NovelToon NovelToon
THE VEIL OF AEDHIRA

THE VEIL OF AEDHIRA

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Wanita / Cinta Istana/Kuno
Popularitas:410
Nilai: 5
Nama Author: Aisyah fahra

Di dunia Aedhira yang terpisah oleh kabut kegelapan, seorang gadis muda bernama Lyra menemukan takdirnya terjalin dengan rahasia kuno darah kabut, sihir yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan dunia. Ketika kekuatan gelap yang dikenal sebagai Raja Kelam mulai bangkit kembali, Lyra bergabung dengan Kaelen, seorang ksatria pemberani yang terikat pada takdirnya, untuk mencegah kehancuran dunia mereka.

Namun, semakin dalam mereka menggali sejarah dan rahasia darah kabut, semakin mereka menyadari bahwa takdir mereka lebih rumit dari yang mereka bayangkan. Terperangkap dalam permainan takdir yang tidak mereka pilih, Lyra harus menghadapi pilihan tak terhindarkan: menyelamatkan Kaelen dan dunia, atau mengorbankan keduanya demi sebuah masa depan baru yang tak diketahui.

Dalam pertempuran akhir yang melibatkan pengkhianatan, pengorbanan, dan cinta yang tak terbalas, Lyra menemukan bahwa tidak ada pahlawan tanpa luka, dan setiap kemenangan datang dengan harga yang sangat mahal. Ketika dunia

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah fahra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 28

Dunia Aedhira akhirnya bernafas. Bukan karena keajaiban besar atau sihir tingkat tinggi, tapi karena akhirnya... damai terasa nyata.

Angin berhembus pelan di padang luas sekitar Kuil Cahaya. Rumput mengayun lembut, menciptakan simfoni bisu bersama cahaya pagi yang hangat. Seekor burung kecil — yang mungkin dulu terjebak dalam kekacauan Void — kini berkicau riang sambil mencakar tanah, seolah lupa pernah hidup dalam bayang-bayang.

Kaelen duduk di atas batu besar, kakinya menggantung sambil mengunyah apel dengan sangat tidak anggun.

"Lo sadar nggak, Lyra," katanya sambil menatap ke kejauhan, "ini pertama kalinya gue nggak mikirin 'apa yang meledak berikutnya' sejak kita ketemu."

Lyra duduk bersila di rerumputan, menggambar sesuatu dengan ranting kecil. "Iya. Tenang, ya? Nggak nyangka dunia ini bisa punya mode silent."

Arven muncul membawa tiga gelas kayu berisi teh herbal. "Tenang, ya... tapi justru itu biasanya pertanda sebelum badai besar."

Kaelen mendesah. "Oh no, jangan mulai dengan ramalan petir lagi. Gue baru mulai nikmatin hidup."

"Nggak semua ketenangan berarti akhir," kata Arven pelan. "Kadang, ini hanya waktu yang diberikan semesta... untuk memilih siapa kita selanjutnya."

Lyra menatapnya, lalu menatap langit. “Gue nggak tahu harus jadi siapa kalau bukan 'yang nyelamatin dunia'."

Kaelen mengangkat alis. "Jadi Lyra yang suka tidur siang dan makan siomay sambil nonton langit. Bisa?"

"Tergoda," jawab Lyra sambil tersenyum.

Mereka bertiga lalu duduk berdekatan, menikmati teh, angin, dan sunyi yang terasa lebih seperti musik daripada kekosongan. Ini bukan momen besar. Bukan pertarungan, bukan perpisahan, bukan pengorbanan.

Tapi justru di sinilah... mereka merasa hidup.

Langit sore itu mendung, tapi tidak lagi muram. Angin berembus lembut, membawa aroma rumput basah dan dedaunan yang baru saja disiram hujan. Di atas bukit kecil yang menghadap ke lembah Aedhira, Lyra duduk bersila di atas selembar jubah tua milik Kaelen, memandangi hamparan alam yang tenang untuk pertama kalinya setelah sekian lama.

