Nabil Cahaya Hidupku

Nabil Cahaya Hidupku

anak yang dibuang saat sakit

“Bang, ayo bawa Nabil ke rumah sakit,” suara Santi bergetar, nyaris tak terdengar. Ia mendekap tubuh kecil putranya yang menggigil hebat. Napas Nabil sesak, wajahnya pucat seperti tak lagi dialiri darah. Panas tubuhnya membakar, membuat peluh membasahi kening mungilnya.

Bayu duduk di depan televisi. Tatapannya kosong. Tak bergeming, seolah suara istri dan derita anaknya tak ada artinya dibanding tontonan malam itu.

“Bang, tolonglah… Nabil makin parah. Ini bisa jadi DBD atau tipes. Aku mohon,” ucap Santi lagi. Kali ini air matanya tak terbendung, jatuh satu-satu ke pipi Nabil yang panas.

“Brisik amat, sih! Ganggu aja!” Bayu membentak, masih tak menoleh. Kata-katanya bagai cambuk yang menyayat.

Santi merapatkan selimut ke tubuh Nabil, berusaha menahan tangis. “Dia anak kita, Bang… Tolong…”

Mata Bayu akhirnya berpaling. Tapi bukan dengan iba, melainkan amarah dan benci. “Udah kubilang! Anak itu mending lo bawa ke panti! Anak idiot, cacat, gak guna! Buat apa diselamatin?”

Santi terdiam. Jantungnya seperti diremas. Kata “idiot” itu terasa seperti peluru yang menembus hatinya. Air matanya mengalir deras. Bagaimana bisa, seorang ayah begitu tega menghina darah dagingnya sendiri?

Pintu kamar terbuka. Sinta, ibu mertua Santi, keluar dengan wajah kusut.

“Ada apa sih ribut-ribut?” gerutunya.

“Si Santi maksa bawa anak sialan itu ke rumah sakit. Mau minta duit buat berobat segala,” Bayu menjawab cepat, penuh kejengkelan.

Sinta melipat tangan di dada, mendengus sinis. “Buat apa? Anak cacat kayak gitu cuma buang-buang uang. Nanti juga gak akan jadi siapa-siapa. Gak bakal bikin bangga keluarga.”

Santi menatap mertuanya dengan mata memohon. “Bu… itu cucu Ibu… Dia juga manusia, tolonglah...”

“Cucu apaan! Cuma bawa sial!” Sinta menjawab, membalikkan badan.

“Bener kata Ibu!” sahut Nunik, adik iparnya, dari balik pintu. “Anak cacat gitu ngapain diurus? Malah bawa bencana!”

Santi berdiri. Seluruh tubuhnya bergetar. Tapi bukan lagi karena takut—melainkan karena amarah dan luka yang tak tertahan.

“Cukup!” suaranya meninggi, matanya sembab. “Kalau kalian tak mau bantu, tak apa. Tapi jangan hina anak saya! Dia bukan sampah! Dia anugerah, meski kalian tak bisa melihatnya!”

Bayu berdiri. Mata merah, wajah penuh kemarahan.

“Sudah berani kau sekarang?”

Ia masuk ke kamar, menarik keluar pakaian Santi dan Nabil. Dilemparkannya ke lantai, diinjak-injak dengan amarah yang membabi buta. “PERGI KAU DARI SINI! SEKARANG JUGA!”

Santi tertegun. Namun air matanya tak lagi setakut tadi. Dengan tangan gemetar, ia memunguti satu per satu baju mereka yang kini kotor. Dimasukkannya dalam keresek hitam. Nabil masih dalam pelukannya, tubuhnya lemas, demamnya tinggi.

Sebelum melangkah keluar rumah, ia menatap satu per satu wajah yang pernah ia panggil keluarga.

“Kelak, kalian akan tahu… anak yang kalian hina hari ini, akan berdiri lebih tinggi dari hinaan kalian.”

Lalu ia berjalan pergi. Dengan langkah lunglai, tapi hati yang mulai menyala. Untuk Nabil. Untuk hidup yang lebih layak. Untuk harga diri yang tak bisa dibeli oleh cinta yang salah.

Langkahnya pelan, seperti menyeret luka yang belum sempat mengering. Tapi Santi tetap berjalan. Tanpa menoleh. Tak ada gunanya lagi berharap dari rumah yang tak pernah benar-benar menjadi rumah.

“Jangan pernah kembali lagi, Santi!”

Teriakan itu melesat dari balik pintu yang dibanting. Menyayat, tapi tak mengejutkan. Kalimat itu hanyalah paku terakhir dari luka yang sudah lama menganga.

Hujan turun pelan, gerimis yang menggigit kulit. Santi memeluk Nabil erat-erat. Tubuh mungil itu panasnya semakin tinggi. Nafasnya pendek-pendek, menggigil seperti daun yang diterpa badai.

