"Apakah kamu sudah menikah?" tanya Wira, teman satu kantor Binar. Seketika pertanyaan itu membuatnya terdiam beberapa saat. Di sana ada suaminya, Tama. Tama hanya terdiam sambil menikmati minumannya.
"Suamiku sudah meninggal," jawab Binar dengan santainya. Seketika Tama menatap lurus ke arah Binar. Tidak menyangka jika wanita itu akan mengatakan hal demikian, tapi tidak ada protes darinya. Dia tetap tenang meskipun dinyatakan meninggal oleh Binar, yang masih berstatus istrinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Me Akikaze, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Haruskah Pergi?
"Aku hamil mas" ujar Helena dengan senyumnya, tangan kanannya mengelus perutnya yang masih rata. Tidak seperti dugaannya, Tama justru nampak datar dengan apa yang barusan dia dengar. Tidak bahagia seperti dirinya saat mengetahui jika dirinya hamil. Sejak kemarin Helena meminta untuk bertemu, katanya ada hal penting yang harus dia sampaikan. Kini dia mendengarnya, ternyata inilah hal penting yang dia maksud.
Malam yang tidak dia duga sebelumnya. Tama mengusap wajahnya kasar.
"Kamu tidak suka?" tanya Helena saat melihat Tama dengan ekspresi yang tidak sesuai ekspektasinya.
"B-bukan....hanya saja aku belum siap," jawabnya, perasaannya campur aduk, di satu sisi dia mencintai Helena. Di sisi lain bagaimana dengan Binar, istrinya. Bagaimana dia akan mengatakannya nanti, belum juga dengan Mamanya. Papanya meninggal karena syok dengan kebangkrutan perusahaan yang dirintis, jika kali ini Mamanya sampai syok lagi, maka dia akan menjadi pihak yang sangat berdosa.
"Mas, aku tidak minta kesiapan kamu, tapi kamu harus bertanggung jawab" Helena tersenyum penuh kemenangan. Dengan ini, Tama akan segera melepaskan Binar. Dia mencintai laki-laki yang ada di hadapannya.
Tama memejamkan mata, menghempas tubuhnya ke sofa empuk di rumah Helena. Ya, sebuah rumah mewah yang dimiliki wanita itu. Dia wanita kaya, cantik, dan memiliki apapun, kecuali cinta. Dia jatuh cinta pada Tama saat berada di kantor Aksa, laki-laki itu begitu menarik perhatiannya. Bahkan saat tahu Aksa sudah punya istri, dia tidak mundur.
"Kenapa kamu tidak mengikuti kesepakatan kita?" Tama protes, kesepakatan yang dimaksud adalah pengaman. Helena selalu mengatakan jika dia akan menggunakan kontrasepsi dan tidak mau ambil resiko. Karena dia juga belum siap untuk hamil, naum nampaknya Helena ingkar.
"Karena aku memang ingin kamu, Mas Tama" Helena duduk di samping Tama, lalu menyandarkan kepalanya di bahu Tama sebelah kiri. "Aku ingin dia hadir mas," kembali Helena mengelus perutnya. Tama masih terdiam, mematung. "Kalau kamu tidak mau bilang sendiri, aku akan bilang ke istrimu secara langsung, bukankah dia semakin dekat dengan pandanganku sekarang?" kalimat demi kalimat seolah memberikan ancaman.
"Beri aku waktu," Tama buru-buru memotong, tidak mau Helena semakin memprovokasinya.
"Bayi ini tidak bisa aku sembunyikan lebih lama lagi Mas, dia akan menuntut kamu sebagai ayahnya. Aku tidak butuh kamu bekerja, keluarlah dan hidup bersamaku, kamu tidak akan kekurangan"
Helena memang punya kuasa, dan ini dia gunakan untuk menguasai Tama sekarang.
***
Timbul bayangan-bayangan masa lalu dengan Binar, bagaimana dia memperjuangkan Binar, bagimana Binar sedang tersenyum dan tertawa saat bersamanya. Kembali, Tama mengusap wajahnya. Apa yang akan terjadi jika Binar mengetahui hal ini? dia ingin berpisah dengan Binar, tapi bukan seperti ini caranya. Apa yang akan dikatakan orang-orang nanti.
"Melamun saja seharian" Wira, teman sedivisi dengan Tama itu menarik kursi dan duduk di dekat Tama. "Perasaan bentar lagi naik gaji, masih aja melamun" Wira menambahkan. Sebuah cangkir kopi dia bawa dengan keadaan masih mengeluarkan asap. Aromanya memenuhi ruangan yang terasa sesak bagi Tama.