“Ini kayak... tenang sebelum badai ya,” gumam Lyra sambil menyandarkan tubuh ke belakang, tangannya menyangga di rumput basah. “Terlalu tenang. Gue gak percaya.”

Kaelen, yang berdiri tak jauh di belakangnya, hanya tertawa pelan. “Kau terlalu curiga pada kedamaian. Kadang, dunia cuma pengen diam sejenak.”

Lyra mendesah. “Well, pengalaman gue ngajarin, kalau dunia tiba-tiba diem, biasanya abis itu dia ngebanting semua kayak lemari tua. Bunyinya kenceng dan nyakitin.”

Kaelen mengangkat alis. “Analogi yang aneh. Tapi... bisa dimengerti.”

Arven duduk di sisi lain Lyra, tangannya memainkan sebuah batu kecil yang ia temukan di tepi bukit. “Aku setuju. Ketenangan ini... terasa nggak natural. Seolah ada sesuatu yang nahan napas.”

Tiba-tiba, udara bergetar. Ringan. Nyaris tak terasa. Tapi cukup untuk membuat bulu kuduk mereka merinding.

Lyra langsung duduk tegak. “Tuh kan, baru aja dibilang.”

Kaelen menoleh ke arah timur. “Itu dari arah Lembah Wyrm.”

“Bukannya tempat itu udah kosong?” tanya Arven.

“Secara teknis, iya,” jawab Kaelen. “Tapi... ada sesuatu di sana. Aku bisa merasakannya.”

Mereka bertiga saling berpandangan. Diam. Dalam kepala masing-masing, pikiran mulai berlari, menyusun kemungkinan, ancaman, rencana.

Lyra berdiri lebih dulu. “Kita cek ke sana. Gue udah cukup istirahat.”

Kaelen mengangguk pelan. “Kita tidak akan pergi bertarung. Hanya mengamati.”

“Yah, kalo ujung-ujungnya ribut, kita udah siap kan?” Lyra tersenyum kecil, walau matanya tak menyiratkan humor sedikit pun.

 

Perjalanan menuju Lembah Wyrm tidak memakan waktu lama, hanya beberapa jam jalan kaki. Namun, suasana berubah drastis saat mereka mendekat. Suara burung hilang. Angin yang tadi sepoi, kini diam. Langkah mereka terdengar terlalu keras di antara keheningan yang menegang.

Sesampainya di puncak bukit yang menghadap ke lembah, Lyra terdiam.

“Holy crap,” bisiknya.

Di bawah sana, puluhan sosok berjubah gelap bergerak seperti kabut. Mereka mengelilingi batu besar yang dulu dikenal sebagai Batu Arkan — tempat yang dulu digunakan para penyihir kuno untuk menyimpan sisa sihir dari Perang Pertama.

“Gue pikir Batu Arkan itu udah... mati,” ujar Lyra lirih.

Kaelen mengepalkan tangan. “Seharusnya memang begitu. Tapi kalau mereka membangunkannya kembali... maka batas antar dunia bisa terbuka.”

Lyra mendecak. “Oke. Itu baru kedengeran kayak masalah gede.”

Arven menghunus pedangnya perlahan. “Kita harus menghentikan mereka. Sekarang.”

Kaelen menggeleng. “Belum. Kita butuh tahu siapa mereka dulu. Siapa pemimpinnya.”

Seolah semesta mendengar, sosok tinggi dengan jubah ungu gelap naik ke atas batu. Wajahnya tertutup topeng logam berukir simbol-simbol Aether kuno.

“Namanya Vaerun,” ujar Kaelen dengan nada berat. “Dulu dia... temanku.”

Lyra menatap Kaelen dengan ekspresi campur aduk antara bingung dan khawatir. “Tunggu. Jadi lo punya mantan sahabat yang sekarang nyoba buka gerbang antar dunia?”

