Elina adalah seorang pengacara muda handal. Di usianya yang terbilang masih muda, dia sudah berhasil menyelesaikan banyak kasus penting di karirnya yang baru seumur jagung.
Demi dedikasinya sebagai seorang pengacara yang membela kebenaran, tak jarang wanita itu menghadapi bahaya ketika menyingkap sebuah kasus.
Namun kehidupan percintaannya tidak berbanding lurus dengan karirnya. Wanita itu cukup sulit melabuhkan hati pada dua pria yang mendekatinya. Seorang Jaksa muda dan juga mentor sekaligus atasannya di kantor.
Siapakah yang menjadi pilihan hati Elina?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ichageul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sidang Kedua
“Apa pernah terbersit dalam pikiran Ibu untuk membalas perbuatannya?”
“Pernah.”
“Apa pernah terbersit dalam pikiran Ibu untuk membunuhnya?”
“Keberatan Yang Mulia!” seru Elina.
“Saya hanya mencoba menggali keinginan terdakwa, Yang Mulia.”
“Jaksa mencoba menuntun terdakwa mengikuti alur yang dibuatnya, Yang Mulia.”
“Keberatan diterima.”
Santi menarik nafas beberapa kali lalu menghembuskannya perlahan. Perdebatan antara Carya dan Elina barusan tak ayal membuatnya semakin gugup. Carya kembali mengajukan pertanyaan pada Santi.
“Apa yang terjadi malam itu?”
“Saya dan suami bertengkar. Seperti biasa dia selalu memukuli saya.”
“Hal itu membuat Ibu berniat membalas perbuatan suami Ibu?”
“Saya terpaksa. Kalau saya tidak melawan, mungkin saya akan mati malam itu.”
“Karena itu Ibu berlari mengambil pisau lalu menusukkannya ke perut suami Ibu.”
“Saya memang melakukan itu. Tapi saya melakukannya tidak sengaja. Saya didorong hingga membentur meja. Begitu melihat pisau, refleks saya mengambilnya..”
“Dan menusuk suami Ibu,” lanjut Carya memotong ucapan Santi.
“Iya. Tapi..”
“Ibu menusuknya lalu mencabutnya kemudian lari keluar rumah.”
“Saya tidak mencabutnya.”
“Pisau ditemukan petugas polisi tergeletak di lantai. Saat Ibu menusuk suami Ibu, apa Ibu merasakan kepanikan?”
“Iya.”
“Ibu panik, karenanya Ibu tidak sadar ketika menusuknya lalu menarik pisau tersebut.”
“Keberatan, Yang Mulia. Jaksa mencoba menggiring opini terdakwa agar mengikuti asumsinya,” kembali Elina mengajukan keberatan.
“Keberatan diterima. Perhatikan pertanyaanmu, saudara Jaksa.”
“Tidak ada pertanyaan lagi, Yang Mulia.”
Carya mengakhiri sesi tanya jawabnya dengan Santi. Pria itu kembali mejanya. Sekarang giliran Elina yang bertanya. Wanita itu bangun dari duduknya lalu mendekati Santi.
“Ibu Santi, coba ceritakan lagi kejadian saat Ibu mengambil pisau dan menusuk suami Ibu.”
“Saat itu suami saya terus memukuli saya. Saya mencoba melawan, namun tenaganya terlalu besar. Dia mendorong tubuh saya sampai membentur meja. Di sana saya melihat pisau. Tanpa pikir panjang, saya langsung mengambilnya. Ketika membalikkan badan, suami saya sudah berada di depan saya dan tanpa sengaja pisau menancap di perutnya.”
“Jadi, penusukan itu terjadi karena ketidak sengajaan?”
“Iya.”
“Ibu tidak pernah bermaksud membunuh suami Ibu?”
“Tidak.”
“Apa suami Ibu sering berbuat kasar pada Ibu?”
“Iya.”
“Apa Ibu selalu melawan ketika dipukuli?”
“Tidak.”
“Apa yang membuat Ibu berani melawan malam itu?”
“Karena dia mencoba menyakiti anak saya.”
“Ketika pisau itu sudah menancap di perut suami Ibu. Apa yang Ibu lakukan?”
“Saya terkejut. Saya segera mengambil anak saya dan berlari keluar rumah.”
“Bagaimana keadaan suami Ibu waktu itu?”
“Dia jatuh ke lantai. Tapi saya bersumpah dia masih hidup ketika saya pergi dari sana.”
