Rania Vale selalu percaya cinta bisa menembus perbedaan. Sampai suaminya sendiri menjadikannya bahan hinaan keluarga.
Setelah menikah satu tahun dan belum memiliki anak, tiba-tiba ia dianggap cacat.
Tak layak, dan tak pantas.
Suaminya Garren berselingkuh secara terang-terangan menghancurkan batas terakhir dalam dirinya.
Suatu malam, setelah dipermalukan di depan banyak orang, Rania melarikan diri ke hutan— berdiri di tepi jurang, memohon agar hidup berhenti menyakitinya.
Tetapi langit punya rencana lain.
Sebuah kilat membelah bumi, membuka celah berisi cincin giok emas yang hilang dari dunia para Archeon lima abad lalu. Saat Rania menyentuhnya, cincin itu memilihnya—mengikatkan nasibnya pada makhluk cahaya bernama Arven Han, putra mahkota dari dunia lain.
Arven datang untuk menjaga keseimbangan bumi dan mengambil artefak itu. Namun yang tak pernah ia duga: ia justru terikat pada perempuan manusia yang paling rapuh…
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GazBiya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bangkai mobil putih
Namun rasa itu langsung tercoreng ketika matanya kembali menangkap sosok Sierra—wanita benalu itu—yang terus menempel pada Garren seperti tahi lalat yang mustahil disingkirkan.
Garren bergerak cepat— keluar dari mobil, wajahnya panik. Ia berlari, menuju bangkai mobil putih milik Rania, membuka pintu mobil— lalu ke sisi lainnya.
“Sayang!” teriaknya, suaranya pecah.
Ia memeriksa setiap sudut, membuka pintu, menunduk, meraba ke bawah kursi—seolah Rania bisa saja terselip entah di mana.
Namun kosong. Tidak ada Rania. Tidak ada jejaknya sama sekali. Garren pun menangis sampai bahunya berguncang hebat.
“Sabuk pengamannya masih terikat, Bos,” ucap salah satu anak buahnya lirih, memegang sabuk yang penuh lumpur itu.
Lutut Garren ambruk ke tanah tepi sungai.
“Raniaaaaa!”
Teriakannya memecah udara sore itu. Ia menggaruk tanah berlumpur hingga jemarinya hitam penuh lumpur, seolah rasa sakitnya bisa ia alihkan ke tanah.
Sierra berjalan mendekatinya. Begitu melihat Garren menangis seperti itu, wajahnya langsung berubah masam. Ia melipat kedua tangannya di d4da.
Wanita itu masih menguasai hatinya? geramnya dalam hati, cemburu meledak tanpa bisa dibendung.
“Kalian semua cepat menyelam!” bentak Garren, suaranya pecah dan parau. “Temukan mayatnya, atau apa pun tentangnya! Jangan berhenti sampai kalian menemukannya!”
Tim penyelam berhamburan, satu per satu menenggelamkan diri ke sungai yang deras itu.
Di balik semak lebat, Rania ikut menangis. Bahunya berguncang, tangan menutup mulut agar suaranya tidak terdengar. Semua kenangan bersama Garren muncul bertubi-tubi—indah, hangat, menyakitkan.
Mereka berpacaran dua tahun, lalu menikah karena saling mencintai. Garren dulu tipe pria romantis yang selalu tahu cara membuatnya tersenyum. Mereka bahkan sering bercinta di tempat-tempat random—di dapur, di sofa, di mana saja, hanya karena Garren tidak pernah bisa menahan dirinya untuk mencumbu istrinya.
Rania menutup wajah. Ia masih bisa mengingat jelas saat Garren mencumbunya dari belakang saat mereka membuat kue bersama, dan adonannya gagal total karena mereka terlalu tenggelam dalam satu sama lain.
Ingatan itu membuat Rania tertawa kecil sambil menangis—hatinya seperti diperas habis-habisan.
Tak lama Sierra mendekati Garren dan memeluk bahunya dari belakang. “Kita tunggu di mobil saja, ya?” ucapnya lembut, pura-pura menenangkan. “Mereka pasti akan mengabari jika menemukan petunjuk.”