“Nabil… bertahan ya, Nak. Ibu di sini…” bisiknya di tengah dingin malam. Tangannya menggenggam erat, seolah bisa memindahkan sedikit kekuatan dari tubuhnya yang lelah kepada anak lelakinya.

“Kita pasti bisa cari pertolongan… pasti ada jalan. Allah pasti bukakan jalan.”

Langkahnya membawa mereka ke jalan desa yang sepi. Lampu jalan remang menyinari tanah becek yang dilaluinya dengan sandal jepit usang.

“Santi?”

Sebuah suara menyapanya dari kejauhan. Santi menoleh.

Pak Budi, ketua RT, berdiri di bawah tiang listrik dengan payung di tangan. Wajahnya terkejut melihat Santi yang basah kuyup sambil menggendong Nabil.

“Ya Allah, kamu kenapa malam-malam begini di luar? Nabil kenapa?”

Santi menggigit bibir. Tak sanggup bicara. Air matanya saja yang menjawab. Mengalir, menyatu dengan hujan.

Pak Budi segera mendekat. Ia menyentuh kening Nabil, lalu menghela napas cemas. “Ini panas tinggi… sepertinya DBD, San. Kamu tunggu di sini, aku ke kantor desa, kita panggil ambulans!”

Santi mengangguk lemah. Kakinya nyaris tak mampu menopang tubuh. Tapi hatinya... masih kuat menggenggam harapan kecil itu.

Tak lama, suara sirine ambulans kecil desa terdengar. Dua petugas turun dengan cepat, membawa Nabil dengan tandu seadanya.

“Ayo, San. Kamu ikut. Kita ke rumah sakit sekarang,” ucap Pak Budi lembut. Dalam hujan dan dingin malam, suara itu seperti selimut yang menghangatkan jiwanya.

Di dalam ambulans, Santi menggenggam tangan Nabil. Bibirnya terus komat-kamit, entah doa, entah pengakuan, entah permohonan ampun. Tapi satu hal pasti: ia tak akan menyerah.

Sesampainya di rumah sakit, Nabil langsung masuk ruang IGD. Dokter dan perawat sigap bekerja. Infus, selang oksigen, selimut hangat—semuanya dipasang nyaris tanpa suara. Hanya alat monitor yang berbunyi lirih, seolah menandai betapa rapuhnya batas antara hidup dan mati.

Pak Budi mengurus administrasi. Santi hanya bisa duduk, menggigil di pojok ruangan. Ia tak tahu bagaimana membayar, tapi Pak Budi menenangkannya. “Tenang, sudah aku daftarkan lewat program bantuan desa. Nabil bisa dirawat gratis.”

Air mata Santi jatuh lagi. Tapi kali ini, bukan karena sakit. Tapi karena syukur.

Dokter keluar dari ruang IGD.

“Untung datang tepat waktu, Bu. Kalau telat sedikit… maaf, kami tak bisa jamin. Nanti, kalau gejala seperti ini muncul lagi, langsung ke rumah sakit. Jangan ditunda.”

Santi menunduk. Ingin menjelaskan bahwa bukan karena tak peduli... tapi ia hanyalah seorang perempuan tanpa pegangan. Tanpa uang. Tanpa dukungan. Tanpa siapa-siapa. Tapi malam ini, ia memilih bertahan.

Ia duduk di samping ranjang. Tangan kecil Nabil digenggam erat. Anak itu lima tahun. Kepala lebih besar dari tubuhnya. Kurus. Perutnya membuncit—bukan karena kenyang, tapi karena terlalu sering lapar.

Tangan mungil itu bergerak pelan, seolah menggambar sesuatu di udara. Matanya kosong, menatap langit-langit dengan tatapan yang seakan melihat dunia lain.

Santi menyeka air liur di sudut bibir Nabil. Dengan cinta. Selalu dengan cinta.

“Anakku… bertahan ya. Ibu sayang kamu. Sangat.”

Dan langit malam pun menatap mereka… dengan keheningan yang tahu, bahwa cinta seorang ibu adalah doa yang paling tulus.

“San, kamu di sini dulu, ya. Aku mau kabari Bayu, suamimu,” ucap Pak Budi, menepuk bahu Santi pelan.

“Jangan, Pak...,” bisik Santi lirih, tanpa menoleh. “Dia sudah usir aku tadi.”

Pak Budi terdiam. Tatapannya menusuk ke kejauhan, menahan geram yang menggelegak di dada. Lalu ia menghela napas panjang.

“Dasar gila. Anak sakit malah diusir,” gumamnya.

Sebelum pergi, ia menyelipkan selembar uang lima puluh ribuan ke telapak tangan Santi. Lembut, penuh hormat.

“Buat kamu makan. Kamu harus kuat… supaya bisa jaga Nabil.”

Santi tak mampu menjawab. Bibirnya hanya bergetar, air mata mengalir diam-diam. Dalam hatinya, ia mencatat nama Pak Budi. Bukan sekadar tetangga. Tapi malaikat pertama yang turun untuk anaknya.

