NovelToon NovelToon
PERNIKAHAN PAKSA DENGAN AYAH SAHABATKU

PERNIKAHAN PAKSA DENGAN AYAH SAHABATKU

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikah Kontrak / Romansa / Dijodohkan Orang Tua / Menjual Anak Perempuan untuk Melunasi Hutang / Tamat
Popularitas:743
Nilai: 5
Nama Author: funghalim88@yahoo.co.id

Amara Kirana tidak pernah menyangka hidupnya hancur seketika saat keluarganya terjerat utang.
Demi menyelamatkan nama baik keluarga, ia dipaksa menikah dengan Bagas Atmadja—pria dingin yang ternyata adalah ayah dari sahabatnya sendiri, Selvia.

Pernikahan itu bukan kebahagiaan, melainkan awal dari mimpi buruk.
Selvia merasa dikhianati, Meylani (istri kedua Bagas) terus mengadu domba, sementara masa lalu kelam Bagas perlahan terbongkar.

Di tengah kebencian dan rahasia yang menghancurkan, muncul Davin Surya, pria dari masa lalu Amara yang kembali menawarkan cinta sekaligus bahaya.
Antara pernikahan paksa, cinta terlarang, dan pengkhianatan sahabat… akankah Amara menemukan jalan keluar atau justru tenggelam semakin dalam?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon funghalim88@yahoo.co.id, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 32 JERAT HUKUM

Pagi itu udara di yayasan lebih dingin dari biasanya. Amara baru saja membuka laptop ketika Arman datang terburu-buru, wajahnya pucat, napasnya tersengal. Ia membawa sebuah map cokelat dengan stempel merah tebal.

“Nyonya… ini baru tiba.”

Amara bangkit, menerima map itu dengan tangan bergetar. Begitu dibuka, matanya membelalak. Surat panggilan resmi dari kejaksaan. Tuduhannya: penyalahgunaan dana yayasan.

Dunia seakan runtuh seketika. “Tidak mungkin…” suaranya tercekat.

Rani yang ikut membaca langsung menepuk meja. “Ini fitnah! Semua laporan sudah diaudit!”

Indra mengepalkan tangan. “Kalau ini sampai jadi berita, donatur bisa lari semua. Mereka benar-benar ingin menghancurkanmu, Mar.”

Amara memeluk map itu ke dadanya, berusaha menahan gemetar. Dalam benaknya hanya satu nama: Meylani.

Sementara itu, di rumah besar Atmadja, Meylani duduk anggun di kursi empuk. Segelas anggur merah berputar di tangannya. Di depannya, seorang pria dengan jas abu-abu menyerahkan dokumen.

“Semua sudah masuk ke kejaksaan. Laporan diajukan atas nama masyarakat, bukan individu. Aman.”

Meylani tersenyum tipis. “Bagus. Kalau gosip bisa dimentahkan, hukum tidak semudah itu. Publik tidak peduli benar atau salah. Yang mereka lihat hanya headline: ‘Yayasan Cahaya Anak diselidiki.’ Dan itu sudah cukup membuat Amara tercoreng.”

Ia menegakkan badan, sorot matanya dingin. “Biarkan dia sibuk di pengadilan. Semakin lama ia tenggelam di kasus, semakin cepat yayasan itu runtuh.”

Sore harinya, Amara duduk di ruang kerja yayasan. Map laporan berserakan di meja, matanya merah karena menangis. “Kenapa mereka tidak pernah berhenti?” bisiknya.

Pintu terbuka, Bagas masuk. Langkahnya mantap, wajahnya tegas. Ia melihat meja penuh berkas, lalu menatap Amara yang menunduk. “Aku sudah baca surat panggilan itu.”

Amara mendongak, air mata masih menggantung. “Bagas, kalau ini diteruskan, yayasan bisa ditutup. Semua anak itu… semua kerja keras…”

Bagas mendekat, meletakkan tangan di bahunya. Sentuhannya singkat, tapi membuat Amara merasa ada dinding di belakangnya. “Kalau mereka menyerang lewat hukum, kita lawan dengan hukum. Aku akan siapkan tim pengacara. Kau siapkan kebenaranmu. Itu cukup.”

Amara terisak pelan. “Tapi bagaimana kalau mereka tetap memutarbalikkan segalanya?”

Tatapan Bagas menajam. “Kebenaran tidak selalu cepat menang. Tapi kebenaran selalu punya napas lebih panjang.”

Kalimat itu menancap di hati Amara.

Keesokan harinya, berita daring meledak.

“Yayasan Cahaya Anak Diduga Selewengkan Dana.”

“Istri Muda Atmadja Dipanggil Kejaksaan.”

Komentar publik terbelah.

“Ah, akhirnya ketahuan juga.”

“Jangan-jangan semua kegiatan itu cuma pencitraan.”

“Kalau benar fitnah, kasihan sekali dia.”

Amara membaca layar ponselnya dengan hati perih. Namun di tengah komentar pedas, sebuah pesan pribadi masuk dari donatur lama: “Kami percaya padamu, Amara. Jangan menyerah. Tunjukkan kebenaran.”

Air mata Amara jatuh lagi, kali ini bukan karena takut, tapi karena harapan.

