NovelToon NovelToon
Nabil Cahaya Hidupku

Nabil Cahaya Hidupku

Status: sedang berlangsung
Genre:Single Mom / Anak Genius / Anak Yatim Piatu
Popularitas:7.5k
Nilai: 5
Nama Author: SOPYAN KAMALGrab

Nabil seorang anak berkepala besar
bayu ayahnya menyebutnya anak buto ijo
Sinta ibu bayu menyebuutnya anak pembawa sial
semua jijik pada nabil
kepala besar
tangan kecil
kaki kecil
jalan bungkuk
belum lagi iler suka mengalir di bibirnya
hanya santi yang menyayanginya
suatu ketika nabil kena DBD
bukannya di obati malah di usir dari rumah oleh bayu
saat itulah santi memutsukan untuk meninggalkan bayu
demi nabil
dia bertekad memebesarkan nabil seorang diri
ikuti cerita perjuangn seorang ibu membesarkan anak jenius namun dianggap idiot

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

menolong orang

“Brukkk!”

Pintu digedor keras.

Heru buru-buru berdiri dan berjalan ke arah pintu. Suasana yang tadinya hangat berubah tegang dalam sekejap. Santi memeluk bahu Nabil erat-erat, merasa ada sesuatu yang tak beres.

“Siapa malam-malam begini bertamu?” gumam Santi pelan, nyaris tak bersuara.

Heru membuka pintu perlahan. Di luar, tampak seorang lelaki berbaju lusuh berdiri dengan nafas memburu. Wajahnya tirus, matanya tajam, tapi tubuhnya gemetar.

“Mas… Mas Heru, tolong… anak saya sakit… saya… saya nggak punya uang buat berobat,” ucap lelaki itu dengan suara parau. Di belakangnya, seorang perempuan muda terlihat menggendong anak kecil yang pucat dan lemas.

Heru terdiam. Ia menoleh ke arah Santi dan Nabil yang ikut berdiri di belakangnya.

Santi langsung berjalan ke dapur, mengambil sisa uang dagangan hari ini. Ia tahu, rasanya jadi orang yang tak punya dan minta tolong dalam gelap malam.

“Ini, Pak,” ucapnya sambil menyodorkan beberapa lembar uang. “Nggak banyak… tapi semoga cukup buat bawa anaknya ke klinik.”

Santi baru saja menutup pintu ketika ia menyadari Nabil berdiri diam di tengah ruang tamu. Pandangannya tajam menatap ember berisi air yang tadi digunakan untuk mengepel.

“Nabil, kamu kenapa?” tanya Santi pelan.

“Panasnya tinggi, bisa kejang, bahaya,” gumam Nabil. Ia berjalan cepat ke dapur, membuka kulkas, mengambil es batu, lalu kembali dengan kain bersih.

“panas tinggi, harus kompres, nanti bisa mat, kompres kepala dan lipat paha anaknya, jangan pakai alkohol. Air dingin cukup.”

Santi dan Heru saling pandang.

“Kamu... belajar dari mana?” tanya Heru hati-hati.

“ada dibuku, ibu juga begitu waktu Abil panas, aku harus cepat"

Nabil berlari kecil mengejar becak motor yang mulai menjauh. Santi menyusul, membawa jaket buat Nabil. Mereka berhenti di perempatan, dan Nabil menyerahkan kain kompres itu ke si bapak yang sedang menggendong anaknya.

“Tempelkan ini di kepala dan paha anaknya. Ganti tiap sepuluh menit,” ucap Nabil pelan namun mantap. Tatapannya menembus mata Sardi, seolah ingin memastikan bahwa pesan itu dipahami. “Jangan panik.”

Sardi mengangguk cepat, tak sempat bertanya siapa bocah kecil itu. Ia langsung mengikuti instruksi, menekan kain basah ke kening dan paha Tiara yang tergolek lemas di pangkuannya. Tubuh kecil itu panas membara, seperti bara yang membakar perlahan.

