"Hai, aku gadis matematika, begitu Sora memanggilku."
Apa perkenalan diriku sudah bagus? Kata Klara, bicara seperti itu akan menarik perhatian.
Yah, selama kalian di sini, aku akan temani waktu membaca kalian dengan menceritakan kehidupanku yang ... yang sepertinya menarik.
Tentang bagaimana duniaku yang tak biasa - yang isinya beragam macam manusia dengan berbagai kelebihan tak masuk akal.
Tentang bagaimana keadaan sekolahku yang dramatis bagai dalam seri drama remaja.
Oh, jangan salah mengira, ini bukan sekedar cerita klise percintaan murid SMA!
Siapa juga yang akan menyangka kekuatan mulia milik laki-laki yang aku temui untuk kedua kalinya, yang mana ternyata orang itu merusak kesan pertamaku saat bertemu dengannya dulu, akan berujung mengancam pendidikan dan masa depanku? Lebih dari itu, mengancam nyawa!
Pokoknya, ini jauh dari yang kalian bayangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon jvvasawa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 27 | AKHIR EKSEKUSI PEMBUKA
Harap bijaksana dalam membaca, karya ini hanya lah fiksi belaka, sebagai hiburan, dan tidak untuk ditiru. Cukup ambil pesan yang baik, lalu tinggalkan mudaratnya. Mohon maaf atas segala kekurangan, kecacatan, dan ketidaknyamanan, dan terima kasih yang sebanyak-banyaknya atas segala dukungan; like, vote, comment, share, dan sebagainya, Jwasawa sangat menghargainya! 💛
Selamat menikmati, para jiwa!
…
Kerutan samar perlahan terukir di dahiku kala kudapati permukaan kertas yang tak bertinta; kosong. Bersih tanpa ada satu angka pun di sana. Tak ada pula huruf-huruf yang menodainya.
Penglihatanku memang masih kabur, tapi kurasa tak akan membuat tulisan dalam kertas ini serta-merta menghilang tanpa jejak – dari pandanganku.
“Aku tak lihat apa pun.”
“Apa?”
“Kertas ini kosong.”
“Hah? Kau bercanda, ya?”
Panik, Zofan kalang-kabut memutar balik bagian kertas yang tadinya menghadap kepadaku, menjadi menghadap ke arah dirinya sendiri, dan pelupuk matanya menegang seketika.
“Tunggu, tadi tidak seperti ini! Bahkan kemarin pun ada tulisannya!”
Zofan tak kunjung berhenti membolak-balikkan kertas kedua itu, dan meski dia melakukan hal sedemikian rupa, tetap tak ada perubahan yang terjadi.
Aksinya tak membuahkan hasil yang diharapkan. Tak ada sesuatu yang tiba-tiba, secara ajaib, muncul di atas permukaan kertas.
“Kau bawa yang asli, tidak? Coba cek kertas yang asli,” saranku, memberi solusi yang lebih masuk akal daripada perbuatannya barusan.
“Astaga, aku tak membawanya. Aku menyalin supaya tak sampai kehilangan. Tapi, sungguh, tadi aku lihat ada tulisan di kertas ini. Kenapa bisa tiba-tiba menghilang? Ke mana perginya?”
Tak cukup dengan perbuatan konyol tadi, sekarang Zofan memiringkan dan mengibas-kibas kertasnya.
Apa yang dia harapkan dengan melakukan semua itu? Apa dikiranya angka-angka dan huruf-huruf akan tumpah – berjatuhan secara tiba-tiba dari kertas, lalu berceceran di atas meja?
Apa dia kehilangan akal sehatnya akibat terlalu berlarut mengurusi gulungan-gulungan kertas ini? Atau efek samping terlalu banyak belajar bahasa asing?
Kepalaku menggeleng penuh iba, kasihan. Oh, sungguh kasihan.
“Kurasa tulisannya kabur, takut untuk melihatmu. Oh, atau mereka malu dilihat olehku.” Sekarang aku pun ikut terpapar virus kebodohan, bisa dipastikan Zofan yang menularkannya padaku.
Bercanda, aku memang hanya ingin menggodanya.