Di kampus, gosip kembali bergema. Selvia menyebarkan selebaran baru: “Mahasiswa kita terseret kasus hukum. Apa pantas kampus dipimpin oleh yayasan bermasalah?”

Beberapa mahasiswa mulai bergumam. Namun Rani berdiri di tengah lapangan, bersuara lantang. “Audit yayasan bersih! Kalau Selvia berani, ayo tunjukkan bukti, bukan selebaran!”

Indra menambahkan, “Kalau Amara bersalah, biarkan pengadilan bicara, bukan gosip kalian!”

Kerumunan riuh, sebagian goyah, sebagian tetap mencibir. Amara yang melihat dari kejauhan merasa dadanya hangat. Aku tidak sendirian lagi.

Malamnya, Bagas duduk di ruang kerjanya, menatap berkas hukum yang baru ia terima dari pengacara. Ia menghela napas berat. Dalam hatinya, sesuatu bergejolak. Ia sudah terbiasa menghadapi konflik bisnis, tapi kali ini berbeda. Kali ini ada wajah Amara, ada suara tangisnya, ada keberanian matanya yang perlahan-lahan menembus benteng dinginnya.

“Kenapa aku… mulai peduli sejauh ini?” gumamnya sendiri.

Di rumah aman, Amara menulis lagi di buku catatannya. Pena menari dengan getaran halus.

“Hari ini aku melihat jerat baru: hukum. Mereka ingin menutup jalanku, menutup yayasan, menutup harapanku. Aku takut, sangat takut. Tapi aku tidak sendirian. Ada Rani, ada Indra, ada para donatur, bahkan Bagas… yang kini berdiri di sisiku. Aku tidak tahu apakah aku akan menang, tapi aku tahu aku tidak akan menyerah. Karena aku percaya: kebenaran punya napas panjang.”

Ia menutup buku itu, menatap bulan separuh di langit. Suara hujan mulai turun pelan, mengetuk kaca jendela.

Namun di sisi lain kota, Meylani berdiri di balkon rumah besar, menatap hujan dengan senyum tipis. Ponselnya bergetar. Pesan masuk: “Penyidik akan segera menjadwalkan pemeriksaan. Target masuk tahap awal minggu depan.”

Meylani meneguk anggurnya. “Bagus. Api kecil itu masih menyala. Saatnya aku meniupnya hingga padam.”

Telepon kantor yayasan masih berdering bahkan saat malam sudah larut. Amara duduk di kursi kerjanya, menatap layar laptop yang penuh dengan laporan keuangan, kontrak, dan bukti kegiatan. Matanya perih, tapi ia menolak menutupnya.

Rani masuk pelan, membawa dua cangkir teh. “Kau bahkan belum makan malam.”

Amara tersenyum samar. “Aku takut kalau berhenti sebentar saja, aku akan kehilangan semuanya.”

Rani duduk di sampingnya, menyerahkan teh. “Kau tidak sendiri, Mar. Besok, apapun yang mereka tanyakan, jawab dengan hati. Bukti kita sudah kuat.”

Amara mengangguk pelan, menahan air mata yang hampir jatuh.

Di luar, hujan deras mengguyur kota. Bagas berdiri di balkon rumah besar, menatap derasnya air yang menimpa halaman. Ia baru saja selesai menelpon pengacara, wajahnya serius.

“Dia harus kuat besok,” gumamnya pelan. Lalu, tanpa sadar, ia menambahkan kalimat yang bahkan membuatnya kaget sendiri, “Dan aku harus ada di sisinya.”

Larut malam, Amara menulis lagi di buku catatannya.

“Hujan ini seperti cermin hatiku. Deras, penuh gemuruh, tapi tetap mengalir. Besok aku akan dipanggil secara resmi. Aku tidak tahu pertanyaan apa yang menunggu, tidak tahu bagaimana publik akan menilainya. Tapi aku tahu aku tidak boleh runtuh. Karena di belakangku ada anak-anak, ada sahabat, dan… ada dia, yang kini membuat langkahku terasa lebih ringan.”

Ia menutup buku, menatap jendela yang basah oleh hujan. Dadanya berdegup kencang, tapi kali ini bukan hanya karena takut—ada keberanian kecil yang mulai tumbuh.

Suara hujan masih menempel di kaca jendela ketika Amara akhirnya memejamkan mata. Namun tidurnya tidak tenang. Bayangan ruang interogasi muncul berulang kali dalam mimpinya—lampu putih yang menyilaukan, tatapan tajam penyidik, dan tumpukan berkas yang seakan ingin menelannya hidup-hidup.

Ia terbangun menjelang subuh dengan napas terengah. Tangannya meraba meja kecil di samping ranjang, menemukan buku catatannya. Dengan sisa tenaga, ia menulis satu baris lagi:

“Aku tidak akan membiarkan mereka merenggut suaraku. Besok, biarlah aku yang bicara. Apa pun risikonya.”

Di saat yang sama, di sebuah ruangan gelap, Meylani menerima pesan singkat di ponselnya. “Penyidik siap menekan target. Interogasi dijadwalkan.”

Senyum dingin mengembang di bibirnya. “Selamat datang di babak baru, Amara. Mari kita lihat seberapa kuat kau bertahan.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!