NovelToon NovelToon
Umbral

Umbral

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor
Popularitas:630
Nilai: 5
Nama Author: Rudi Setyawan

Davin menemukan catatan rahasia ayahnya, Dr. Adrian Hermawan, di attic yang merupakan "museum pribadi' Adrian. Dia bukan tak sengaja menemukan buku itu. Namun dia "dituntun" untuk menguak rahasia Umbral.
Pada halaman terakhir, di bagian bawah, ada semacam catatan kaki Adrian. Peringatan keras.
“Aku telah menemukan faktanya. Umbral memang eksis. Tapi dia tetap harus terkurung di dimensinya. Tak boleh diusik oleh siapa pun. Atau kiamat datang lebih awal di muka bumi ini.”
Davin merinding.
Dia tidak tahu bagaimana cara membuka portal Umbral. Ketika entitas nonmanusia itu keluar dari portalnya, bencana pun tak terhindarkan. Umbral menciptakan halusinasi (distorsi persepsi akut) terhadap para korbannya.
Mampukah Adrian dan Davin mengembalikan Umbral ke dimensinya—atau bahkan menghancurkan entitas tersebut?.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rudi Setyawan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 6 — Kolam Renang Angker

SASHA sengaja membawa mobil SUV milik papanya karena kapasitas penumpangnya cukup untuk enam orang dan tangguh di medan berat. Dia mengambil inisiatif itu tanpa diminta. Mobilnya sendiri—atau mobil Rayan—tidak muat untuk menampung mereka. Dan dia merasa tak praktis jika mereka pergi dengan dua mobil.

Rayan melarikan mobil SUV papa Sasha dengan tenang menuju pinggiran kota. Di jok penumpang, Davin sudah asyik dengan laptopnya seolah hanya seorang diri dalam mobil. Di jok tengah, Sasha duduk bersisian dengan Tari. Sementara Naya dan Elisa duduk di jok belakang. Sesekali terdengar percakapan mereka sekedar untuk mengusir kebisuan.

Matahari sore bersinar cerah. Semua tampak wajar dan normal. Sepanjang jalan penuh dengan seliweran kendaraan.

Tak lama kemudian Rayan membelokkan SUV keluar dari jalan utama—mengikuti rute yang diarahkan oleh Google Maps. Tari dan Naya turut memelototi ponsel masing-masing—sekedar untuk memastikan mereka tidak nyasar.

Kolam renang tua itu akhirnya muncul di kejauhan—terpisah cukup jauh dari pemukiman penduduk. Cat biru pucat di dindingnya sudah mengelupas—meninggalkan bercak-bercak abu-abu yang terkesan seperti bekas luka. Di sekitar bangunan tua itu tampak beberapa rumah yang anehnya seperti sengaja dibiarkan terlantar.

Tak ada tanda apa pun di depan pagar kawat berkarat. Pintu pagarnya terbuka lebar seolah mempersilakan siapa saja untuk masuk. Tanpa ragu Rayan meluncur masuk ke halaman yang dipenuhi daun-daun kering. Beberapa helai daun bergeser pelan diterpa angin. Dia berhenti persis di depan teras bangunan yang luas dan kotor.

Mereka turun dari mobil satu per satu. Sesaat mereka celingukan mengawasi suasana di sekeliling gedung. Tak seorang tampak di sekitar mereka. Kolam renang tua itu tampak seperti berdiri di pelosok terpencil.

Rayan mendorong gerbang besi yang sudah berkarat. Bunyi berderit terdengar jelas di tengah keheningan.

“This scary swimming pool welcomes us,” celetuknya setengah bercanda. Dia melangkah masuk duluan.

Davin, Sasha, Tari, Naya dan Elisa mengikutinya tanpa suara. Hanya Elisa yang terlihat agak gelisah. Tiga gadis lainnya tampak tenang. Davin kelihatan serius seperti biasa. Sedangkan Rayan penuh semangat seperti bocah cilik yang dibawa berkunjung ke Jurassic Park.

Mereka memasuki area luas yang dulu pernah ramai dengan suara percikan air dan tawa. Sekarang, semuanya diam membeku.

