NovelToon NovelToon
Garis Darah Pemburu Iblis

Garis Darah Pemburu Iblis

Status: sedang berlangsung
Genre:Sistem / Cinta Terlarang / Iblis / Budidaya dan Peningkatan
Popularitas:519
Nilai: 5
Nama Author: Aria Monteza

Saat gerbang Nether kembali terbuka, Kate Velnaria seorang Ksatria Cahaya terkuat Overworld, kehilangan segalanya. Kekuatan Arcanenya hancur di tangan Damian, pangeran dari kegelapan. Ia kembali dalam keadaan hidup-hidup, tetapi dunia yang dulu dikenalnya perlahan berubah menjadi asing. Arcane-nya menghilang, dan dalam bayang-bayang malam Damian selalu muncul. Bukan untuk membunuh, tetapi untuk memilikinya.
Ada sesuatu dalam diri Kate yang membangkitkan obsesi sang pangeran, sebuah rahasia yang bahkan dirinya sendiri tidak memahaminya. Di antara dunia yang retak, peperangan yang mengintai, dan bisikan kekuatan asing di dalam dirinya, Kate mulai mempertanyakan siapa dirinya sesungguhnya dan mengapa hatinya bergetar setiap kali Damian mendekat.
Masa lalu yang terkubur mulai menyeruak, membawa aroma darah, cinta, dan pengkhianatan. Saat kebenaran terungkap, Kate harus memilih antara melawan takdir yang membelenggunya atau menyerahkan dirinya pada kegelapan yang memanggil dengan manis.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aria Monteza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 18. Bayangan anak kecil

Pagi menyusup perlahan di sela pepohonan raksasa Hutan Sungra. Setelah malam yang mencekam, tim Ksatria Cahaya kembali melanjutkan perjalanan mereka. Langkah kuda menyusuri jalur berbatu yang semakin menanjak, mengikuti lekuk-lekuk lereng Gunung Ceaseton.

Udara menjadi lebih tipis, tetapi juga lebih bersih. Pepohonan mulai berubah jenisnya lebih rendah dan jarang, memberi ruang bagi kabut tipis yang menggantung di atas tanah berlumut. Aroma tanah basah dan dedaunan memenuhi udara.

Orion tetap memimpin di depan, tak banyak bicara. Sesekali ia menoleh ke belakang, memastikan tak ada yang tertinggal. Jasper dan Lyra tetap siaga, mata mereka menyapu lingkungan sekitar. Kate yang masih merasa efek dari pertempuran semalam, lebih tenang pagi ini. Arcane di dalam tubuhnya terasa lebih stabil, meski denyut merah di balik warna emasnya masih terasa asing.

Danzzle menunggang kudanya pelan di sampingnya, tangan menyelip di balik mantel tebal sambil bersiul kecil. “Kalau di peta benar, kita akan sampai di desa Tarren sebelum matahari di tengah langit. Semoga mereka punya teh jahe dan tidak ada hantu yang menyamar jadi ayam.”

Kate menoleh cepat. “Apa maksudmu hantu yang menyamar jadi ayam?”

“Hutan Sungra penuh kejutan,” jawab Danzzle ringan. “Pernah lihat kucing yang bisa bicara? Aku pernah. Jahat, tapi sopan.”

Kate tertawa kecil, rasa tegang dalam dadanya sedikit berkurang. Tak lama jalur tanah terbuka pada hamparan kecil, sebuah desa sederhana yang terletak di lereng gunung dibangun dari batu dan kayu tua. Asap tipis membumbung dari cerobong-cerobong rumah, menandakan kehidupan yang masih bertahan meski diteror ketakutan.

Desa itu tampak sepi untuk siang hari. Tidak ada anak-anak yang bermain, tidak ada tawa atau suara canda seperti di desa-desa lain yang mereka lewati. Saat mereka mendekat, beberapa warga muncul, memperhatikan dengan hati-hati sebelum akhirnya seseorang berlari ke dalam rumah, dan tidak lama kemudian sekelompok orang keluar membawa spanduk bertuliskan simbol Ksatria Cahaya.

Sambutan itu sederhana dan terasa tulus. Para warga dengan cepat mengelilingi tim mereka, mempersilakan mereka turun dari kuda dan membimbing menuju rumah terbesar di ujung jalan desa, tempat tinggal Tetua Desa.

Di dalam rumah kayu itu, Tetua Desa Tarren duduk di atas bantal tebal. Pria tua berjanggut putih panjang itu tampak lelah, kerutan di wajahnya memperlihatkan beban yang ia pikul saat Orion dan teman-temannya masuk.

"Terima kasih, para Ksatria Cahaya," ucap Tetua Desa dengan suara parau. "Kalian datang di waktu yang sangat kami harapkan."