“Ck, diam lah, Nat! Candaanmu tidak lucu!”
Haha, aku berhasil membuatnya mengamuk. Bagaimana rasanya diusili, Zofan? Asal kau tahu, itu yang selalu kau lakukan padaku. Kesal, kan, kau?
“Sudah lah, mungkin kau perlu tidur dulu, supaya otakmu bisa kembali bekerja dengan benar. Mana tahu besok tulisan-tulisan itu sudah pulang kembali ke kertasnya, kan?”
∞
Sedikit demi sedikit kukemas barang-barangku. Hanya kotak pensil, pena, dan selotip yang tadi sempat kukeluarkan untuk membungkam Zofan, sih. “Bagaimana? Kau setuju untuk istirahat dulu? Besok bisa kau lanjutkan lagi misimu ini.”
Bagai tak punya pilihan lain, dengan berat hati Zofan menyetujui saran dariku.
“Misi kita.” Sempat-sempatnya dia menimpali, seolah memperbaiki ucapanku.
“Hei, tidak! Jangan bawa-bawa aku. Ini misimu, tak ada urusannya denganku!”
Berpura-pura tak mendengar bantahanku, Zofan berdiri dengan pandangan yang terlihat kosong, sepertinya pikiran bocah ini masih mengembara, mencari-cari ke mana perginya tulisan-tulisan penghuni gulungan kertas kedua.
Kalau memang benar sebelumnya ada tulisan di kertas itu, maka aku pun turut bertanya-tanya. Bagaimana bisa menghilang? Apa pemicu yang membuatnya tiba-tiba menghilang?
Lekas kugendong tasku dari depan, lalu berdiri dari dudukku. Kakiku berjalan menghampiri meja Cika dan Bian yang masih asik bercengkrama. Sekarang aku penasaran, bagaimana bisa mereka begitu betah berduaan, padahal mereka duduk berjam-jam di sini hanya demi menemaniku dan Zofan.
Apa mereka tidak merasa bosan? Aku bersyukur, sih, Cika bertahan di sini dan tidak meninggalkanku.
Ah, tapi kalau aku berada di posisi mereka, mungkin aku juga akan betah berduaan dengan Sora.
Kepalaku secara tak sadar mengangguk atas pemikiranku sendiri, dan itu mengundang tatapan aneh dari Zofan yang sudah berdiri di sampingku. “Apa yang kau anggukkan?”
Terperanjat mendengar suara Zofan, sontak kepalaku menggeleng kuat, “bukan apa-apa,” dan itu membuat bahu Zofan terangkat acuh tak acuh. Kemudian, dia melenggang pergi begitu saja menuju meja kasir. Sudah pasti hendak membayar pesanan kami.
“Nata, kalian sudah selesai?” Cika ikut bersuara setelah sebelumnya hanya memperhatikan pertikaian kecil antara aku dan Zofan.
“Iya, sudah selesai untuk hari ini. Aku sudah harus sampai di rumah setengah jam lagi. Ayo kita pulang, Cik!” Tanganku menarik pelan lengan Cika agar menyusulku berdiri, lalu kugandeng dia. Sekalian memanas-manasi Bian.
Berbeda dari sebelumnya, kali ini Bian tak melarangku. Dia hanya memandangiku dengan tatapan nanar, mungkin masih merenungi ucapanku sebelumnya.
“Hei, kalian! Ayo! Mau menginap di sini?” Zofan kembali menghampiri kami, dia juga menyodorkan plastik pesananku tadi. Bagus, bagus, dia tak mengomentari pesananku yang cukup banyak ini. Berapa, sih, total harganya? Murah, ya?
Sambil menerima plastik yang dia sodorkan, aku menyampaikan ucapan terima kasih sekenanya. Setidaknya aku harus berterima kasih karena sudah ditraktir, walau traktirannya ini kuanggap sebagai balas budi darinya atas bantuanku.
“Aku antar Natarin dulu. Kalian mau sekalian bersama kami, atau pulang terpisah?” tanya Zofan pada Cika dan Bian. Aku tahu Bian akan dengan senang hati memilih pulang terpisah, tapi dia sudah pasti kalah dengan Cika yang berhati malaikat.