Kaelen hanya menatap lembah itu lama. “Cerita panjang.”

Lyra menyengir tipis. “Yah, kita semua punya mantan yang ngeselin.”

 

Tanpa diketahui oleh mereka, seseorang lain sedang mengamati dari kejauhan. Seorang gadis dengan rambut perak dan mata ungu yang memantulkan cahaya aneh — seperti sedang menyimpan galaksi kecil di dalamnya. Ia tersenyum kecil.

“Akhirnya kalian tiba juga,” bisiknya. “Aedhira belum selesai menguji kalian.”

Dan angin kembali berembus. Kali ini, membawa aroma sihir dan pertanda bahaya yang makin dekat.

Langkah-langkah mereka berderap di dalam lorong batu yang makin lama makin menyempit. Lyra bisa merasakan kulitnya merinding, bukan karena dingin, tapi karena firasat buruk yang mulai merayap di ujung nalar.

"Tempat ini... nggak enak banget auranya," gumam Arven, tangannya masih menggenggam gagang pedang di pinggangnya. “Kalau tiba-tiba ada kepala terbang, gua duluan yang balik arah, ya.”

“Thanks, ya, buat dukungannya,” sahut Kaelen sarkastik sambil menahan tawa. “Ingat, kamu satu-satunya yang bisa buka portal kalau kita stuck. Jadi please, jangan kabur duluan.”

Arven ngedengus. “Gua nggak janji.”

Mereka sampai di sebuah ruang terbuka yang dikelilingi oleh dinding-dinding tinggi dari batu hitam berurat ungu. Di tengah-tengah ruangan itu, ada sebuah altar — dan di atasnya, gulungan kertas kuno yang memancarkan cahaya kehijauan aneh.

“Menurutmu... itu ‘mantra kunci’ yang kita cari?” tanya Lyra, matanya tak lepas dari gulungan itu.

Kaelen mengangguk pelan. “Sepertinya. Tapi... terlalu gampang, nggak sih? Kita masuk, jalan lurus, dan bam—di depan altar. Kaya jebakan tutorial game zaman dulu.”

Arven menatap sekeliling, tubuhnya siaga. “Too easy is always sus.”

Dan seakan menjawab ucapan Arven, lantai di bawah kaki mereka tiba-tiba bergetar. Dari bayangan-bayangan di dinding, muncul sosok-sosok berwujud asap hitam, tinggi, tanpa wajah — seperti manusia kabut yang meneteskan kegelapan dari ujung jubahnya.

Lyra langsung mundur selangkah. “Oke. Plot twist detected.”

“Shadewraiths,” desis Kaelen. “Penjaga tempat ini. Kita ambil mantranya, mereka bakal—”

“Mampusin kita?” potong Arven. “Iya, udah kebaca, kok. Classic dark temple.”

Tanpa aba-aba, salah satu wraith menerjang Arven. Ia menghindar dengan lompatan cepat, lalu mengayunkan pedangnya, tapi bilahnya menembus udara kosong.

“Serangannya... lewat suhu!” seru Lyra. “Mereka nyerap panas! Itu kenapa tempat ini makin dingin!”

Kaelen mengangguk cepat. “Coba sihir api, Lyra! Pakai emosi yang kamu tahan!”

Lyra menutup mata sejenak, mengingat kembali rasa takutnya, amarahnya, kesedihannya—dan melepaskannya lewat kedua tangannya.

Seketika, bola api meledak dari telapak tangannya, menghantam satu wraith hingga wujudnya buyar dalam semburan asap.

Arven berseru, “YES! Pyro Queen strikes again!”

Tapi yang lain mulai mengepung mereka.

Kaelen menghunus belatinya, membisikkan mantra dan membuatnya menyala dengan cahaya keemasan. Ia menusuk wraith yang mendekat, dan meski gerakannya terbatas, sinar itu tampak memberi efek.

