Maheswara merasakan sesuatu yang berdiri di bagian bawah tubuhnya ketika bersentuhan dengan wanita berhijab itu. Setelah delapan tahun dia tidak merasakan sensasi kelaki-laki-annya itu bangun. Maheswara pun mencari tahu sosok wanita berhijab pemilik senyum meneduhkan itu. Dan kenyataan yang Maheswara temukan ternyata di luar dugaannya. Membongkar sebuah masa lalu yang kalem. Menyembuhkan sekaligus membangkitkan luka baru yang lebih menganga.
Sebuah sajadah akan menjadi saksi pergulatan batin seorang dengan masa lalu kelam, melawan suara-suara dari kepalanya sendiri, melawan penghakiman sesama, dan memenangkan pertandingan batin itu dengan mendengar suara merdu dari Bali sajadahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Caeli20, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4: Kaca yang Pecah
Hana menekan kantung teh itu ke arah matanya berulang-ulang. Setelah yakin kantung matanya sudah berkurang, Hana melanjutkan dandanan nya. Ringan dan tipis saja. Sebagai seorang ustadzah dia tidak boleh berdandan berlebihan.
Hana mematut dirinya di kaca besar di kamar kostnya. Merapikan hijabnya dan memastikan rok bagian belakang sudah rapi. Sekilas dia melihat bayangan ibunya dalam dirinya. Wajahnya, postur tubuhnya, bahkan senyumannya semua seperti fotokopian ibunya. Hana tersenyum sinis ke kaca. Bahkan senyuman sinis itu pun sangat mirip dengan senyum ibunya. Dia membenci apa yang dia lihat di kaca itu. Sangat membenci. Bahkan sekarang dia membenci kaca itu.
**
"Fi, please bantu aku. Sudah berapa hari ini Acha gak mau bicara. Aku bahkan semalam ke rumahnya, dia tidak mau keluar," Khatan duduk di samping Rafi di pinggir lapangan basket sekolah.
"Yaelah, bantu apaan, Tan? Yang pacarnya kan kamu. Bisa-bisanya minta bantuan ke sini?," Rafi menunjuk dirinya.
"Kamu tanya sama Acha apa yang terjadi di ruang Musholla hari itu. Apa yang sudah dilakukan ustadzah padanya," wajah Khatan seperti putus asa.
"Tuh, Ustadzah baru dari kantin. Temui sana. Tanya langsung, jangan pake perantara," Rafi menunjuk ke arah seberang. Khatan menengok ke arah yang Rafi tunjukkan.
Khatan menatap Hana yang sementara berjalan dengan postur tinggi tegapnya. Khatan mengumpulkan keberaniannya untuk bertanya. Dengan langkah pasti, Khatan berlari kecil ke arah Hana.
"Ustadzah," seru Khatan.
Hana berhenti dan menengok ke arah suara,
"Ya?,"
Khatan mendekat dan berdiri di depan Hana. Dia memasukan tangan kanannya di saku celana untuk mengusir kegugupannya.
"Hmm, saya bisa bertanya?," Khatan memulainya.
"Silakan," Hana tersenyum menatap Khatan.
Khatan menelan ludahnya. Sepersekian detik menentukan kata yang tepat.
Hana menunggu. Khatan masih mengumpulkan kekuatan mendorong kata-kata yang sudah di tenggorokannya untuk keluar di mulutnya.
Hana mengangkat kening menanti pertanyaan Khatan,
"Ehhmm," Khatan menarik napas, "Saya mau tanya kapan lagi Ustadzah akan masuk kelas kami?,"
Eh, kok itu sih yang keluar di mulut. (Khatan).
Hana tersenyum lebar,
"Jadwal saya masih seperti biasa. Seminggu sekali di kelas kalian sama seperti di kelas lain,"
Khatan mengangguk hampa,
"Oh ya, baiklah. Terima kasih, Ustadzah,"
"Sama-sama," Hana berlalu dari hadapan Khatan. Meninggalkan Khatan yang masih berdiri kebingungan.
"Gimana, bro?," Rafi muncul dari belakang menepuk pundak Khatan.
