Uang miliaran di rekening. Tanah luas. Tiga ratus pintu kontrakan.
Anjani punya segalanya—kecuali harga diri di mata suaminya dan keluarganya.
Hari ulang tahunnya dilupakan. Status WhatsApp menyakitkan menyambutnya: suaminya disuapi wanita lain. Dan adik iparnya dengan bangga menyebut perempuan itu "calon kakak ipar".
Cukup.
"Aku akan tunjukkan siapa aku sebenarnya. Bukan demi mereka. Tapi demi harga diriku sendiri."
Dan saat semua rahasia terbongkar, siapa yang akan menyesal?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 12
Malam mulai turun saat Anjani pulang ke kontrakannya. Gerbang dibuka dari dalam. Firman berdiri di sana, masih mengenakan kaos oblong dan sandal jepit.
"Baru pulang, Bu?" tanyanya sopan.
Anjani mengangguk, menyodorkan bungkusan plastik. “Martabak telur. Lumayan buat camilan malam.”
Firman tersenyum, menerima pemberian itu dengan dua tangan. “Terima kasih, Bu.”
Anjani hendak melangkah masuk ke kamarnya yang mungil ketika Firman menahan.
“Bu… ada sesuatu.”
Anjani berhenti. Menoleh. “Apa itu?”
Alih-alih menjawab, Firman menyerahkan ponselnya. Di layar, sebuah video tengah diputar. Tanpa suara. Tapi cukup untuk membuat Anjani menyunggingkan senyum tipis.
“Kerja bagus,” ucapnya singkat. “Kirim ke aku. Jangan sebar ke siapa pun.”
“Siap, Bu.”
Anjani melangkah masuk ke dalam. Rumah kontrakan kecil itu rapi. Satu kamar tidur. Ruang tamu yang juga berfungsi sebagai ruang makan. Dua kamar mandi. Tak ada furnitur mewah. Tak ada hiasan berlebihan.
Ia bisa saja tinggal di rumah seluas istana. Di rekeningnya, uang miliaran mengendap tenang. Tapi bagi Anjani, rumah hanya tempat bernaung. Tak perlu besar. Yang penting, nyaman. Terlalu luas hanya membuat pengeluaran tak penting membengkak.
Ia menganut hidup minimalis sejak kuliah. Lulus dengan predikat terbaik. Tapi tak pernah ikut wisuda. Bukan karena tak mampu. Tapi karena tak penting. Buat apa berdiri di panggung? Ilmu bukan untuk dipamerkan. Tapi untuk diamalkan.
Data dirinya nyaris tak ada di acara formal. Tak ada foto toga. Tak ada nama dalam daftar wisudawan. Tapi jika kau mencari di laboratorium kampus, atau forum diskusi ilmiah—jejaknya jelas.
Anjani memilih jalan berbeda. Dan ia tak pernah menyesalinya.
Riki tiba di rumah pukul sepuluh malam. Teras sepi. Tak ada Anjani di sana. Biasanya, kalau belum jam sepuluh, istrinya selalu duduk di bangku panjang, menanti kepulangan.
Ia parkir mobil di garasi. Mobil baru. Masih kredit. Enam bulan cicilan berjalan.
Masuk ke ruang tengah. Ibunya, Mirna, duduk di depan televisi. Wajahnya pucat.
“Bu, belum tidur?”
“Belum. Bapakmu belum pulang.”
“Bapak ke mana, sih?”
Mirna menggeleng. Matanya sembab. Bekas menangis.
“Kenapa, Bu?”
“Enggak apa-apa, Nak.”
Lalu tiba-tiba, topik berganti.
“Kapan kamu nikahi Lusi?”
Riki menghela napas. Berat. “Bu, bisa nggak... dibatalkan?”
“Riki!” bentak Mirna. “Kamu sudah lamar dia di depan orang tuanya! Ibu tidak mau dipermalukan!”
“Tapi Bu...”
“Tidak ada tapi! Ibu ingin kamu sukses, dihormati!”
“Baik. Awal bulan depan, sirih saja ya, Bu.”
“Sirih? Kenapa?”
“Aku belum ceraikan Anjani.”