“Mereka bisa dikalahkan dengan cahaya juga!” katanya.

“Bagus. Dua opsi. Panas dan terang,” sahut Arven. “Sayangnya gua cuma bawa sarkasme dan senjata dingin.”

Lyra mengayunkan tangannya lagi, mengarahkan api ke wraith-wraith yang mendekat, dan Kaelen mulai merapal mantra untuk membentuk perisai cahaya di sekeliling altar. Arven, sambil menggerutu, mulai menggunakan gelang sihirnya untuk memantulkan cahaya ke arah musuh.

Tapi wraith-wraith itu semakin banyak. Dari celah-celah bayangan, makin banyak sosok muncul, dan suhu ruangan terus turun drastis.

“Gua bener-bener nggak suka tempat ini!” teriak Arven sambil menendang satu wraith — yang tentu saja tak mempan, dan malah bikin dia kesal sendiri.

“Aku bisa ambil gulungannya sekarang!” teriak Lyra.

“AMBIL! AKU TUTUP PINTUNYA!” balas Kaelen, mulai mengangkat mantra pelindung penuh.

Lyra berlari menuju altar, menghindari wraith yang mencoba menariknya ke kegelapan. Tangannya menyentuh gulungan itu—dan sebuah cahaya terang menyilaukan menyebar dari altar.

Wraith-wraith itu menjerit tanpa suara dan menghilang dalam sekejap, seperti asap tersedot ke dalam lubang vakum.

Lyra tersungkur, terengah-engah. Tangannya masih menggenggam erat gulungan yang kini tak bersinar lagi.

“Gimana rasanya?” tanya Arven, mendekat dan duduk di sebelah Lyra sambil menepuk debu dari bajunya. “Kaya... megang naskah ujian hidup-mati?”

Lyra menatapnya lemas. “Lebih kayak... pegang SK pemberhentian tetap dari hidup.”

Kaelen ikut duduk, wajahnya pucat karena kelelahan. “Kita dapetin satu. Tapi ini baru awal.”

Lyra memandang gulungan itu. Di dalamnya, tertulis mantra pembuka segel utama Aedhira — kunci pertama dari tiga. Dan dengan tiap kunci yang mereka kumpulkan, mereka juga membangunkan sesuatu yang... lebih besar.

Sesuatu yang mungkin sudah lama menunggu.

Dan baru saja bangkit.

Setelah berhasil membawa keluar gulungan mantra dari altar, ketiganya memutuskan untuk kembali ke ruang transit bawah tanah yang mereka lewati sebelumnya. Lorong itu terasa lebih lengang, tapi entah kenapa, keheningannya justru bikin bulu kuduk berdiri. Kayak habis buka kulkas kosong jam 2 pagi — gelap, sunyi, dan cuma ada rasa “something’s not right.”

Arven berjalan paling depan, sambil memainkan cahaya dari gelangnya, mencoba membentuk bayangan-bayangan lucu di dinding. “Kalau gue bikin bayangan naga yang lucu, kira-kira ada yang muncul nggak, ya?” katanya, separuh bercanda, separuh takut beneran.

“Kalau naga beneran muncul, kamu duluan yang gua korbankan,” sahut Kaelen dingin, tapi nadanya capek.

Lyra ikut tersenyum lemah. Meski bahunya masih berat oleh beban sihir dari gulungan itu, ia tahu mereka butuh sedikit humor agar tetap waras.

“Serius deh,” kata Lyra. “Kalian ngerasa nggak sih... tempat ini kayak nge-‘echo’ memori?”

Kaelen menoleh. “Maksudmu?”

“Kayak... suara kita berbalik, tapi bukan dalam bentuk gema. Tapi... dalam bentuk bayangan. Seolah tempat ini ngerekam semua yang kita ucapkan, rasakan.”

