Serafina lagi. Kali ini, ciumannya lebih dalam, lebih lapar, penuh dengan kerinduan yang tertahan.
“OOOOHHHH!!! LO BACIA! LO BACIA DAVVERO!”
*Dia nyium! Beneran nyium!
“FINALLY, RAFA! JANGAN LAMA-LAMA!”
“LAKUKAN YANG LEBIH DARI SEKEDAR CIUMAN, RAF!”
Sorak-sorai dan teriakan heboh dari kawan-kawan Rafael yang masih berkumpul di pelabuhan tiba-tiba memecah kesunyian. Mereka mengintip melalui jendela dan menyaksikan adegan mesra itu.
Serafina dan Rafael langsung berpisah, wajah keduanya memerah. Dengan panik, mereka saling memandang dan tanpa bicara, bergegas kabur melalui pintu belakang rumah, meninggalkan sorak-sorai dan tepuk tangan para nelayan yang tertawa terbahak-bahak.
Petualangan jalan-jalan mereka di desa dimulai dengan sebuah pelarian yang memalukan, namun penuh dengan tawa dan kebahagiaan yang tak terbendung.
...🌊🌊🌊...
Di depan pintu kamar mandi, Elio akhirnya menunduk. “Maaf, Signorina. Aku ... aku tidak bermaksud membuatmu menangis.”