Spin-off dari Istri Amnesia Tuan G
Dalam beberapa jam, Axello Alessandro, seorang aktor terkenal yang diidamkan jutaan wanita jatuh ke titik terendahnya.
Dalam beberapa jam, Cassandra Angela, hater garis keras Axel meninggal setelah menyatakan akan menggiring aktor itu sampai pengadilan.
Dua kasus berbeda, namun terikat dengan erat. Axel dituduh membunuh dua wanita dalam sehari, hingga rumah tempatnya bernaung tak bisa dipulangi lagi.
Dalam keadaan terpaksa, pria itu pindah ke sebuah rumah sederhana di pinggiran kota. Tapi rumah itu aneh. Karena tepat pukul 21.45, waktu seakan berubah. Dan gadis itu muncul dengan keadaan sehat tanpa berkekurangan.
Awalnya mereka saling berprasangka. Namun setelah mengetahui masa lalu dan masa kini mereka melebur, keduanya mulai berkerjasama.
Cassie di masa lalu, dan Axel di masa kini. Mencoba menggali dan mencegah petaka yang terjadi.
Mampu kah mereka mengubah takdir? Apakah kali ini Cassie akan selamat? Atau Axel akan bebas dari tuduhan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Joy Jasmine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25 ~ Bisa Mengubah Masa Lalu
Axel memekik seorang diri. Keningnya berkerut dalam, memikirkan hal yang tidak akan mungkin terjadi.
"Astaga, kalau mau menambah tuduhan padaku juga yang masuk akal sedikit, dong!" ujarnya seorang diri.
Di masa lalu, interaksinya dengan Cassie bahkan bisa dihitung jari. Dan semua interaksi itu juga berhubungan dengan Elodie. Jadi bagaimana mungkin?
"Lagi pula, ini foto datang dari mana? Aku enggak pernah merasa ditampar wanita selain saat syuting."
Pria itu bergumam sendiri, hingga kedua matanya yang sebelumnya menyipit dengan kesal itu berakhir melotot lebar.
"I-itu ingatan apa barusan? Aku memang pernah digampar?... Lalu dipelanting?" Axel menggaruk kepalanya sendiri, ia merasa ingatan itu cukup asing, seperti tidak pernah terjadi sebelumnya. Namun ingatan itu juga terasa nyata.
"Bagaimana mungkin?" gumamnya sembari terus menajamkan ingatan.
Saat itu ia baru pulang dari syuting di luar kota. Lalu ketika singgah ke agensi, Ferlinda menghentikannya di parkiran. Mengatakan kalau ada seorang gadis yang mengikutinya dan berniat menghancurkan rumah tangganya.
Dengan gegabah ia pun menghentikan gadis itu. Mengatakan hal-hal kasar hingga membuat pipinya yang mulus sampai menerima tamparan keras. Ternyata gadis itu adalah Cassie?
Tunggu.
Saat itu Cassie mengatakan sesuatu? Gadis itu bilang kalau di masa depan akan mati? Itu artinya, pertemuan mereka mengubah masa lalu?
Alis pria itu mengerut semakin dalam. Kalau seperti itu, mereka bisa mengubah dan mencegah kejadian yang akan terjadi. Senyuman tipis muncul di sudut bibirnya saat merasa ada peluang di balik skandal baru ini.
Di saat pikirannya yang berkecamuk, pintu rumah sederhana itu tiba-tiba diketuk dari luar. Axel mengernyit, siapa yang akan bertamu ke rumahnya ini? Ia bahkan tidak mengatakan pada siapa pun.
Jadi dengan perasaan curiga, ia menghampiri pintu, membuka sedikit celah pada gorden jendela di sebelah dan mengintip dari sana.
"Dia?" gumam Axel memincingkan matanya. Antara ragu untuk membuka atau tidak pintu ini.
"Axello Alessandro, saya datang untuk menanyakan sesuatu." Suara di depan sana menyergap saat Axel masih berdiri diam.
Mendengar nada datar itu, akhirnya Axel menarik selot pintu dan membuka kuncinya. "Tuan Ronan."