Tama melirik ke arah temannya itu, lalu kembali ke layar komputernya. Pikirannya sedang tidak ada di sini, pendengarannya masih terngiang di mana Helena mengatakan jika usia kehamilannya sudah satu bulan.
"Oh ya, karyawan bos kita yang baru, sudah lihat?" Wira melihat ke arah Tama, lalu dia menyesap kopinya.
Tama melihat ke arah Wira dengan penuh tanda tanya, "Ada apa?," pertanyaan yang sebenarnya tidak ingin dia tanggapi sama sekali, tapi terdengar menggelitik.
"Cakep juga," Wira tertawa, temannya itu memang belum menikah, dan banyak orang yang membullynya dengan sebutan jejaka lapuk, padahal usianya baru juga 35. "Masa sih Pak Aksa nggak tertarik sama karyawan secantik dia? tapi memang sih kalau dibanding sama Bu Helena, rekan Pak Aksa masih bohay Bu Helena" Wira mengangguk-angguk sambil tangannya memperagakan liukan tubuh.
Tama masih seksama mendengar ocehan Wira tanpa ingin menimpali, Wira sedang membicarakan dua wanita yang ada hubungannya dengan hidupnya. Dan kini dia sedang pusing karenanya.
"Tapi nggak mungkin juga sih Pak Aksa menyukai dia, karena kan gosipnya pak Aksa belok" tangan Wira bergerak seperti ular. Tama hanya diam saja melihat reaksi Tama yang sedang menggosipkan atasan mereka. Urusan bosnya tidak ada hubungannya sama sekali dengannya, entah mau belok entah mau lurus dia tidak peduli.
"Kerja sana, aku udah pusing malah denger ocehan nggak penting kamu"
"Eh kenapa tuh? cerita sini, apa yang buat kamu pusing? nanti kita makan-makan bareng, mau?" Wira menatap ke arah Tama, wajahnya memang kelihatan kusut. Tapi Wira yang ndablek tidak peduli, dia semakin suka mengusili. Tegukan akhir kopi sudah tandas.
"Aku sibuk," jawab Tama.
"Sibuk apaan sih? perasaan proyek kita sudah beres dan kamu dapat apresiasi dari pak bos,".
Ya, kinerja Tama memang bagus, Aksa menyukainya dan benar adanya hingga hendak dipromosikan. Banyak hal yang dia tutupi dari lainnya, kisah hidupnya, kehidupan pribadinya. Bahkan tidak ada yang mengetahui secara terbuka dia memiliki istri. Tidak ada cincin pernikahan yang melingkar di sana.
Sekantor dengan Binar pun seolah seperti asing, benar-benar asing. Binar berada di ruang yang berdekatan dan mungkin saja sering seruangan dengan Aksa. Tapi dia tidak peduli, bahkan sekedar ngobrol pun tidak dilakukan, pernah bertemu di kantin saat makan siang pun mereka menjadi pribadi yang benar-benar asing.
Awalnya terasa aneh bagi Binar, namun kini menjadi sesuatu yang biasa. Tama sudah bukan Tama yang dulu, mereka serumah hanya sekedar status. Tidur juga sudah memilih untuk berada di kamar yang berbeda. Tinggal menunggu waktu.
Binar seolah sudah menyiapkan semuanya. Pernah beberapa waktu lalu Binar mengatakan untuk tinggal di kontrakan saja, mengingat jika rumah tersebut adalah murni milik Tama sebelum mereka menikah. Binar sangat memahami hal tersebut. Dari rangkaian peristiwa demi peristiwa yang bagi Binar sangat menyakitkan itu, dia memiliki tekad untuk berpisah dengan Tama.
"Silahkan jika kamu ingin mengakhirinya mas, aku kira hubungan kita sudah tidak sehat, aku lelah tapi aku tidak tahu harus bagaimana," ujar Binar pasrah. "Akupun tidak akan menuntut apapun dari kamu, aku hanya ingin bahagia. Begitu juga kamu mas, mungkin wanita itu yang akan membuat kamu bahagia, bukan aku."
Tama menatap Bina lekat, wanita itu sudah mengetahui semuanya. Rasa berdosa menyelimutinya, terlebih lagi dia tersiksa karena Binar nampak biasa saja, mungkin lukanya sudah mengering hingga membuatnya tak ingin apapun.
"Bi...."
"Terima kasih sudah pernah memperjuangkan aku,"
Kalimat demi kalimat dari Binar semakin membuatnya terluka tapi tidak bisa menahan Binar untuk tidak pergi.