Tidak ada suara apa pun selain desah angin. Bahkan serangga pun seperti enggan berada di sekitar situ. Rayan menendang batu kecil yang tergeletak di lantai semen. Suara pantulannya terdengar aneh—terlalu nyaring di tengah kelengangan.

Elisa mengedarkan pandangannya. Kecuali kotor, jorok dan bau, dia nyaris tak melihat sesuatu yang menyeramkan di sekitar kolam renang yang terbengkalai itu. Dinding-dindingnya penuh dengan coretan tak karuan dan tak senonoh.

Namun setiap kepala dapat membayangkan bagaimana suasana kolam renang itu pada malam hari.

Ada tiga buah kolam renang terhampar di depan mereka. Kolam paling besar—kolam dewasa—berada di tengah area. Dulu airnya biru jernih. Tapi sekarang hanya berisi genangan air keruh setinggi lutut di bagian terdalam. Lumut merayap di dinding keramik yang pecah di sana-sini.

Di dasar kolam, benda-benda asing yang setengah terbenam tampak samar dari atas—ban pelampung robek, botol plastik, dan sesuatu yang tampak seperti boneka tanpa kepala. Tribun kecil di salah satu sisinya sudah penuh retakan. Catnya mengelupas—meninggalkan pola yang mirip kulit terkelupas. Bau amis samar bercampur lembab memenuhi udara.

Di sebelah barat, kolam anak-anak tampak lebih menyedihkan. Di situ, dulu, penuh dengan keriangan dan jeritan anak-anak. Tapi kini airnya hanya tersisa kubangan hitam pekat di dasar yang retak-retak. Cat berwarna kuning dan hijau di dindingnya memudar—menyisakan warna kusam seperti bekas krayon yang dicuci hujan. Seluncuran kecil berwarna merah tergeletak miring. Salah satu penyangganya patah. Sebuah papan tanda yang masih tergantung miring bertuliskan “Khusus Anak-anak” berderit setiap kali angin bertiup. Di pojoknya, ada setumpuk mainan plastik yang sudah berlumut dan terselip di antara daun-daun kering.

Di sisi timur, kolam lebih dalam terbentang memanjang. Papan loncatnya berdiri miring. Besi penyangganya sudah berkarat dan beberapa baut longgar. Air di dalamnya tidak ada sama sekali. Hanya lantai dasar yang kering penuh pecahan keramik biru dan pecahan kaca. Dari salah satu sudut, bunyi tetesan air terdengar cukup jelas seolah menandai keheningan di sekitarnya.

“Suasananya nggak akan secantik ini lagi kalau hari sudah gelap,” gumam Rayan. “Gue pengen keliling dulu.”

“Gue ke ruang ganti, Bro,” ujar Davin.

“Aku ikut,” cetus Tari tanpa diminta.

Rayan berbalik. “Lo ikut siapa, Babe? Ikut gue? Wow, jangan bilang lo jatuh cinta sama gue.”

“Very funny,” gerutu Tari sebal.

Rayan tertawa sambil melanjutkan langkah ke arah kanan.

“Apa dia nggak ada rasa takut sama sekali?” bisik Elisa pada Naya yang berdiri di sampingnya.

“Nggak mungkin nggak ada,” sahut Naya. “Tapi dia bilang, dia akan takut kalau udah beneran ketemu hantu.”

“Dan selama ini belum pernah?”

“Katanya belum.”

Elisa menghela napas. “Moga-moga dia nggak ketemu apa-apa malam ini. Gue ikut ke sini, soalnya.”

“Tempat ini beneran creepy,” gumam Sasha, sambil menengok ke arah tribun di belakang mereka. “Kita kayak sedang diawasin.”

“Ya, dari tadi gue juga ngerasa nggak enak banget,” timpal Elisa. Dia ikut menoleh ke arah tatapan sahabatnya. “Padahal sekarang hari masih terang.”

Naya sedikit mengangkat bahu. “Yah, tunggu sampai hari gelap. Sebentar lagi.”

Elisa tak menjawab. Matanya terus melirik ke arah pintu keluar. Kakinya sudah siap jika harus lari kapan saja.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!