Mirna mendengus. “Sudah seminggu dia pergi. Artinya dia serius minta cerai. Ceraikan saja!”
Riki pamit ke kamar. Lelah. Ibunya masih menatap televisi. Tapi pikirannya entah ke mana.
Sementara itu, di kontrakan kecil, Adi—ayah Riki—sedang bersama perempuan muda. Seusianya Riki.
“Kamu memang tua-tua keladi,” bisik perempuan itu genit.
Adi terkekeh. “Kamu juga luar biasa.”
Lalu semuanya larut dalam gelap. Tanpa malu. Tanpa dosa.
...
..
Pagi menelusup masuk ke sela-sela jendela rumah kecil itu. Sederhana dari luar, tapi tiap sudutnya menunjukkan selera yang mewah. Di kamar mandi, Lusi berdiri membeku. Tangannya menggenggam alat uji kehamilan. Garis dua.
"Astaga… hamil," gumamnya pelan, antara syok dan tak percaya. "Pasti semalam itu dia nggak pakai pengaman..."
Lusi buru-buru meraih ponsel.
"Om... aku hamil," bisiknya di ujung sambungan.
"Bagus dong," jawab suara pria di seberang, terdengar santai.
"Bagus gimana? Masa aku harus nikah sama Om?" sahut Lusi, kesal.
"Ya enggak lah. Kamu tinggal minta pertanggungjawaban Riki. Selesai."
"Mana mungkin? Riki bahkan belum pernah menyentuhku."
"Makanya, tinggal tidur saja sama anak sialan itu. Gampang, kan? Lagipula dia bakal naik gaji. Dapat rumah juga."
"Serius, Om?"
"Serius. Ini kesempatan kamu."
Lusi terdiam. Mulutnya membentuk senyum tipis. Dingin.
"Baiklah, Om. Aku tahu harus bagaimana."
Telepon ditutup. Rencana terbentuk. Dalam benaknya, semua langkah sudah disusun rapi. Kali ini, Lusi tidak akan gagal.
..
Pagi itu sunyi. Tak ada suara wajan dari dapur, tak ada langkah tergesa Anjani menyiapkan sarapan. Tak ada pula kalimat-kalimat pedas yang biasanya memenuhi ruang makan. Rumah Riki terasa asing, seperti kehilangan denyut hidupnya.
Di meja makan, hanya ada dua orang. Riki dan ibunya, Mirna. Duduk berhadapan dalam diam yang aneh.
“Bu, Bapak nggak pulang?” tanya Riki, pelan.
Mirna menunduk. Matanya tampak berkaca-kaca. “Enggak, Ki.”
Riki menghela napas panjang. Udara pagi seolah makin berat mengisi paru-parunya.
“Nina sama Nani juga nggak pulang?”
“Enggak. Katanya ada tugas kuliah ke luar kota,” jawab Mirna sambil memainkan ujung serbet.
Riki mengernyit. “Bu, mereka baru semester satu. Mana ada tugas sampai luar kota?”
“Ya ibu nggak tahu. Mereka bilang begitu.”
“Mereka minta uang, Bu?”
“Nggak.”
“Lho, terus dari mana uangnya? Perjalanan ke luar kota butuh biaya. Aku takut, Bu... takut mereka salah jalan.”
“Jangan doakan yang buruk untuk adikmu,” potong Mirna cepat.
“Bukan doa, Bu. Itu kekhawatiran. Dunia sekarang kejam. Anak-anak bisa saja terjerumus tanpa kita tahu.”
Mirna terdiam. Wajahnya mulai berubah, kegelisahan mulai mengendap di matanya.
“Ya sudahlah, Ki... kalau sampai malam ini mereka belum pulang, kamu cari mereka, ya,” ucap Mirna lirih. Kali ini suaranya tidak menyembunyikan rasa cemas.
Riki mengangguk. Dalam hatinya, pagi ini benar-benar terasa hampa, pikirannya diisi kebimbangan dia masih sangat mencintai anjani, tapi dia juga harus memikirkan gengsinya sebagai manajer yang sebentar lagi akan jadi kepala cabang tentu dia harus punya istri yang bisa dibanggakan bukan hanya istri yang tinggal di rumah yang tak punya latar belakang dan gelar.
