"Ivy nggak sengaja ketemu sama kamu dan Nabilah. Kamu--sabtu kemarin itu--ketemuan kan sama Nabilah di Rainbow Caffee?!"
Sempet ada jeda sebentar, yang akhirnya Matias berbicara juga. "I-iya, t-tapi a-aku ng-nggak ka-kayak yang kamu pikirin. Aku sama Nabilah pun nggak ada hubungan apa-apa. Murni ketemuan sebagai temen. Aku cuman cinta sama kamu, Ke."
Ternyata Kezia masih mau memaafkan Matias. Berlanjutlah kisah cinta mereka. Hanya saja, jalan di hadapan mereka berdua semakin terjal.
Berikutnya, tidak hanya tentang Matias dan Kezia. Ada juga kisah Martin Winter dan Vanessa Rondonuwu. Pun, kisah-kisah lainnya. Kisah yang sama manisnya.
Terima kasih banyak yang sudah menyimak season one RAINY COUPLE di tahun 2020 silam. Kali pertama aku menulis novel di platform.
NOVEL INI PERNAH MELEDAK DI NOVELTOON DI TAHUN 2020 SILAM!
Season 1 Rainy Couple
(https://noveltoon.mobi/id/share/102447)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IG @nuellubis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Soft Opening Pan Lova
Akhirnya tibalah saat soft opening ruang komunitas Pan Lova.
Lima minggu sejak awal renovasi, Pan Lova memperkenalkan wajah baru lantai duanya. Undangan hanya disebar lewat media sosial dan komunitas lokal. Namun antusiasmenya luar biasa. Pengunjung memadati tangga hingga ke luar pintu.
Ruang baru itu cantik dan nyaman. Ada tanaman hijau di setiap sudut. Lampu gantung dari rotan, mural penuh warna karya seniman lokal Gerry, rak buku terbuka, dan aroma kopi yang terus menguar dari barista yang sudah siaga.
Vanessa berdiri di sudut ruangan, memperhatikan semua dengan wajah bahagia. Di sampingnya, Kezia dan Beby mengobrol pelan.
“Kita berhasil, Beby,” ujar Kezia.
“Iya, Zia,” jawab Beby sambil tersenyum. “Tapi ini baru awal. Pan Lova akan semakin bersinar. Sekarang kita semua harus jaga keberlangsungan Pan Lova.”
Di sela-sela keramaian, Martin datang membawa buket bunga. Ia menghampiri Vanessa.
“Selamat yah, Vanessa. Ruangannya cantik skali.”
Vanessa tersenyum. “Terima kasih. Tapi bukan karena saya saja. Timnya saja memang solid.”
Martin menatap Vanessa sejenak. “Ngana juga bagian penting. Saya bangga ngana bisa bikin sesuatu sebesar ini.”
Di belakang mereka, Mega dan Ivy sibuk melayani tamu dan membagikan leaflet jadwal event. Kezia, dengan blazer kuningnya, sempat berdiri sejenak di balkon lantai dua, memandangi kota Tangerang yang mulai redup menjelang malam.
Pan Lova bukan hanya proyek kerja sama. Ia bagaikan menjadi sebuah titik balik. Sebuah ruang tempat mimpi dikembangkan bersama. Tempat orang-orang belajar saling percaya, bekerja keras, dan merawat sesuatu lebih besar dari diri mereka sendiri.
Kezia tahu, untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun terakhir, ia tidak merasa sendirian.
Tamu-tamu terus berdatangan. Suara langkah kaki di tangga tak henti-henti, berbaur dengan gelak tawa, suara musik akustik dari sudut ruangan, dan denting gelas-gelas kopi yang baru diseduh.
Di sisi panggung mini, sebuah live acoustic session dibuka oleh penyanyi lokal dari komunitas seni Tangerang. Lagu-lagu mellow berbahasa Indonesia dan Inggris dimainkan dengan penuh perasaan. Tepuk tangan pun menggema, menambah hangat suasana.
Martin duduk di kursi rotan dekat jendela besar yang menghadap ke jalan raya. Vanessa di sebelahnya, memainkan sedotan dari es kopi susu-nya.
Akhirnya, tempat ini jadi juga, ee." gumam Martin.
“"Tidak sangka secepat ini, padahal waktu itu torang masih ribut-ribut soal mural,” jawab Vanessa sambil tertawa kecil.
Martin ikut tertawa, walau dalam hatinya sedikit deg-degan. Ia merasa Vanessa makin dewasa, makin bercahaya, dan makin tak terjangkau. Namun malam ini, ia tak mau banyak berpikir. Ia hanya ingin hadir, lalu memberikan sebuah kebahagiaan untuk Vanessa.
Tak jauh dari mereka, Beby tampak menerima ucapan selamat dari beberapa pengunjung komunitas. Seorang ibu muda berkata dengan mata berbinar, “Kami udah lama cari tempat kumpul seperti ini! Pan Lova luar biasa banget.”
Beby mengangguk sambil tersenyum, lalu berjalan ke arah Kezia. Mereka bersalaman dengan tamu-tamu dari komunitas UMKM dan literasi. Di antara tamu itu, ada juga wartawan lokal yang hendak meliput.