"Eh," Khatan terkejut, "Ehm, aman," jawabnya.
"Nah, gitu dong, berani. Itu baru temanku. Pemberani," Rafi mengangkat lengannya meniru seorang petinju.
"Hehehe, iya..hehe," Khatan tertawa kaku.
**
Hana tertawa kecil melihat tingkah Khatan.
Entah apa yang diinginkan anak itu. (Hana).
"Ustadzah," terdengar suara memanggil.
Siapa lagi ini. (Hana).
Hana memalingkan wajahnya. Fadlan sedang berjalan ke arahnya sambil membawa bungkusan kecil.
"Ibu saya membuat kue serabi, ini saya bawakan juga untuk Ustadzah, silakan dicicip," Fadlan menyerahkan bungkusan plastik yang di dalamnya ada Tupperware.
Hana mengambil bungkusan itu,
"Wah, Ustadz repot-repot membawanya,"
"Tidak repot. Hanya kue saja kok," Hana dan Fadlan bertukar senyum. Sementara di seberang ada tatapan yang menyala tanda ketidaksukaan melihat adegan itu,
Enak benar menerima serabi juga. (Zahra).
ini bukan soal serabi tapi soal rasa di hati.
**
Dokter Farid melepaskan jas dokternya. Dia merasa cukup untuk hari ini. Saatnya menutup tempat praktiknya. Sebagai dokter umum yang membuka praktik, aktivitas dr. Farid full seharian berhadapan dengan pasien, baik itu di rumah sakit atau pun di tempat praktik. Terkadang dia merasa lelah di usianya yang sudah 57 tahun itu, tapi pasien-pasiennya kadung hanya mau diperiksa dr. Farid.
Matanya tidak sengaja melihat foto keluarganya yang dipajang di meja kerjanya. Lima wajah bahagia di sana. Dia sendiri, istrinya dan ketiga anaknya.
Dokter Farid mengambil bingkai foto itu. Sekilas tersenyum. Tapi sejurus kemudian ekspresi sedih mulai mendominasi wajahnya.
Hp nya berdering. Dokter Farid meletakan bingkai foto untuk menjawab panggilan telpon nya,
"Halo,"
"Halo, ayah, jam berapa pulang?," tanya si penelpon dengan suara ceria khas anak-anak.
"Sebentar lagi ayah pulang. Ini sudah siap-siap," jawab dr. Farid dengan nada lembut.
"Ayra tadi ada coba buat cilok untuk ayah dibantu Bibi,"
"Iya, sampai di rumah ayah langsung makan dengan lahap cilok buatan putri tercantik ayah,"
"Oke ayah. Cepat tiba ya," tanpa kata-kata lain, panggilan itu berakhir.
Dokter Farid menggelengkan kepala melihat kelakuan Ayra.
Hari ini cilok. Ayra, Ayra, mana ada bapak-bapak hampir 60 tahun yang masih suka makan cilok. Mudah-mudahan lebih baik dari puding rasa semen kemarin. Jangan sampai hari ini ada cilok rasa pasir. (dr. Farid).
**
Hana mengumpulkan pecahan kaca dengan menaruhnya di kantung plastik sampah, meletakan nya di dalam di dus kemudian diberi lakban dan keterangan barang pecah di luar dus lalu membawanya ke tong sampah besar di luar.
"Sampah anorganik ya Ustadzah?," tanya penjaga kost yang sedang menyapu daun-daun di halaman, Pak Yom.
"Iya, Pak Yom. Tadi pagi kaca besar ku jatuh. Mungkin dudukannya sudah tidak kuat,"
"Oohh yang bunyi keras benda pecah itu dari kamarnya Ustadzah? Aku sempat mencari arah suara. Tapi karena ku lihat Ustadzah langsung ke sekolah jadi aku pikir bukan dari kamar Ustadzah," tanda Pak Yom.
"Sengaja belum dibersihkan tadi pagi. Takutnya terlambat ke sekolah,"
Hana meletakan dus itu ke tempat sampah anorganik. Dan mengakhiri percakapan dengan tersenyum.
psikologi mix religi💪