Arven langsung menatap sekeliling dengan tatapan ‘nggak nyaman banget nih’. “Jangan-jangan, ada versi bayangan kita lagi nonton kita dari cermin. Dan mereka ngasih rating kayak ‘hmm, akting Lyra bagus, tapi Arven terlalu banyak ngomong’.”

Kaelen mengernyit, lalu menatap dinding. “Kau benar, Lyra. Tempat ini... seperti ruang ingatan. Seperti sisa dari ‘Egregor’.”

“Egregor?” Lyra menegakkan badan. “Yang itu... legenda tentang kesadaran kolektif yang bisa hidup karena kumpulan emosi dan pikiran?”

Kaelen mengangguk. “Ya. Tapi... bukan cuma legenda. Egregor adalah manifestasi. Di Aedhira, jika cukup banyak rasa takut, harapan, atau luka dikumpulkan di satu tempat... mereka bisa jadi makhluk. Atau ruang. Atau... kutukan.”

Arven melipat tangan. “Oke. Jadi kita lagi jalan di perutnya kutukan? Great. Kasih bumbu drama aja sekalian.”

Saat itulah, lorong tiba-tiba membelok ke arah sebuah dinding penuh ukiran. Mereka hampir saja melewatkannya, kalau Lyra tidak berhenti karena melihat cahaya samar dari celah-celahnya.

Ia menyentuh ukiran itu. Kulit jarinya langsung dingin, dan gambar-gambar di dinding mulai bergerak pelan, seperti animasi kuno.

Mereka melihat gambaran tiga sosok: seorang wanita bermantel putih, seorang pria berjubah gelap dengan mahkota patah, dan seorang pemuda dengan mata menyala — berdiri mengelilingi sebuah pohon bercahaya biru.

“Ini... bukan kisah rakyat,” bisik Kaelen. “Ini penggalan sejarah Aedhira.”

Lyra menyentuh bagian pohon itu — dan seketika ia melihat kilatan ingatan yang bukan miliknya:

Seorang pria berlutut di depan altar, berdarah-darah, memohon agar seseorang—atau sesuatu—menghidupkan kembali yang telah mati. Suara gaib berkata, “Setiap jiwa yang kau minta, akan membelah milikmu.”

Kilatan itu lenyap, dan Lyra terjatuh ke belakang.

Kaelen langsung menangkapnya. “Kau lihat sesuatu?”

Lyra mengangguk lemah. “Seseorang membuat perjanjian... dan mulai membayar dengan jiwanya.”

Arven menatap mereka berdua. “Gue makin yakin deh, petualangan ini tuh bukan tentang menyelamatkan dunia. Ini tentang siapa yang paling lama bertahan mental.”

Kaelen membantu Lyra berdiri. “Kita harus keluar dari ruang ini. Tempat ini bisa... mencuri kesadaran kalau kita terlalu lama di dalam.”

Mereka bergegas kembali ke lorong utama. Tapi saat hampir mencapai pintu keluar transit, lantai di depan mereka retak—dan dari celahnya, sebuah tangan hitam dengan jari panjang muncul, mencengkram udara.

“OH NO. OH NO NO NO,” Arven langsung mundur.

Tangan itu menarik tubuhnya sendiri keluar — sosok tinggi besar, bertubuh seperti asap hitam pekat, dengan wajah seperti topeng raksasa yang kosong.

“Egregor... nyata,” kata Kaelen pelan. “Dia terbangun.”

Makhluk itu mengeluarkan suara mendengung seperti ribuan bisikan di dalam telinga — menyatu jadi suara yang bikin dada sesak.

Lyra menggenggam gulungan erat. “Dia mencium mantra ini. Dia... lapar akan kekuatan.”

Makhluk itu mendekat — perlahan tapi pasti.

Arven menyalakan seluruh fitur gelangnya. “Gue tau kita pernah bilang ‘ayo bertarung’, tapi yang ini... kita kabur dulu aja, gimana?”