“Zia, lo siap?” bisik Beby.
Kezia mengangguk. “Siap. Tapi deg-degan juga.”
Beberapa menit kemudian, Kezia mengambil mikrofon dan berdiri di tengah ruangan. Suara-suara mulai mereda. Semua mata tertuju padanya.
“Selamat malam, semuanya,” sapanya. “Terima kasih sudah datang ke soft opening ruang komunitas Pan Lova. Tempat ini lahir dari mimpi. Juga, dari obrolan sore yang berubah jadi rencana, dari kerja keras, dan dari banyak cinta.”
Beberapa tamu tersenyum.
“Pan Lova bukan cuma tempat ngopi,” lanjut Kezia. “Kami ingin ini jadi tempat bertumbuh. Tempat berbagi ide, tempat belajar. Mulai minggu depan, akan ada kelas bahasa, workshop kerajinan tangan, diskusi buku, sampai open mic puisi. Semua bisa ikut. Semua bisa jadi bagian.”
Tepuk tangan pun bergema. Kezia menunduk hormat, menyerahkan mikrofon ke MC malam itu, lalu kembali ke bar bersama Beby.
Martin terpaku sejenak. Vanessa menoleh padanya.
“Gila, Kezia keren banget,” ujar Vanessa.
“Iya. Tapi ngana juga keren. Sama-sama bikin tempat ini jadi hidup.”
Vanessa hanya tersenyum. Lalu, seperti terpikir sesuatu, ia berdiri dan menarik tangan Martin.
“Ayo,” katanya.
“Ke mana?”
“Ke rak buku. Gue mau nunjukin sesuatu.”
Martin mengikuti Vanessa ke sudut yang agak sepi. Rak kayu dengan label “Baca Gratis” berdiri di situ. Ada banyak buku dari berbagai genre: novel, pengembangan kepribadian, sejarah, puisi. Di antara buku-buku itu, Vanessa mengambil satu.
“Ini buku yang pertama kali bikin aku mau jadi desainer ruang,” katanya, memperlihatkan buku berjudul The Third Place karya Ray Oldenburg.
Martin mengangguk pelan, membaca judulnya. “Tentang tempat ketiga?”
“Ya. Bukan rumah, bukan kantor. Tapi tempat orang merasa jadi dirinya sendiri. Aku mau Pan Lova seperti itu.”
Martin memandang Vanessa dengan mata yang penuh kagum. Tapi ia tak mengucapkan apa-apa. Hanya mengangguk, lalu berkata lirih, “Torang bisa bantu jaga tempat ini juga.”
Vanessa tersenyum. “Terima kasih, Martin.”
Sementara itu, Kezia berdiri sebentar di balkon. Angin malam Gading Serpong lembut membelai pipinya. Lampu jalan berpendar. Kota mulai tenang. Ia memejamkan mata sejenak.
Tak lama, suara familier terdengar di belakangnya.
“Zia,” panggil Matias.
Kezia membuka mata dan berbalik.
“Kamu datang juga?”
Matias tersenyum. “Walau cuma pengunjung, aku ikut bangga. Tempat ini cantik sekali.”
Kezia hanya mengangguk. Lalu dengan suara pelan ia berkata, “Kak Thalia masih begitu, Yas. Tapi saya udah mantap. Mau sama kamu.”
Matias terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Saya tunggu. Sampai kapan pun.”
Keduanya berdiri berdampingan di balkon, memandangi malam yang syahdu.
Di dalam, tawa pengunjung masih terdengar. Musik akustik kembali dimainkan. Suasana seperti pesta kecil di ruang keluarga.
Malam itu, Pan Lova tak hanya menyambut pengunjung barunya. Kafe itu juga menyambut sebuah awal baru bagi semua orang yang pernah merasa kehilangan, lelah, dan patah. Demi kembali menemukan harapan.
Di tengah-tengah keramaian kafe, Matias sekonyong-konyong mengajak Kezia meninggalkan Pan Lova. Ramai pengunjung belum juga surut, tapi sepertinya ada sesuatu yang terasa mengganjal dalam dada Matias. Ia tahu, hanya bisa dibicarakan di tempat yang lebih tenang.
Ia menghampiri Beby yang sedang berdiri di dekat rak buku, berbincang dengan salah satu rekan komunitas.
“Beby,” sapa Matias.
Beby menoleh, sedikit terkejut melihat Matias berdiri di situ dengan Kezia di sampingnya.
“Eh, Matias. Ada apa?”
“Anu... gue mau ajak Kezia keluar sebentar. Gak jauh, kok. Ada hal yang harus gue omongin sama dia. Private.”
Beby memandang Kezia, lalu Matias. Ada keraguan di matanya. Namun ia tahu, hubungan mereka bukan main-main. Sudah terlalu lama. Terlalu dalam.
“Oke, gue kasih izin,” ujar Beby pelan.
Matias mengangguk mantap. “Makasih banyak, Beby.”
Kezia mengecup pipi Beby singkat sebelum mengikuti Matias keluar.