Malam itu, Pak Budi pulang dan mengetuk satu per satu pintu warga. Ia tak malu meminta. Memohon bantuan. Dan karena semua tahu siapa Pak Budi—sosok lurus, rendah hati, dan tulus—sumbangan pun terkumpul cepat. Untuk Nabil. Untuk harapan kecil yang terbaring lemah di bangsal rumah sakit.

Sore merayap perlahan. Di ruang kelas tiga yang sesak dan pengap, Santi duduk setia di sisi ranjang. Enam tempat tidur berdempetan. Aroma obat menyengat. Suara detak monitor menjadi latar dari sebuah perjuangan diam.

Tiba-tiba, pintu terbuka keras.

Bayu muncul. Mata merah, wajah penuh amarah.

“Dasar istri enggak tahu diri!” suaranya membelah keheningan. “Orang rumah kelaparan, kamu malah enak-enakan di sini! Cepat pulang, masak!”

Kalimat itu begitu ganjil—karena tak ada yang lebih tahu dari Santi, siapa yang sebenarnya mengusir siapa.

Selama ini, Santi yang mencuci baju mereka, memasak, membersihkan rumah. Tiga perempuan di rumah itu—ibu mertua, adik ipar, kakak ipar—semuanya menumpang nyaman di punggung Santi. Tapi mereka menyebutnya pembantu. Bukan keluarga.

Dan Santi bertahan. Demi Nabil.

Anak laki-laki yang istimewa. Yang sering dianggap aib hanya karena ia berbeda. Tapi bagi Santi, Nabil bukan beban. Nabil adalah keajaiban. Doa yang dikabulkan dalam bentuk paling jujur.

Santi menatap kosong ke arah Bayu. Dalam hatinya, ada tekad yang baru tumbuh—ia akan membesarkan Nabil sendiri. Tanpa pria yang jijik pada darah dagingnya sendiri. Tanpa rumah yang hanya tahu mengutuk, bukan memeluk.

Bayu makin mendekat. Tangan terangkat tinggi.

“Goblok! Kamu tuli, ya? Diam saja!”

Sebelum tangannya turun, suara lantang menggema dari ranjang sebelah.

“Jangan buat keributan di sini!”

Seorang pria berdiri. Rambutnya pirang, tubuh penuh tato. Ia memandang Bayu dengan tajam.

“Kamu buta, apa? Istrimu lagi jaga anak yang sakit!”

Bayu melotot.

“Ini urusan keluarga gue!”

Pria itu mendekat.

“Lo salah tempat kalau mau jadi jagoan. Ini ruang perawatan, bukan ring tinju.”

Suasananya mendadak tegang. Tapi Bayu malah mundur setengah langkah. Ia menatap Santi, lalu mengeraskan suara.

“Awas kamu, Santi! Kalau kamu nggak pulang malam ini, aku ceraikan kamu!”

Itu ancaman lama. Jurus yang dulu selalu membuat Santi menangis dan bersimpuh minta maaf.

Tapi kali ini… berbeda.

Santi berdiri perlahan. Matanya berkaca-kaca. Tapi bukan karena takut.

“Ceraikan aku sekarang juga, Bayu Ardiansyah,” ucapnya tegas.

Bayu mengernyit. Tak percaya.

“Kalau itu maumu... Aku, Bayu Ardiansyah, menceraikan kamu. Kamu bukan istriku lagi!”

Ia menunggu reaksi Santi. Tapi yang terjadi membuatnya terdiam.

Santi berbalik, lalu bersujud. Di lantai rumah sakit. Dengan air mata dan senyum yang lirih.

“Alhamdulillah, ya Allah... Aku bebas dari laki-laki kejam ini.”

Tepuk tangan terdengar. Dari penjuru ruangan. Dari penunggu pasien. Bahkan beberapa perawat pun tersenyum lega.

Pria bertato itu mendekat lagi. “Dengar, bangsat. Sekarang lo bukan siapa-siapa buat dia. Keluar sebelum gue seret lo ke luar!”

Bayu mendengus. Memaki. Lalu pergi. Membanting pintu seperti anak kecil yang kalah bertengkar.

Santi kembali ke sisi ranjang. Memeluk Nabil. Air matanya masih jatuh, tapi kali ini bukan karena lemah. Melainkan karena kemenangan.

Bukan kemenangan atas Bayu. Tapi atas dirinya sendiri.

..

mita tolong untuk yang baca silahkan like dan comen, biar autor gajihan

Terpopuler

Comments

.•♫•♬•LUO YI•♬•♫•.

.•♫•♬•LUO YI•♬•♫•.

ceritanya bagus, juga gak bertele-tele... semangat trus ya thor..

2025-04-20

1

Wanita Aries

Wanita Aries

Sukaaa

2025-04-21

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!