Kaelen dan Lyra serempak: “Setuju.”

Mereka berlari, melewati pintu batu yang mulai runtuh, dikejar oleh dengungan dan tangan-tangan asap yang mencakar udara.

Dalam benaknya, Lyra hanya punya satu pikiran:

Kalau ini baru awal, gimana nanti akhirnya?

Napak kaki mereka memantul cepat di sepanjang lorong yang mulai berubah bentuk. Langkah demi langkah, lorong itu seakan menghembuskan napasnya sendiri. Dindingnya yang tadinya padat mulai berdenyut pelan seperti jaringan otot—oh, ini bukan lagi lorong biasa. Ini udah kayak bagian dalam perut naga insomnia.

“Aku bersumpah, kalau ada suara yang bilang ‘selamat datang di perutku’, gue pingsan sekarang juga,” Arven ngos-ngosan di belakang, matanya terus menengok ke bayangan yang mengejar mereka.

Kaelen tidak menjawab, hanya menarik Lyra agar lebih cepat. Ia tahu, Egregor bukan makhluk yang bisa dikalahkan dengan sembarangan sihir. Dia bukan makhluk, dia adalah hasil—hasil dari penderitaan yang terus dipelihara di tempat ini.

Dan sekarang, si penderitaan punya kaki.

“Kita harus masuk ke jalur sihir terowongan kedua,” ujar Kaelen, menggerakkan telapak tangannya ke simbol di dinding kanan. Sebuah jalur baru terbuka, memperlihatkan koridor sempit penuh kristal biru yang menyala pelan.

“Ini... jalur sihir eksklusif?” tanya Arven sambil melirik sekitar. “Kenapa nggak dari tadi?”

“Karena sekali kita masuk sini, kita kehilangan arah waktu. Bisa keluar lima menit lagi... atau lima tahun ke depan,” jawab Kaelen tenang, seperti biasa, tapi kali ini matanya agak... stress.

“Yha.” Arven menarik napas. “Bagus. Kita bertiga masuk lorong misterius tak berdasar waktu dengan mood macam begitu. Great.”

“Masuk!” bentak Kaelen ketika bayangan hitam mulai menyusup dari celah lantai. Mereka bertiga melompat bersamaan—dan begitu masuk, semuanya... berubah.

**

Waktu tidak berjalan normal di lorong kristal itu. Mereka merasa berjalan, tapi tak pernah sampai. Rasanya seperti tidur siang yang terlalu lama — pas bangun bingung udah jam berapa, dan siapa presiden sekarang.

“Ada suara?” bisik Lyra. “Kalian dengar gak?”

Mereka berhenti. Kristal-kristal di dinding mulai bersinar lebih terang... dan gema suara-suara kecil mulai terdengar.

“...Lyra... Kaelen... Arven...”

Mereka bertiga saling melirik. Itu suara mereka sendiri—tapi terdistorsi, seperti rekaman kaset lama yang diputar terbalik.

“Gue... jujur takut sih,” bisik Arven. “Kalau ini semacam ruang psikologis yang nyiksa lewat trauma, I’m out.”

Lyra mengangguk. “Ini bukan cuma ruang waktu... ini proyeksi bawah sadar. Tempat semua ketakutan kita bersembunyi.”

Kaelen berhenti. Ia melihat satu kristal besar bersinar—dan dari dalamnya, muncul bayangan dirinya sendiri. Tapi bukan dia yang sekarang. Itu dia... waktu kecil. Di bawah reruntuhan istana lamanya, menangis memeluk tubuh seseorang.

Ibunya.

“Kaelen?” suara Lyra lembut. Tapi Kaelen tak menjawab.

Bayangan kecil itu memandangnya. “Kenapa kamu pergi? Kenapa kamu nggak selamatin Ibu?”

Kaelen terdiam. Rahangnya mengeras. Tangannya mengepal.