Hari-hari Riki kini seperti berjalan tanpa arah. Ia datang ke kantor tepat waktu, tapi pikirannya melayang-layang. Pekerjaan yang dulu menjadi pelariannya dari kehidupan rumah, kini tak mampu lagi mengalihkan pikirannya. Sejak Anjani pergi, semua terasa hambar. Tidak ada lagi kopi pagi, tidak ada kemeja yang tergantung rapi, tidak ada suara lembut yang mengingatkan agar jangan lupa makan siang.
Anjani. Wanita yang diam-diam mengatur segalanya. Termasuk menjaga keluarganya tetap utuh, meski dengan luka-luka kecil yang disembunyikannya sendiri.
Sore hari, ponsel Riki berdering. Nama Lusi muncul di layar.
“Ya, ada apa?” ucap Riki lelah.
“Bisa ketemu di kafe? Ini soal pernikahan kita. Ibu mau kita percepat,” suara Lusi terdengar mendesak.
“Lusi... bisa nggak, kita batalkan saja semuanya?”
Hening sejenak.
“Kamu ini lelaki apa sih, Riki? Aku rela jadi istri kedua, menolak lamaran laki-laki lain. Ibumu yang minta aku, dan aku sayang beliau. Tapi kamu? Sekarang mau mundur?” Lusi meninggikan suara.
“Kalau memang mau membatalkan, aku yang akan bicara ke ibumu!” lanjutnya penuh emosi.
“Jangan, Lusi. Nanti penyakit ibu kambuh lagi. Ya, aku... aku nggak akan batalkan,” jawab Riki akhirnya.
“Baik. Sore ini, di kafe Hotel Sederhana. Jangan telat.”
Telepon ditutup. Riki mendesah berat. Pandangannya kosong.
“Andai kamu punya gelar dan penghasilan, mungkin aku nggak akan sepusing ini,” gumamnya lirih, menatap senja yang tak kunjung membawa jawaban.
...
..
Sepulang kerja, Riki langsung menuju tempat yang ditentukan Lusi. Sebuah kafe kecil di lantai dua hotel yang tak terlalu ramai, namun cukup nyaman untuk pertemuan singkat.
Lusi sudah duduk di sana. Busananya mencolok—terlalu terbuka untuk ukuran sore hari. Riki sempat terdiam. Sebagai lelaki, ia tentu saja terperangah. Tapi ada bagian dalam dirinya yang memberontak.
Apa ini wanita yang akan jadi istriku?batinnya. Tidak seperti Anjani. Cantik, tapi sederhana. Tidak pernah mengumbar apapun, tapi justru membuatku tenang.
"Ki, sini dulu. Minum ini. Kamu pasti haus," ucap Lusi dengan senyum manis.
Riki duduk, menerima segelas jus yang entah sejak kapan sudah dipesan Lusi. Ia menyeruputnya tanpa curiga.
“Riki, aku mau pernikahan kita dipercepat. Ibuku juga menginginkannya,” ucap Lusi lembut, jemarinya menyentuh tangan Riki.
Riki mengangguk pelan, namun kepalanya mulai terasa berat. Pandangannya buram.
“Ada yang aneh...,” bisiknya.
Lusi tersenyum samar. “Tenang saja, Ki. Kamu hanya perlu istirahat sebentar.”
Setelah itu, semua jadi kabur. Ia hanya ingat digandeng masuk kamar hotel. Ingatan selebihnya tertelan gelap.
Ketika pagi menyapa lewat cahaya samar di sela tirai, Riki terbangun dengan kepala pening. Bajunya berantakan, dan Lusi masih tertidur di sampingnya.
Ia terduduk lemas, menggenggam kepala sendiri. Napasnya memburu.
"Apa yang kulakukan...?"
pilih siapa yaa.. ikutan bingung 😆😆
Si Riki sama Ibunya biar nyaho.. wanita yg di elu-elu kan taunya adalah simpenen bapak/suami mereka 😜😜😜😆
Lanjuuttt kakakkkk....
Ditunggu kehancuran mantan suami Anjani...