“Kita pulang sekalian saja, temani Nata dulu. Boleh, ya, Bian?”
Aku mengulum bibir bawahku, menahan senyum penuh kemenangan menyaksikan Bian yang jelas sekali terpaksa menuruti bujukan Cika, tapi kemudian, wajahku mengkerut geli melihat Cika bergelayut manja pada lengan Bian.
Sebenarnya, Cika tak melakukannya secara berlebihan. Dia menggandeng tangan Bian sebagaimana aku menggandeng Cika tadi, dan pipinya hanya sedikit menempel pada lengan atas Bian, tapi …
Uh, aku tak sanggup melihatnya.
“Bisa, tidak, sebentar saja tak bermesraan di depanku seperti itu? Bosan sekali aku melihat kalian.”
Tidak, bukan aku yang mengatakannya!
“Bercermin lah, Zo. Kau bahkan melakukan yang lebih parah saat dengan Kak Sea.”
“Hush! Diam, kau!” dan Zofan menendang betis Bian. Bian mengacungkan jari tengah pada Zofan sebelum mendahului kami sambil membawa Cika kabur bersamanya.
“Woi, Bian!”
Sekarang malah aku yang ditinggal oleh Zofan yang begitu gigih mengejar Bian dengan langkah lebarnya.
“Ck, ck. Main pergi saja, kalian! Aku ditinggal setelah tak dibutuhkan lagi, hah?” gerutuku dengan suara pelan. Tak seperti mereka berdua, Zofan dan Bian, aku masih ingat tempat untuk tidak mengganggu pengunjung lain. Mereka itu memang tak tahu malu.
Dan kau, Zofan, bersyukur lah mulutku ini tak sembarangan bergosip. Kalau tidak, pasti aku sudah sebarkan pengakuan Bian barusan pada para penggemarmu dan menjadikan mereka cacing kepanasan.
Setelah puas membatin, lekas kubawa ayunan kakiku menyusul keluar kafe.
∞
Sssrh.
Angin yang begitu kencang menerpa wajahku, mengacak rambutku hingga sebagian menutupi wajah. Langit malam ini hampir sepenuhnya ditutupi awan hitam, bahkan bulan hampir tak terlihat. Sepertinya malam ini akan turun hujan.
Sreek.
Saat kakiku sedang berjalan cepat mendekati motor Zofan di parkiran, suara gesekan antar sesuatu menyapa telinga – merampas atensiku.
Dengan tangan yang sedari tadi terangkat berusaha menghalau serangga-serangga kecil dan butiran debu yang hampir masuk ke mata, pandanganku dengan saksama meninjau keadaan sekitar.
Rasanya seperti ada sepasang mata yang memperhatikanku.
“Natarin, bisa lebih cepat, tidak?! Atau kutinggal kau di sini!”
Argh, bocah itu! Selalu mengacau!
“Sabar, mulut remix! Aku sudah berusaha cepat!”
Ancaman Zofan membuatku semakin mempercepat langkahku dan terpaksa mengesampingkan perasaan anehku tadi. Sekarang aku perlu prioritaskan tujuan sampai rumah tepat waktu dulu sebelum memikirkan hal lain.
“Lama sekali, sih? Seperti siput,” cerca Zofan kepadaku. “Kalah cepat dengan matamu yang bergerak-gerak saat selesaikan soal tadi, kau tahu? Sat, set, sat, set! Seperti itu matamu tadi.”
Dia ini kalau bicara selalu, tolong tebalkan dan garis bawahi, SELALU sepanjang rel kereta api! Lemas sekali mulutnya, aku pun sudah bosan mengumpatinya, tapi mau bagaimana lagi? Itu sudah kenyataan mutlak!
“Berisik, berisik! Cepat lah! Banyak sekali omongmu.”
“Kau yang dari tadi begitu lambat! Malah menyalahkan aku.” Zofan menatapku tak terima, lalu melemparkan helmnya padaku tanpa aba-aba.
“Hei—!” pekikku tak ada persiapan.
...
Bersambung