NovelToon NovelToon
Hujan Di Istana Akira

Hujan Di Istana Akira

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Fantasi / Romansa Fantasi / Harem / Romansa / Dokter
Popularitas:387
Nilai: 5
Nama Author: latifa_ yadie

Seorang dokter muda bernama Mika dari dunia modern terseret ke masa lalu — ke sebuah kerajaan Jepang misterius abad ke-14 yang tak tercatat sejarah. Ia diselamatkan oleh Pangeran Akira, pewaris takhta yang berhati beku akibat masa lalu kelam.
Kehadiran Mika membawa perubahan besar: membuka luka lama, membangkitkan cinta yang terlarang, dan membongkar rahasia tentang asal-usul kerajaan dan perjalanan waktu itu sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon latifa_ yadie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Gerbang Langit

Malam itu, langit terasa lebih hidup dari biasanya.

Bintang-bintang berkelap lembut, tapi tidak seperti biasanya — mereka bergerak.

Bukan berkelip, tapi berpindah, membentuk pola spiral di atas laut, perlahan-lahan berkumpul di satu titik di cakrawala.

Aki berdiri di sampingku, menatap langit lekat-lekat.

“Sensei,” katanya pelan, “bintang-bintangnya… mereka menggambar sesuatu.”

Aku memicingkan mata.

Ya, mereka membentuk simbol yang sudah terlalu akrab — spiral tiga lapis.

Tanda dari Gerbang Langit.

Seolah alam semesta sendiri membuka jalan.

“Aku pikir kita butuh waktu untuk menemuinya,” gumamku.

Aki menatapku, matanya berkilau oleh cahaya bintang. “Mungkin Gerbang Langit tidak menunggu waktu. Mungkin waktu yang menunggu kita.”

Aku menatap wajahnya lama, lalu tersenyum kecil. “Kau mulai bicara seperti Akira.”

Dia terkekeh. “Karena aku anaknya, kan?”

Aku menatap laut yang tenang dan menambahkan pelan, “Dan juga jantungnya.”

Kami mulai bersiap menjelang tengah malam.

Tidak ada alat, tidak ada kapal.

Kami tahu gerbang itu bukan tempat fisik — ia hanya bisa dilalui oleh mereka yang memiliki “ingatan penuh waktu.”

Dan karena Aki dan aku telah membuka tiga gerbang sebelumnya, tubuh kami sudah terhubung dengan denyut waktu itu sendiri.

Aki menggenggam tanganku erat.

“Kalau kita masuk ke sana,” katanya ragu, “apa kita bisa kembali?”

Aku menatap laut yang mulai bersinar lembut di bawah bintang.

“Kalau waktu mengizinkan, ya. Tapi kalau tidak… setidaknya kita akan tahu jawabannya.”

Dia mengangguk. “Aku siap.”

Kami melangkah ke laut.

Airnya memantulkan langit — jadi ketika kami berjalan, rasanya seperti melangkah di antara bintang.

Ombak berubah menjadi lingkaran cahaya, berputar lembut mengelilingi kami.

“Gerbang Langit terbuka hanya untuk mereka yang siap melepaskan segalanya.”

Suara itu datang dari dalam kepala, bukan dari luar.

Lembut, tapi dalam.

Mungkin suara waktu sendiri.

Aku menatap Aki. “Kau dengar itu?”

Dia mengangguk. “Iya. Tapi aku nggak takut.”

“Kenapa?”

Dia tersenyum. “Karena selama aku bersamamu, aku tahu waktu nggak akan menelan kita. Dia akan mendengarkan.”

Aku terdiam.

Kata-kata itu terlalu sederhana, tapi menembus sampai ke dadaku.

Lalu laut di depan kami mulai pecah — bukan karena badai, tapi karena langit turun.

Cahaya biru dan emas turun seperti tirai, berputar membentuk pusaran vertikal raksasa.

Langit dan laut bersatu, membentuk gerbang yang berputar perlahan seperti pusaran air di udara.

“Gerbang Langit…” bisikku kagum.

Aki menggenggam tanganku lebih erat. “Kau siap, Sensei?”

Aku mengangguk. “Selalu.”

Kami melangkah ke dalam pusaran itu.

Rasanya seperti melintasi air dan udara sekaligus.

Tubuhku ringan, tapi dadaku berat — bukan karena takut, tapi karena setiap langkah ke dalam gerbang ini menarik semua kenangan keluar dari pikiranku.

Setiap langkah, aku melihat potongan masa lalu: hari ketika aku pertama kali bertemu Akira di tengah hujan, malam ketika kami tertawa di bawah lentera, dan detik terakhir sebelum dia menghilang.

Kenangan itu berputar cepat di sekelilingku, membentuk jalur cahaya.

Aki berjalan di sampingku, tapi tubuhnya mulai bersinar.

“Sensei,” katanya pelan, “aku bisa merasakan semuanya. Semua waktu. Semua rasa sakit… semua cinta.”

Aku ingin memeluknya, tapi tubuh kami kini sudah bukan daging dan tulang.

Kami hanyalah bentuk cahaya, dua jiwa berjalan di antara jalur waktu.

“Selamat datang di antara detik terakhir.”

Suara itu lagi. Tapi kali ini bukan dari laut, melainkan dari langit sendiri.

“Di sinilah waktu dilahirkan — dari air mata pertama dan harapan terakhir.”

Cahaya di depan kami memuncak, membentuk ruang luas seperti kuil tanpa dinding.

Langit berputar di atas kepala, tapi tidak ada tanah, tidak ada langit.

Hanya arus waktu yang melayang seperti pita cahaya.