"Boleh saya masuk?" Ronan memandang Axel dengan tenang, ia memiringkan kepalanya. Melihat ke belakang Axel yang tidak ada siapa pun.
Axel mengangguk, memundurkan diri untuk memberi pria dewasa itu ruang. Ronan mulai melangkah, menuju sofa kusam itu dan duduk di sana.
"Dari mana Anda tau rumah ini?" tanya Axel setelah lebih tenang. Pria itu duduk di kursi tunggal yang biasanya diduduki Cassie.
"Tidak penting saya tahu dari mana, lagi pula saya bisa tahu apa saja yang saya inginkan." Ronan berbicara dengan wajah datar yang tampak angkuh bagi Axel.
Axel pun menyipitkan matanya. "Ada perlu apa Anda datang ke sini?"
"Suatu hal yang serius. Kamu masih ingat pisau taktis yang dibagikan agensi setahun yang lalu?"
Axel mengernyit sebentar, sebelum mengangguk pelan sebagai jawaban. "Aku juga dapat satu. Tapi tertinggal di apartemen tempat tinggal ku sebelumnya."
"Ada bukti yang mengaitkan pisau taktis ini dengan kematian nyonya Ferlinda. Saya harap kamu bisa bekerjasama dengan baik. Jawabanmu bisa meringankan posisimu, jadi pikirkan baik-baik!"
"Sebaliknya bisa memberatkan juga, kan?" Axel tertawa kecil sembari mendengus. Aura dingin Ronan memang membuatnya tegang, namun ia yang seorang aktor juga bisa menahan diri. Mengatur ekspresi seharusnya adalah keahliannya.
"Dan... apa aku sedang diinterogasi lagi sekarang?"
Ronan menarik senyum tipis. "Kurang lebih seperti itu."
Ronan mengeluarkan ponselnya untuk merekam suara, membuat Axel sedikit mendengus.
"Tidak ada yang bisa aku jelaskan. Pisau itu memang dibagikan agensi sebagai merchandise. Setelah menerimanya, aku hanya menyimpan di dalam lemari kumpulan penghargaan yang aku terima. Tidak aku apa-apakan lagi."
"Kamu yakin tidak digunakan sekali saja?"
"Sungguh! Aku bahkan belum pernah melihat bagaimana bentuk pisaunya. Aku menerimanya di dalam kotak, tidak kubuka dan langsung aku simpan."
"Kalau begitu kamu tahu siapa saja yang menerima pisau ini?"
Axel bergeming sejenak, tampak berpikir, namun akhirnya menggeleng. "Pisau ini dikirim dari agensi ke rumah masing-masing penerima. Aku enggak tahu siapa saja yang menerimanya kecuali para artis."
"Para artis itu siapa saja?"
"Seniorku, Samuel Garesha, Hilda Golten, Jessica Tian, dan Chicko Bendy. Aa iya, asisten pribadi CEO, Darren Kristo juga menerimanya. Aku sempat melihat dia membawanya."
Ronan yang mendengar, mencatat satu per satu nama yang disebutkan Axel. Pria itu akhirnya mengangguk, ia menatap Axel dalam diam sejenak.
"Kamu belum ditahan bukan berarti bebas dari kecurigaan. Jadi jangan coba-coba melakukan hal yang akan memberatkan diri sendiri!" Pria itu memperingati sebelum berdiri dari duduk. Ia berjalan pergi tanpa mengatakan apa pun lagi. Namun Axel yang ditinggal menarik senyuman tipis.
"Aku yakin Anda seorang yang jujur dan bertanggungjawab," ujar pria itu yang membuat Ronan menghentikan langkah sejenak, sebelum kembali berjalan pergi dengan langkah mantap.
Pria itu masuk ke dalam mobilnya dan menghela napas. Tangannya bergerak untuk kembali merogoh ponsel di saku. Mengetik sesuatu, kemudian menempelkan benda persegi panjang itu ke telinganya.
"Ya, Kapt." Terdengar suara balasan dari sana.
"Luca, urus surat perintah penggeledahan sekarang! Ke apartemen Axel, alamat sebelumnya, bukan yang sekarang!"
.
.
.