Di pinggir jalan yang masih ramai oleh suara klakson dan motor, Sardi hanya bisa duduk bersandar di tembok toko tutup. Matanya tak lepas dari wajah pucat anaknya. Sesekali ia menengok ke ponsel jadulnya—layar retak dan baterai hampir habis, tapi angka jam masih bisa dibaca. Sepuluh menit berlalu, ia mengganti kain kompres dengan yang baru, seperti yang disuruh bocah itu.

Bayangan kejadian beberapa jam lalu melintas, membakar dadanya dengan luka yang belum sempat sembuh.

"Pergi kamu! Bawa anak tak berguna itu. Dasar laki-laki tak berguna!"

Suara Mila, istrinya, masih terngiang jelas. Sakit. Pedih. Bukan karena bentakan itu, tapi karena dilontarkan di depan Tiara. Anak mereka. Anak yang sakit panas tinggi, menggigil di atas kasur tipis, tapi tak diacuhkan oleh ibunya sendiri.

Semenjak kehilangan pekerjaan, Sardi merasa seperti benda rusak di rumah itu. Tak berguna. Tak dipandang. Mila berubah—atau mungkin selama ini ia memang begitu, hanya tersamar oleh kenyataan bahwa Sardi dulu punya uang. Tapi sekarang? Uang habis, hormat pun ikut pergi.

Namun Tiara—Tiara tidak pernah berubah. Meski lemah, dia tetap memanggil "Ayah" dengan suara kecil yang membuat dada Sardi sesak. Anak itu adalah alasan Sardi masih bertahan.

Malam itu, ia meninggalkan rumah. Bukan karena ingin kabur, tapi karena tak sanggup lagi melihat anaknya diusir seperti sampah. Ia menggendong Tiara dan berjalan, entah ke mana, sambil menahan air mata. Ia sempat meminjam uang, memohon belas kasih—tapi tak seorang pun peduli.

Sampai ia ingat Heru. warung depan pabrik tempat dia memungut botol air mineral, yang selalu menyapa ramah setiap pelanggan , Sardi menyimpulkan kalau Heru pasti orang baik makanya dia memberanikan malam-malam menggedor warung heru.

“Tuhan,” bisik Sardi lirih sambil menatap langit, “semoga keluarga itu diberi anugerah yang besar.”

Beberapa saat kemudian, becak motor yang disewa Heru akhirnya membawanya ke klinik. Tiara digendong, tubuhnya sudah sedikit lebih tenang. Hatinya berdebar, takut kehilangan, tapi juga ada secercah harapan.

Setibanya di ruang IGD, perawat langsung membawa Tiara masuk. Dokter datang tergesa, memeriksa suhu tubuh dan memuji tindakan awal yang dilakukan.

“Untung saja dikompres. Bagus sekali itu, Pak,” kata sang dokter.

Sardi menunduk, suaranya tercekat. “I-ya, Pak.”

“Belajar dari mana, Pak, pertolongan seperti itu?”

Sardi mengangkat wajah, matanya berkaca-kaca. “Ini... saran dari tetangga saya, Pak.”

Dokter mengangguk kagum. “Anda berhutang nyawa pada tetangga Anda.”

Ucapan itu seperti membuka bendungan emosi di dalam hati Sardi. Air matanya jatuh, bukan karena lemah, tapi karena syukur yang dalam. Ia terisak pelan, membayangkan betapa tipis batas antara hidup dan kehilangan.

Andai malam itu ia tak bertemu Heru.

Andai Nabil tidak muncul dan memberi saran.

Andai ia menyerah.

Mungkin Tiara sudah tak ada.

....

Pagi datang perlahan, menggulung sisa gelap malam dengan lembut. Udara masih dingin, embun belum hilang dari dedaunan. Seperti biasa, Santi sudah bangun sebelum azan Subuh berkumandang. Wajahnya tenang, tangannya cekatan menyiapkan perlengkapan dapur. Di sudut lain rumah, Heru juga bangun. Rutinitas pagi sudah menunggu.

Sementara itu, Nabil masih terlelap, selimutnya setengah terlepas, napasnya pelan dan damai.

Heru berjalan ke depan cermin kecil di dekat dapur, lalu berdiri tegap seperti sedang di atas panggung. Ia tersenyum lebar, memandang bayangannya sendiri.