Di tengahnya berdiri sebuah bola besar dari cahaya murni, berdenyut perlahan seperti jantung.

“Jadi ini…” Aki berbisik. “…asal waktu.”

Aku mengangguk. “Jantung pertama.”

Kami melangkah mendekat, tapi sebelum sampai, sosok muncul dari balik cahaya.

Siluet tinggi, dengan rambut panjang mengalir seperti air, dan mata berwarna emas murni.

“Aku adalah Eterna,” katanya. “Awal dari Waktu. Aku tidak hidup, tapi aku mengingat.”

Aku menelan ludah. “Eterna… jadi kau yang menciptakan semua ini?”

Dia tersenyum samar. “Tidak. Manusia lah yang menciptakan waktu, saat pertama kali mereka takut kehilangan.”

Aku terdiam.

Aki menatapnya. “Jadi… waktu lahir dari ketakutan?”

Eterna mengangguk pelan. “Ya. Tapi kemudian, ia tumbuh menjadi cinta, lalu pengorbanan, lalu penyesalan. Itulah mengapa kalian ada di sini — karena waktu ingin tahu apa itu arti bertahan.”

Aku dan Aki saling berpandangan.

“Kalau begitu,” kataku pelan, “apa yang kau inginkan dari kami?”

Eterna melangkah maju, dan di telapak tangannya muncul bola kecil berwarna perak — seolah versi mini dari jantung waktu di belakangnya.

“Aku ingin kalian membawanya ke dunia kalian. Jadikan ini inti baru. Tapi ingat, setiap kelahiran waktu selalu membutuhkan satu akhir.”

Aku mengerutkan dahi. “Satu akhir?”

Dia menatapku dalam-dalam. “Seseorang harus menjadi jangkar. Tanpa jangkar, waktu akan hanyut lagi.”

Aki langsung menatapku. “Sensei, jangan bilang—”

Aku menatapnya lembut. “Aki, mungkin sudah waktuku untuk—”

“Tidak!” serunya cepat, air mata langsung jatuh. “Kau udah kehilangan Akira, sekarang mau hilang juga? Aku nggak mau!”

Eterna menatapnya dengan mata lembut. “Jangkar tidak hilang, anak waktu. Ia hanya menjadi dasar di mana dunia baru berdiri.”

Aki menatapku putus asa. “Tapi tetap saja, itu artinya aku sendirian lagi…”

Aku menggenggam tangannya, menatap matanya dalam.

“Kau nggak sendirian, Aki. Karena setiap kali waktu berdetak, itu karena ada seseorang yang pernah memilih untuk berhenti.

Dan kali ini… biar aku yang berhenti, supaya kau terus bisa berjalan.”

Dia menangis, menunduk. “Sensei…”

Aku tersenyum lembut, lalu menatap Eterna. “Kalau aku jadi jangkar, apa yang terjadi padaku?”

“Kau akan menjadi bagian dari arus waktu. Tidak hidup, tidak mati. Tapi setiap hujan, setiap detik, akan membawa bagian darimu.”

Aku tertawa kecil. “Sepertinya Akira butuh teman di sisi lain sana.”

Aki menatapku marah, lalu memelukku erat. “Kau selalu begitu. Selalu memilih pergi demi orang lain.”

Aku memeluknya balik, menepuk rambutnya. “Dan kau selalu jadi alasan aku tetap kembali.”

Cahaya di sekitar kami mulai bergetar.

Jantung waktu besar itu berdetak semakin cepat, menandakan dunia di luar mulai kehilangan stabilitasnya.

Eterna menatap kami. “Pilih sekarang. Dunia di atas sedang menunggu detak pertama dari waktu baru.”

Aku menatap Aki, lalu tersenyum lembut.

“Kali ini, kau yang menekan jantungnya.”

Dia menggeleng keras. “Aku nggak mau tanpamu!”

Aku menatapnya tegas. “Aki. Lihat aku.”

Dia menatapku, matanya penuh air mata.

“Aku nggak akan pergi ke mana-mana. Aku cuma berubah bentuk. Setiap kali kau lihat hujan, kau bakal dengar aku di antara butirnya. Janji.”

Aki menutup mata, menggenggam bola cahaya perak itu erat.

Tangannya bergetar, tapi ia akhirnya menekan permukaannya.

Cahaya besar meledak.

Dunia bergetar keras, dan arus waktu yang sempat membeku mulai mengalir deras.

Aku merasakan tubuhku ringan, lalu perlahan menghilang.

Suara Eterna terdengar lembut di antara pusaran cahaya.

“Jangkar telah dipilih. Dunia baru lahir.”

Sebelum segalanya putih, aku sempat melihat Aki — berdiri di tengah arus waktu, tubuhnya bersinar seperti bintang kecil, memanggilku dengan suara bergetar.

“Sensei… aku janji, aku nggak akan biarkan waktu berhenti lagi!”

Aku tersenyum, dan air mata mengalir terakhir kali sebelum tubuhku larut dalam cahaya.

“Bagus,” bisikku. “Karena waktu butuh seseorang yang mau percaya, bukan yang mau berkorban.”

Ketika kesadaranku memudar, aku melihat sekilas dunia baru terbentuk:

Langit yang bergerak lembut, laut berkilau, dan Aki berdiri sendirian, tapi kuat.

Dan di antara awan, aku melihat siluet Akira tersenyum, menatapku, lalu membuka tangannya.

Aku melangkah ke arah cahaya itu, dan untuk pertama kalinya… aku tidak takut pada akhir.

1
Luke fon Fabre
Waw, nggak bisa berhenti baca!
Aixaming
Nggak kebayang akhirnya. 🤔
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!