Setelah kehilangan anaknya dan bertahun-tahun hidup dalam bayang-bayang penghinaan dari suami serta keluarganya, Amira memilih meninggalkan masa lalu yang penuh luka.
Dalam kesendirian yang terlunta-lunta, ia menemukan harapan baru sebagai ibu susu bagi bayi milik bukan orang sembarangan.
Di sana-lah kisah Amira membuang kelemahan di mulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zenun smith, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kondisi Rumah Ardi Setelah Ditinggal Amira
Kediaman Ardi.
Rumah ramai sekali dengan suara yang saling tumpang tindih. Ibunya terdengar mendumal tak henti-hentinya, ditimpali suara kakaknya yang tak mau kalah. Sesekali anggota keluarga lain ikut nimbrung, menambah riuh suasana.
"Haduh, kepala ini sampai pusing. Cucian numpuk terus! Kalau bukan ibu, gak ada yang peduli dengan cucian ini." Keluh ibunya sambil memasukkan baju-baju kotor ke dalam keranjang. Di keningnya menempel koyo, pertanda lelah yang mendera.
"Ya udah, laundry-in aja, Bu. Biar Ibu nggak capek." sahut Shinta, kakak Ardi, tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel. Saran praktisnya lebih sering muncul ketimbang uluran tangan. Pokoknya bagi Shinta, apa-apa ya harus bayar biar tidak capek.
"Apa-apa bayar, jebol juga duit. Kamu itu sesekali bantuin beresin rumah kek, Shin."
"Bu, nanti aja deh. Aku juga kan lagi sibuk dekor perabotan buat rumah baru aku."
"Kamu itu ya, selalu banyak alasan. Minimal--" belum sempat ibunya melanjutkan omelannya, suara bapaknya Ardi terdengar dari ruang tengah, memanggil.
"Bu, bikinin kopi dong! Sarapan udah ada belum?"
Ibunya Ardi menghela napas panjang, menahan jengkel yang makin menumpuk. Dalam hati ia mengumpat, Sarapan matamu!
"Gak ada sarapan! Ibu nggak sempat masak, Pak! Ini anak perempuanmu lho, gak ada bantuin ibu sama sekali!"
Shinta langsung menimpali, "Ibu tuh dikasih saran gampang gak mau. Ya udahlah, beli aja sarapan. Gak usah ribet!"
"Beli? Sini uangnya!" bentak ibunya. "Jangan cuma bisa nyuruh, tapi duitnya gak dikasih. Kasihan adikmu tuh, Ardi. Dia terus yang bantu ibu soal uang."
Bapak langsung menyela dari ruang tengah ketika mendengar soal uang. "Lho, Bapak juga kasih uang ke ibu. Emangnya kurang?"
"Bukannya kurang, cuma...kalau gak diatur baik-baik, bisa-bisa kita jadi kismin lagi, Pak! Yang tinggal di rumah ini buaanyak, tapi yang cari uang cuma Bapak sama Ardi. Lainnya? Banyak numpang doang. Apa mau hidup melarat lagi?"
Keluarga Ardi dulunya bukan berasal dari kalangan berada. Hidup mereka pas-pasan, serba kekurangan. Namun berkat kerja keras Ardi--dimulai dari posisi paling bawah sebagai OB--perlahan nasib mereka mulai berubah. Keuletan dan kesetiaan Ardi pada pekerjaannya membuatnya dipercaya oleh atasan, hingga akhirnya ia naik jabatan dan hidupnya pun mulai mentereng.
Sayangnya, naiknya derajat seringkali membuat manusia lupa daratan. Begitu juga Ardi. Sedikit saja mencicipi kenyamanan hidup, ia mulai lupa dari mana ia berasal. Lupa pada siapa yang setia menemani saat ia belum punya apa-apa.
Keluarganya pun tak jauh berbeda. Begitu diberi rezeki lebih, mereka malah menunjukkan sikap sinis pada mereka yang ekonominya di bawah. Contohnya Amira. Karena Amira berasal dari keluarga tak berada (orang tua pun sudah tak punya), ia langsung dipandang sebelah mata.
Bagi keluarga Ardi, menantu ideal adalah yang punya harta, jabatan, dan bisa menambah gengsi keluarga. Kalau miskin seperti Amira, buat apa? Paling-paling cuma bisa disuruh mengurus rumah, dianggap pembantu dengan status resmi seorang istri.
Tidak heran, sejak menikah Amira tak pernah benar-benar mendapat tempat dihati mereka. Perlakuan terhadapnya tidak pernah adil, selalu jadi yang paling disalahkan, paling dibebani, dan paling diabaikan. Semata-mata karena mereka ingin Ardi bersanding dengan wanita kaya agar menambah kejayaan. Mereka takut melarat lagi, tapi menempuh jalan yang salah.