“Yang Mulia, terdakwa memang menusuk korban, tapi itu dilakukan bukan dengan sengaja. Tidak ada niatan dari terdakwa untuk mengambil nyawa korban. Dia melakukan itu demi membela dan melindungi dirinya dan juga anaknya. Setelah penusukan yang terjadi tanpa sengaja, terdakwa meninggalkan rumah dengan anaknya. Ketika jasad korban ditemukan, korban sudah meninggal dunia karena kehabisan darah. Pisau tergeletak di lantai, besar kemungkinan ada pihak lain yang masuk dan membunuh korban. Terdakwa tidak bersalah dan apa yang dilakukannya hanya pembelaan diri. Sekian Yang Mulia.”
Elina kembali ke mejanya. Hakim memerintahkan Santi meninggalkan kursi terdakwa. Wanita itu kini duduk di samping Elina. Sekarang Carya kembali bangun, dia memanggil saksi yang akan mendukung dakwaannya. Seorang pria paruh baya memasuki ruangan. Dia adalah orang yang pertama kali menemukan jasad Hadi. Setelah diambil sumpahnya, barulah Carya mulai menanyai saksi.
“Siapa nama Bapak?”
“Ujang Rahman.”
“Apa Pak Ujang tetangga dari terdakwa?”
“Iya. Rumah saya hanya berselang tiga rumah saja.”
“Jam berapa Bapak menemukan Pak Hadi dalam keadaan tak bernyawa?”
“Jam lima shubuh. Saya baru saja pulang dari mushola. Saya melihat pintu rumah Hadi terbuka. Karena penasaran, saya mengecek dan ternyata Hadi sudah meninggal.”
“Bagaimana keadaan korban ketika Bapak menemukannya?”
“Dia tergeletak di lantai. Darah menggenangi lantai di mana dia berada dan tak jauh darinya ada pisau yang tergeletak. Saya langsung menelpon polisi ketika menemukannya.”
“Apa Bapak melihat ada orang mencurigakan di sekitar rumah waktu itu?”
“Tidak ada.”
“Ketika malamnya, jam berapa masuk ke dalam rumah?”
“Saya mengunci pagar sekitar jam sepuluh malam.”
“Apa Bapak melihat ada orang mencurigakan?”
“Tidak ada.”
“Apa Bapak tahu kalau korban dan terdakwa sering bertengkar?”
“Ya, Hadi sering memukuli Santi. Tapi saya tidak berani ikut campur urusan mereka.”
“Jadi peristiwa malam itu bukan yang pertama?”
“Iya.”
“Jadi jika suatu waktu penusukan itu terjadi, adalah hal yang bisa diprediksi?”
“Bisa jadi.”
“Yang Mulia, malam itu benar telah terjadi penusukan pada korban. Jika alasannya untuk membela diri, terdakwa bisa saja melumpuhkannya dengan benda lain. Tapi di antara benda yang ada di rumah, terdakwa memilih pisau. Itu tandanya walau hanya sepersekian detik, sudah terlintas dalam pikiran terdakwa untuk membunuh korban. Sekian Yang Mulia.”
“Saudara penasehat, apa anda ingin bertanya pada saksi?”
“Tidak, Yang Mulia.”
Hakim mempersilakan Ujang meninggalkan kursi saksi. Selanjutnya Elina memanggil saksi dari pihaknya. Dia memanggil dokter Akmal yang bertugas sebagai dokter forensik untuk bersaksi. Pria berusia empat puluh akhir itu berjalan menuju kursi saksi. Dia diambil sumpahnya lebih dulu sebelum memberi kesaksiannya. Elina bangun dari duduknya, lalu mendekati kursi saksi.
“Dokter Akmal, anda yang bertugas untuk mengautopsi korban?”
“Iya.”
“Sudah berapa lama anda bertugas sebagai dokter forensik?”
“Kurang lebih 20 tahun.”
“Berarti anda sudah sering kali menangani berbagai kasus pembunuhan?”
“Iya.”
“Bagaimana dengan kasus Pak Hadi? Apa ada yang aneh dengan luka tusukan yang dialaminya?”
“Bekas luka tusukan korban saya pikir terjadi dua kali.”
“Apa maksud dokter?”
Lebih dulu dokter Akmal meminta panitera pengganti menampilkan visual saat dirinya melakukan autopsi dan rekayasa visual untuk menjelaskan lebih detail tentang keterangan yang diberikan.
“Itu adalah luka tusukan yang dialami korban. Luka yang terlihat di permukaan. Jika di dalamnya, saya akan menggambarkan seperti ini.”
Visual kedua muncul. Di sana dokter Akmal sudah membuat video secara grafis yang menunjukkan proses penusukan terjadi.
“Penusukan pertama tidak dalam atau dangkal. Tusukan tidak menimbulkan kerusakan pada organ korban. Memang ada darah yang keluar, tapi tidak sampai membuat korban kehilangan banyak darah. Tapi tusukan kedua yang fatal. Tusukan ini mengenai organ vital dan pembuluh darah. Itulah yang membuat darah terus keluar hingga korban kehabisan darah.”