Garren menurut—mengangguk tanpa berpikir lagi. Ia bangkit, mengikuti Sierra menuju mobil.
Rania menatap pemandangan itu, dan rasa kecewa menusuknya. Selama ini ia selalu percaya bahwa hanya dirinya yang bisa membuat Garren menurut.
Ternyata… wanita itu juga bisa.
Garren berjalan gontai menuju mobilnya, dipapah Sierra yang tubuhnya jauh lebih mungil.
Dari kejauhan, Rania memandangi keduanya tanpa berkedip.
Siapa pun yang melihat pasti akan mengira mereka suami istri—begitu alami, begitu bebas, begitu… tak ada batasnya. Tak ada yang akan menebak bahwa perempuan itu hanyalah selingkuhan.
Begitu pintu mobil tertutup, Rania mengintip dari balik semak. Ia bisa melihat dengan jelas Sierra yang dengan lembut menghapus sisa air mata di wajah Garren. Setiap sentuhannya manja, penuh kepemilikan, seolah Garren adalah miliknya sejak awal.
Lalu—tanpa ragu—Sierra mencondongkan tubuh dan menempelkan bibirnya pada bibir Garren.
Rania membeku—Matanya membesar, napasnya tercekat, d4danya seperti diremas dari dalam.
Dan yang paling menusuk adalah… Garren tidak menolak. Ia membiarkan dirinya diperlakukan sesuka hati. Bahkan terlihat seperti menikmati kedekatan itu, seolah perempuan di depannya adalah tempatnya pulang.
Jadi begini… setelah semua? Rania menelan pahit.
Rania pikir kegilaan mereka hanya sampai di sana. Namun, ternyata tidak… Sierra meraih wajah Garren, menahannya dengan kedua tangan, lalu kembali melumat bib1rnya, lembut penuh gairah.
Mata Garren terpejam, dad4nya naik turun dengan cepat. Siera tersenyum puas, lalu menunduk— membenamkan kepalanya di bawah sana, namun kali ini lebih dekat, lebih intim, terlalu berani untuk keadaan yang masih kacau dan penuh kepanikan.
Pemandangan ini begitu menusuk jantungnya.
Rania memej4mkan mata—memeras air mata yang tumpah dengan deras. Dan saat ia membukan mata kembali, nampak Seira sedang membuk4 tig4 k4ncing kemej4nya yang paling atas, lalu bergeser duduk di atas p4ngkuan Garren.
Garren menatapnya dengan tatapan khas—seperti orang yang sedang mabuk, lalu merebah menikmati semua gerakan Sierra.
Mobil itu bergoyang pelan—terlihat jelas dari luar. Kaca jendelanya terbuka setengah, membuat semua gerakan di dalam mobil samar-samar terlihat, cukup untuk menusuk hati siapa pun yang menyaksikannya.
Sierra duduk terlalu dekat, terlalu nyaman, tubuhnya menempel pada Garren tanpa rasa malu, sementara Garren membiarkan semua itu. Wajahnya pasrah… atau mungkin menikmati. Entahlah. Rania tak sanggup lagi membedakannya.
Rania menelan ludah, matanya panas. Ia memejam, air mata meleleh deras—d4danya sesak seolah bongkahan batu besar meindihnya—semakin perih.
Tiba-tiba, sebuah tangan besar menutup kedua matanya dari belakang. Terasa hangat. Kokoh.
Dan bukan milik Garren.
Dalam hitungan detik, tubuhnya terasa lemas, seolah seluruh kekuatan hilang bersamaan dengan retaknya hatinya.
*
Terima kasih sudah mengikuti kisah ini.
Jangan lupa kasih bintang terbaik dan ulasan manis ya. Setiap komentarmu adalah seperti percikan api yang bikin semangatku menyala untuk terus menulis.
Ayo, tulis pendapatmu, teorimu, atau bagian favoritmu_aku baca semuanya, lho!
aaah dasar kuntilanak
toh kamu yaa masih ngladeni si jalànģ itu