Kembali ke perseteruan,
Bibi yang merasa suaranya tidak boleh diabaikan, ikut angkat bicara. "Kalau kalian ribut terus, biar aku saja yang masak. Asal bahannya sudah ada."
Ibu langsung menjawab, "Masakan kamu itu, Bi, gak ada enak-enaknya. Masak sudah umur segini, rasa masih kayak baru belajar."
Dikata begitu, bibi mendengus sebal. Dia ikutan nyerocos seperti Shinta yang bilang kalau ibunya Ardi itu pelitnya minta ampun. Suasana makin panas, suara bersahutan seperti pasar malam. Dan di tengah-tengah keriuhan itu lagi, Bapaknya Ardi nyeletuk yang sebenarnya dia juga tak berniat kepikiran kesana. Otak nya refleks nyuruh buat ngomong begitu.
"Coba ada Amira di rumah ini," Begitu kata bapak, praktis membuat kebisingan seketika diam. Semua mata tertuju padanya.
"Apa kata Bapak?"
"Nggak. Emangnya bapak ngomong apa?" pura-pura lugu saja biar selamat. Lagipula kenapa nih mulut kurang ajar sekali, malah ngajak perang dunia. Bapak pergi melarikan diri meskipun tidak ada jawaban dari pertanyaan retorisnya. Tapi suasana masih hening, seperti sedang ada yang dipikirkan.
"Kalau ada Amira, dia pasti yang sudah ngerjain ini semua." Tak sadar ibu juga nyeletuk begitu. Efek lelah mengurus rumah.
"Nah iya tuh, padahal kan lumayan kalau ada Amira di sini. Hitung-hitung tenaga gratis." Bibi juga ikutan. Sementara Shinta langsung mencampakkan ponselnya begitu saja. Ia mau berbicara sesuatu, seakan ingin menyadarkan semua orang yang ada disini.
Shinta melipat tangan di dada. "Ngapain jadi berharap sama dia lagi? Ardi bentar lagi nikah kok. Punya istri baru, bisa dimintain bantu urus rumah."
Bibi menukas, "Kalau istrinya wanita karir dan gak mau bantu? Bagaimana?"
"Ya tinggal minta duitnya buat bayar pembantu. Selesai kan."
Bibi nyengir, begitu juga dengan ibu yang mulai manggut-manggut setuju dengan omongan Shinta. Itu terdengar ide yang sangat bagus bagi mereka. Seketika, suasana panas berubah jadi tawa riang. Mereka sedang membayangkan kehidupan enak selanjutnya, dan merayakan itu dengan tawa.
Di rumah ini, gampang sekali kondisi yang kontradiktif, bertukar.
...****...
Di ruang lain, masih dalam satu atap.
Ardi yang kepalanya dipenuhi dengan riuhnya suara keluarganya yang sedang berseteru, sampai nyebut-nyebut nama Amira, keadaannya juga tak jauh beda dengan ibunya.
Iya, ya… kenapa dulu aku gak pertahanin aja rumah tangga itu? pikirnya. Setidaknya, kalau Amira masih ada di sisinya, hidupnya tidak seberantakan sekarang. Urusan rumah tangga terurus, hidupnya tenang sampai waktunya dia resmi menikahi selingkuhannya.
Punya dua istri juga gak masalah, kan?
Kondisi sekarang, kaus kaki harus dicari-cari. Dasi entah di mana rimbanya. Semua harus dia cari sendiri. Hal-hal kecil begini, terkadang bikin dia telat datang ke kantor.
Belum lagi soal hasratnya yang terpendam sejak bercerai. Selingkuhannya menolak disentuh sebelum menikah, dan untuk menikah pun, syaratnya seabrek-abrek.
Ardi tersadar ternyata meskipun Amira tak punya apa-apa, namun ia tak mempersulit laki-laki. Sementara yang sekarang? Perempuan karier, tapi banyak aturan dan perjanjian yang harus disepakati dulu.
"Amira, kamu lagi ngapain sekarang?" Monolognya, tak sadar terselip kerinduan. Ardi bahkan rela bolak-balik ke makam anaknya cuma berharap bisa bertemu Amira. Tapi hasilnya nihil.
Saking tidak bisa mendeskripsikan apa yang dia rasa sekarang, Ardi menonjok-nonjok bantal yang tak punya salah.
.
.
Bersambung.
Terlena dengan bab ini, karena ikut merasakan kehilangan seperti Arga.
Sehingga ia tahu, mana yang tulus mana yang modus