“Apa penusukan terjadi dua kali?”
“Ya, tapi tidak dengan mencabut pisau. Jika pisau dicabut, maka luka tusukannya tidak akan sama persis. Luka tusuknya masih berada di area yang sama, hanya saja terjadi penekanan lagi hingga mengenai organ vital.”
“Apa mungkin itu terjadi pada satu kali tusukan?”
“Seperti yang saya jelaskan, kemungkinan besar terjadi dua kali. Pisau yang masih menancap di perut didorong lebih dalam hingga mengenai organ vital.”
“Sekian, Yang Mulia.”
Merasa tak ada lagi yang perlu ditanyakan, Elina mengakhiri pertanyaan dengan saksi. Sekarang giliran Cahya yang bertanya.
“Jadi menurut analisa anda, terjadi dua kali penusukan di area yang sama dengan asumsi pisau masih tertancap di perut korban?”
“Iya.”
“Apa mungkin penusukan dilakukan oleh dua orang berbeda?”
“Bisa jadi.”
“Apa mungkin penusukan dilakukan oleh orang yang sama?”
“Bisa jadi.”
“Sekian, Yang Mulia.”
Kesaksian dokter Akmal dinyatakan selesai. Pria itu dipersilakan meninggalkan kursinya. Elina mengambil ponselnya ketika benda pipih persegi tersebut bergetar. Fathir mengabarkan kalau Desi bersedia memberikan kesaksian. Berkat dukungan suaminya, wanita itu memberanikan dirinya untuk bersaksi. Fathir juga langsung mengatur orang untuk menjaga kediaman wanita tersebut. Elina bangun dari duduknya.
“Yang Mulia, berdasarkan keterangan dokter forensik, dapat diambil kesimpulan kalau orang yang membunuh korban bukanlah terdakwa. Pembunuh sebenarnya memanfaatkan penusukan yang terjadi untuk menutupi perbuatannya. Demi menunjang apa yang saya katakan, saya akan memanggil saksi berikutnya.”
“Keberatan Yang Mulia, penasehat tidak mencantumkan saksi ini sebelumnya. Saksi tidak bisa diterima!”
“Orang yang akan bersaksi akan memberikan kesaksian penting dalam kasus ini.”
“Kalau memang saksi penting, harusnya didaftarkan lebih dulu,” debat Carya.
“Kami punya alasan sendiri tidak mendaftarkan saksi sebelumnya.”
Hakim menggerakkan jarinya meminta Elina dan Carya mendekat padanya. Dia ingin mendengar secara langsung alasan Elina mendatangkan saksi tanpa didaftarkan lebih dulu.
“Kenapa saksi anda tidak didaftarkan sebelumnya?”
“Keselamatan saksi terancam, Yang Mulia. Dia tidak bersedia bersaksi sebelumnya namun mengubah keputusannya di detik terakhir.”
“Itu bukan alasan, Yang Mulia. Seharusnya penasehat mendaftarkan saksi terlebih dulu. Soal dia akan datang atau tidak, bukan masalah.”
“Saksi merasa takut dan ragu karena diancam pembunuh sebenarnya, Yang Mulia.”
“Silakan panggil saksi anda.”
Elina dapat bernafas lega karena Hakim menerima alasannya. Elina memberikan tanda pada Fathir yang duduk di bagian belakang. Pria itu keluar dari ruangan dan tak lama kemudian Desi muncul bersama dengan suaminya. Wanita itu diantar ke depan. Elina mempersilakan Desi duduk di kursi saksi. Wanita itu bersiap menanyai Desi.
***
Lumayan alot ya perdebatan Elina dan Carya
aku yakin Gita suka sama Gerald , tapi sayangnya Gerald suka sama Elina . dan pada akhirnya nanti Elina malah mendukung Gita dengan Gerald .
pikiranku terlalu jauh gak sih , tapi namanya juga nebak , bener sukur , kalau salah ya udah berarti gak sesuai dengan ide cerita kak othor . jadi nikmati aja ya El......
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
tapi nabila ikutin alurnya mak author deh
sedangkan sama Zahran , Zahran bisa mengimbangi Elina biar kata Zahran menuruti elina tapi dia bisa membujuk Elina dan mengarahkan insyaallah bahagia terus kalau sama Zahran..
E..tapi kok aq lebih sreg EL sam bang Ge ya 🤭🤭🤭
Ya walaupun duda sih, kan skrg Duda semakin didepan 🤣🤣🤣
Tapi aq manut aja apa yg ditulis kak icha.,
Siapa tw dgn kasus ini akhrnya El sama Gita bisa jadi bestie ye kan....
Trys gita jadian sama zahran 🤣🤣🤣