Sinopsis
Ini berawal dari Nara yang dijodohkan oleh Ayahnya dengan laki-laki dewasa, umur mereka terpaut selisih 15 tahun. Dimana saat itu Nara belum siap dari fisik dan batinnya.
Perbedaan pendapat banyak terjadi didalamnya, hanya saja Rama selalu memperlakukan Nara dengan diam (sillent treatment) orang biasa menyebutnya begitu.
Semua permasalahan seperti tak memiliki penyelesaian, finalnya hilang dan seperti tak terjadi apa-apa.
Puncaknya saat Nara kembali bertemu dengan cinta pertamanya, rasanya mulai goyah. Perbandingan antara diamnya Rama dan pedulinya Mahesa sangat kentara jauh.
Rama laki-laki dewasa, hatinya baik, tidak gila perempuan dan selalu memberikan semua keinginan Nara. Tapi hanya satu, Rama tak bisa menjadi suami yang tegas dan tempat yang nyaman untuk berkeluh kesah bagi Nara.
Pertemuan dan waktu mulai mempermainkan hati Nara, akankan takdir berpihak dengan cinta Rama atau mulai terkikis karna masa lalu Nara.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fay :), isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25. malam panjang, tanpa penghalang
Bak sepasang kekasih yang baru memulai madu cinta, garis wajah penuh riang gembira, seolah tanpa beban yang memikulnya.
Mahesa merebahkan kepalanya diatas pangkuan Nara, manja sekali.
“Tadi Mas Rama mengirimi ku pesan Sa.” pandangannya tetap fokus ke arah televisi yang menayangkan film romance, nada bicaranya sudah biasa seperti tak menghiraukan lagi luka kemarin.
Mahesa membalik tubuhnya terlentang, memandangi wajah lugu milik Nara dari bawah, “apa katanya?” Tanyanya sedikit penasaran.
“Dia…” pikirannya menerawang saat sore tadi, pesan yang biasa ia tunggu kini tak lagi menarik di pikirannya.
Nara yang bersantai diteras depan kala sore menghantarkan senja. Senggangnya kembali terusik oleh pesan sedikit panjang berisi penjelasan yang semakin mengganggu jiwanya.
“Dia bilang, entah kenapa kontrak di proyek sana semakin memanjang, harus cepat menyelesaikan yang saat ini di proses dan akan pindah lagi tapi di daerah yang sama.” Jelas Nara.
Nara menunduk memperhatikan wajah Mahesa yang juga tengah menatapnya, “apa mungkin karna perempuan itu, ini hanya sebagai alasan.” Ucapnya lirih, dia tersenyum tapi di pelupuk matanya kini tertumpuk air mata yang siap tumpah.
Mahesa bangun, memegang pundak Nara seolah menyemangati, “dengarkan aku, kamu jangan terus-terusan berpikir yang aneh-aneh, disini masih ada aku yang akan mengukir bahagia mu.” Usahanya menenangkan.
“Tapi aku merasa ada yang mengganjal dalam hati ku belum sepenuhnya yakin, apa mungkin Mas Rama seperti itu di belakang ku.” Jatuhlah pertahanan Nara air matanya menetes namun cepat ia hapus.
Mahesa menghela nafas panjang, “kamu masih percaya dengan tingkah laku suami mu itu, yang benar menikmati waktu bersama wanita simpanannya?”
Nara tak lagi menjawab, ia usahakan percaya dengan apa yang matanya lihat sendiri, tapi ada sedikit kerikil yang mengganjal didalam kepercayaan itu.
“Nara…” ucap Mahesa membangunkan Nara dari angannya.
“Aku akan membantu mu menjawab semua keraguan mu, tolong lihat aku sebagai obat diantara ke sedihan itu.” Ucap Mahesa tak ada keraguan, pandangannya penuh dengan ketulusan.
Peluk hangat Mahesa salurkan sedikit menenangkan hati Nara, ‘aku akan lebih membuat mu yakin dan membuat suami mu semakin jauh dari apa yang masih kamu harapkan Nara, tak akan ada lagi keraguan atas kebencian yang akan kamu berikan untuknya.’ senyum mengerikan terbit dibalik punggung Nara.
Mahesa menarik pelukannya, pandangannya menarik fokus Nara, “sudah sekarang kita hadapi bersama dan sebelum waktu itu datang, aku ingin menghabiskan waktu berdua.”
Nara selalu terhipnotis dengan semua kata yang Mahesa ucapkan, wanita lugu yang mudah percaya dengan kata romantis, tindakan yang meratukannya dan bukti yang terlihat belum sepenuhnya akurat.
“Aku sayang banget sama kamu Ra.” Ungkap Mahesa tak habis-habis kata sayang ia luruhkan.
“Aku juga Sa.” Balas Nara tersenyum manis. Setiap kali ada keraguan, Mahesa bisa meyakininya, seolah cintanya tak tertandingi meski status beristri ia pegang.
*
*
*
Sinar rembulan yang semakin pekat cahayanya, bintang bertaburan semakin menambah cahaya yang masuk ke jendela rumah yang tak tertutup tirai.
Ruang tengah gelap yang hanya tersinari oleh cahaya televisi, sofa empuk selalu menjadi tempat dua hati yang saling mengagumi. Dimalam yang sunyi, detak jam yang terus berputar dan suara drama yang menayakangkan adegan romantis menemani mereka.