“Jangan dengarkan dia, itu bukan nyata,” Lyra menarik lengannya, tapi Kaelen justru maju satu langkah.

“Aku memang gagal,” bisik Kaelen.

Kristal itu bergetar.

Dan dari sisi lain, muncul pula kristal Lyra—memperlihatkan masa kecilnya, ketika dia sendirian di kamar, menunggu ibunya yang tidak pernah pulang. Lalu ayahnya—Auron—muncul, tapi tak berkata apa-apa, hanya berdiri dengan wajah penuh luka, matanya kosong.

“Ayah...”

“Lyra, itu bukan dia.” Arven mulai panik. “Tempat ini nyedot memori dan nurani kita buat ngasih kita ilusi. Kayak... horor psikologis, tapi versi high magic.”

Satu-satunya yang belum muncul... adalah kristal Arven.

Dia pun mencari. Dan akhirnya, satu kristal kecil menyala—dan menampakkan seorang anak lelaki duduk sendirian di atas ranjang rumah sakit. Di tangannya, ada surat undangan akademi sihir. Tapi tak ada siapa-siapa yang menemaninya. Hanya ruangan putih, sunyi.

“Gue... benci ruangan itu,” kata Arven pelan. “Dulu gue kira semua yang datang ke akademi tuh punya orang tua yang bangga. Ternyata nggak semua.”

Kristal-kristal itu mendesis, seolah kenyataan mereka menolak dilihat terlalu lama.

“Dengar,” kata Lyra tegas. “Kita semua punya luka. Tapi ruang ini bukan untuk menyembuhkan—ini untuk menghancurkan. Jadi kalau kita ingin keluar... kita harus melewatinya, bukan melawannya.”

Kaelen menarik napas. “Kau benar.”

Arven mengangguk. “Gue setuju... tapi jujur, ini kayak sesi terapi dadakan. Nggak siap sih.”

Lyra maju lebih dulu. Ia meletakkan tangannya pada kristal yang memunculkan bayangan ayahnya. Dan ia berkata, “Aku tak butuh jawaban darimu. Aku akan menciptakan jalanku sendiri.”

Kristal itu pecah.

Kaelen mengikuti. Ia menatap bayangan kecilnya dan berkata, “Aku masih hidup. Itu satu-satunya yang bisa kulakukan saat itu.”

Pecah.

Arven, dengan gaya khasnya, menyentuh kristal kecilnya dan berkata, “Gue tahu nggak semua anak dapat pelukan tiap hari... tapi setidaknya, sekarang gue punya dua orang gila yang bisa lari bareng pas dikejar kutukan. Itu cukup.”

Pecah.

Begitu tiga kristal itu hancur, jalan di depan mereka terbuka — dan lorong kristal pun lenyap, digantikan oleh cahaya lembut dari luar.

Mereka telah keluar.

Mereka kini berdiri di dataran tinggi berbatu, dengan langit malam di atas dan bintang-bintang yang... bernapas? Oke, itu mungkin cuma efek sihir sisa.

Tapi satu hal pasti—di depan mereka, terbentang puncak Aetherial Spire. Tempat di mana tirai terakhir antara dunia dan kekuatan Aedhira disimpan.

Arven menepuk pundak Kaelen. “Kalau ini yang disebut ‘liburan mistis’, gue tuntut refund.”

Lyra tertawa kecil. Tapi tawanya segera mereda ketika ia menatap puncak gunung di kejauhan.

Karena... ia tahu. Di balik tirai Aedhira, bukan hanya kekuatan yang menanti. Tapi kebenaran yang bisa membakar segalanya.

Dan babak terakhir... hampir dimulai.

1
🍭ͪ ͩ💜⃞⃟𝓛 S҇ᗩᑎGGITᗩ🍒⃞⃟🦅
kau terasing di dunia nyata
tapi kau di harapkan di dunia edheira
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!