“Selamat pagi para pelanggan yang terhormat. Kebahagiaan bagi saya melayani Anda. Silakan menikmati barang dagangan kami. Kepuasan Anda adalah kebahagiaan kami!” ucapnya penuh semangat.

“Ehem.” Santi berdehem dari balik dapur sambil mengangkat alis. “Kamu cocok jadi sales panci.”

Heru tertawa kecil. “Hehe… Aku nggak nyangka dulu harus panas-panasan macul di sawah. Sekarang aku harus belajar senyum setiap hari.”

Santi tersenyum. “Nikmati aja, Ru. Niatkan ibadah. Jangan niatkan hanya supaya dagangan kita laku. Senyum itu juga ibadah. Laris tidak laris, Allah yang menentukan. Kita cuma bisa berusaha dan berdoa.”

Heru mengangguk, matanya bersinar. “Siap, Kakakku.”

Santi mulai menggoreng tempe dan tahu, aroma harum mulai menyebar. Heru mencuci piring, lalu mengepel lantai dan mengelap toples-toples camilan di etalase warung kecil mereka. Pagi itu, seperti biasa, dimulai dengan kerja keras, canda kecil, dan keyakinan bahwa setiap senyum dan usaha punya makna.

..

Rolling door baru saja terbuka penuh, aroma gorengan mulai menyebar dari dapur kecil di belakang. Heru sedang menata toples kripik ketika suara nyaring itu kembali terdengar.

"Aku mau kalian tutup warung kalian!"

Sosok perempuan kurus itu berdiri dengan tangan bertolak pinggang, ekspresinya ketus. Dialah Dewi, pemilik warung yang letaknya hanya sepuluh meter dari tempat Heru dan Santi. Sejak warung Heru mulai ramai, Dewi seperti tidak pernah kehabisan alasan untuk mencari masalah.

"Astaga... aku kira pelanggan. Ternyata malaikat pencabut nyawa sudah berdiri di depan pintu warung kami," kata Heru setengah bercanda, setengah sebal.

“Heru!” Santi menyikut lengan adiknya, menahan agar tidak menambah bensin di atas api.

Mohon dukungan untuk like, coment ya...

1
Wanita Aries
Kok gak lanjut lg thor pdhl nungguin yg ini upnya
Vina Nuranisa
lanjuttt kakkk
Wanita Aries
Kapan update lagi thor..
karya bagus
Wanita Aries
Cerita baguss
Fasa
Seruuu, lanjutkan thor
Irma Minul
lanjut kak slalu ditunggu upnya
Irma Minul
luar biasa kak 👍👍👍
Wanita Aries
Wkwkwk 🤣🤣🤣 heru2 bisa aj


Up yg byk thor seruu
Arlis Wahyuningsih
mantap om.Heru...sikat aja mak.lampirnya🤭🤭
Nur Syamsiah: menarik pintar
Serenarara: Ubur-ubur makan sayur lodeh
Minum sirup campur selasih
Coba baca novel berjudul Poppen deh
Dah gitu aja, terimakasih /Joyful/
total 2 replies
Devika Adinda Putri
selalu di tunggu upnya
Devika Adinda Putri
dayly up date kak selalu di tunggu
Tata Hayuningtyas
suka dengan cerita nya
Tata Hayuningtyas
up nya lama sekali Thor...tiap hari nunggu notif dari novel ini...kalo bisa jgn lama2 up nya Thor biar ga lupa SM ceritanya
Wanita Aries
Nah yg bertamu ibu2 yg merasa trsaingi jualannya
Wanita Aries: Bner bgt ka sllu nungguin update
Vina Nuranisa: nagih bgt ceritanya wkwk
total 2 replies
Wanita Aries
Mantap santi mnjauhlah dari org2 dzolim
Vina Nuranisa
kapan up lagii dah nungguin bgt😁
Wanita Aries
MasyaAllah nabil hebat pinter
Wanita Aries
MasyaAllah nabil
Yurnalis
cerita yang bagus semangat terus di tunggu lanjitannya
Wanita Aries
Menguras emosi karyamu thor
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!