Mahesa dan Nara duduk berhadapan, suhu tubuh meninggi diantara malam yang dingin. Mahesa tetap memandang kearah mata indah milik Nara, sama halnya dengan Nara yang masih mengagumi wajah tampan yang dulu ia sakiti.
Pelan mereka mulai bercumbu menyalurkan rasa yang kian menggebu, belitan demi belitan saling menggugah gairah, diam menikmati momen yang diiringi drama romantis juga dihadapan mereka.
“Emh…” lenguhan mulai keluar dari mulut keduanya, Mahesa seperti tak mampu menahan gairahnya, fantasinya kemana-mana ingin segera memiliki Nara sepenuhnya.
Nara merasakan sesak dalam dadanya, ia menepuk berkali-kali dada Mahesa agar menghentikan aktivitasnya.
Nafasnya tak beraturan, dadanya naik turun begitu waktu yang lumayan panjang bertukar saliva bersama.
Nara memajukan bibirnya cemberut, “aku nggak bisa nafas loh, kamu kelamaan.” Sulutnya marah.
“Em.. maafin aku ya. Aku ingin memiliki mu seutuhnya Nara, aku cemburu saat membayangkan kamu bercumbu dengan suami mu.” ucapnya terang-terangan tanpa malu.
Bayangan Nara sudah berputar pada hal-hal sensitif yang tak seharusnya mereka lakukan, hubungan gelap, bahkan sampai ingin melakukan hal yang begitu sangat berdosa.
Tapi tak memungkiri hal seperti itu sudah Nara rindukan juga, gairahnya juga membara saat Mahesa menyalurkan hasratnya.
Seolah lupa dengan pembahasan tadi yang membawa nama Rama, menguar karna kata manis yang terucap oleh Mahesa.
Kembali Mahesa melakukan penyatuan bertukar saliva, namun kali ini pelan seolah cintanya nyata, bukan lagi obsesi serius yang ingin memiliki.
Nara seakan terbuai dengan kelembutan Mahesa, otaknya seakan ingin menghentikan, tapi gerak tubuhnya begitu menikmati apa yang Mahesa berikan.
Bak tanpa kesadaran, Mahesa menuntun Nara dengan pelan kearah kamar yang berhadapan dengan kamar yang Nara dan Aiden tempati, pagutannya tak mereka lepas, gerakan tangan yang membelai pelan seolah menari dalam keingin Nara.
Dosa yang tak seharusnya mereka lakukan, akhirnya tembus juga, tak ada lagi penghalang, tak ada lagi bayang-bayang diantara pasangan masing-masing.
Malam semakin memanas, peluh mulai berkucuran, Mahesa begitu menginginkan apa yang Nara miliki menjadi miliknya seutuhnya dan malam ini tanpa tekanan mereka menyalurkan hasrat dengan penyatuan.
*
*
*
Nara terbangun dari mimpinya, jiwanya belum sepenuhnya terkumpul, begitu potongan kejadian semalam mulai muncul di otaknya, wajahnya pias, khawatir dan gelisah bermunculan.
Ia menoleh kearah jam yang bergantung di dinding kamar, jam tiga pagi. Pandangannya pindah ke posisi disebelahnya, Mahesa tertidur dengan pulas, tubuhnya tertutup selimut sebagaian dan sebagian lagi tanpa busana.
Jantung Nara memompa semakin cepat, pikirannya semakin jauh kenapa dirinya semakin berani, bahkan ia menyebut suaminya bajingan karna tingkah lakunya dengan wanita lain, lalu apa bedanya ia sekarang yang bersetubuh dengan mantan kekasihnya dulu.
Nara beranjak memunguti baju yang berserakan dilantai membawanya kearah kamar mandi.
Mahesa melirik kearah Nara yang berlari kearah kamar mandi, senyumnya ia angkat sebelah. Mengerikan, pandangannya yang biasa lembut berubah menjadi sinis. Kebahagiaan yang menakutkan terpaut dari rona wajahnya.
*
*
*
“Pagi sayangku…” sapa Mahesa kearah Nara begitu sampai diruang dapur.
Nara gugup, tangannya bahkan gemetar, pandangannya tetap menunduk pada potongan sayur yang ia pegang, tak berani menatap kearah wajah Mahesa.
“Terima kasih buat yang semalam, ternyata seenak itu ya, aku masih ingin lagi.” Bisiknya ditelinga kiri Nara, tubuhnya ia sengaja menyenggol pelan tubuh Nara yang berdiri.
Jantungnya bak berdisko ria, antara malu karna ulahnya sendiri atau reaksi tubuhnya yang begitu menikmati tiap sentuhan Mahesa.
“Kenapa kamu cosplay jadi patung Ara” goda Mahesa melihat reaksi tubuh Nara yang kaku dan tak mau melihat kearahnya.
“Sudah jangan ganggu aku Sa, pakai baju mu dan pulang mandi dulu. Nanti Aiden keburu bangun, dan tak mungkin melihat mu yang begini.” Ucap Nara terbata-bata.
Mahesa tertawa terpingkal-pingkal dan melenggang pergi, “oke.. kita akan lanjutkan yang semalam ya sayang.” Ucapnya keras.
Nara senyum-senyum sendiri begitu tubuh Mahesa hilang dari pandangan, seperti bocah baru mengenal cinta saja rasanya.
“Tapi nggak munafik, kenapa aku lebih suka cara bercinta Mahesa dari pada Mas Rama.” ucap Nara yakin, ia menggelengkan kepala dengan apa yang baru saja ia ucapkan.
*
*
*