Orion duduk bersila di hadapan tetua, dengan Lyra, Jasper, Kate, dan Danzzle di belakangnya.

“Kami menerima laporan bahwa desa ini mengalami gangguan yang tidak biasa. Bisa jelaskan lebih detail, Tetua?” Orion membuka percakapan.

Tetua itu mengangguk perlahan, lalu menarik napas panjang. “Awalnya kami tidak berpikir itu sesuatu yang berbahaya. Sekitar dua bulan lalu, salah satu anak kami, Elin usianya baru lima tahun hilang saat bermain petak umpet di sore hari. Kami mengira dia tersesat di hutan. Tapi kami tidak pernah menemukannya.”

Suasana ruangan langsung tegang.

“Setelah itu,” lanjut Tetua Desa, “hilangnya anak-anak mulai terjadi lebih sering. Satu per satu hilang hampir setiap hari. Tidak ada jejak, tidak ada tanda perlawanan. Mereka seperti menghilang begitu saja.”

Lyra mencondongkan tubuh ke depan. “Ada yang melihat sesuatu mencurigakan atau mendengar suara?”

Tetua menunduk. “Ya. Malam-malam berikutnya warga mulai mendengar suara anak-anak tertawa dan berlarian di tengah malam. Seperti suara mereka yang bermain-main di lapangan desa.”

Kate merinding. “Apa ada yang mencoba memeriksanya?”

“Kami pernah memeriksanya dan tidak menemukan siapa-siapa,” jawab Tetua. “Selalu kosong. Tapi kadang jika kami menunggu cukup lama, kita bisa melihat sosok kecil berjalan di antara kabut.”

Ia terdiam sejenak, suaranya merendah penuh trauma.

“Suatu malam, tiga pemuda desa menemukan anak kecil duduk di dekat sumur tua. Mereka menghampiri, memanggil namanya dan saat itulah tubuh anak itu, atau apapun itu berubah. Tumbuh besar... dan wajahnya… ya Tuhan...”

Ia tak melanjutkan. Salah satu warga yang duduk di belakangnya, seorang wanita paruh baya, menggenggam rosario dan bergumam pelan, seolah berdoa.

“Makhluk itu mengejar mereka,” lanjut si Tetua setelah menenangkan diri. “Satu dari mereka terluka parah, dan sejak itu tidak ada seorang pun yang berani keluar rumah setelah matahari tenggelam.”

Orion bertukar pandang cepat dengan Lyra dan Jasper.

“Apakah makhluk itu menyerang setiap malam?” tanya Jasper, tenang.

“Tidak. Kadang seminggu sekali, kadang dua malam berturut-turut. Kami tidak tahu polanya. Tapi suara-suara itu selalu ada. Setiap malam seolah menggoda dan memanggil kami untuk keluar.”

Danzzle bersandar ke dinding. “Gangguan dimensional. Mungkin celah nether tipis terbuka di dekat sini. Entah bagaimana makhluk-makhluk itu bisa menyamar sebagai anak-anak. Bisa jadi kita berurusan dengan Mimic of Innocence.”

Kate menelan ludah. “Mereka bisa menyerupai anak-anak dan mencuri wujud mereka?”

“Atau mengambil ingatan mereka,” gumam Danzzle. “Chaos bisa tumbuh dari rasa rindu, ketakutan, dan kehilangan. Tempat ini penuh dengan semuanya.”

Tetua desa menggenggam tangan Orion. “Kami mohon jika kalian bisa menemukan sisa anak-anak kami atau apa pun yang bisa membebaskan desa ini dari mimpi buruk lakukanlah.”

Orion menatap semua anggota timnya satu per satu. “Kami akan mulai penyelidikan malam ini. Tapi kalian semua, pastikan tetap berada di dalam rumah saat matahari tenggelam. Kunci pintu, jangan tergoda oleh suara apa pun.”

Kate menggenggam jubahnya erat. Di dalam dadanya, Arcanenya kembali berdenyut bukan karena ketakutan. Namun karena firasat kuat bahwa kegelapan yang mereka hadapi kali ini jauh lebih dalam dari sekadar bayangan nether.

***

Malam turun perlahan di desa Tarren. Kabut mulai merayap dari pepohonan, menyelimuti desa dengan selubung abu-abu yang terasa lebih dingin dari biasanya. Tiupan angin membawa bisikan samar, nyaris seperti tawa anak-anak yang memanggil dari jauh.

Tim Ksatria Cahaya telah bersiaga. Mereka berjalan menyusuri jalan utama desa dengan formasi longgar. Orion di depan, Lyra dan Jasper menjaga sisi, sementara Kate dan Danzzle menutup barisan belakang.

“Ini kabut yang sama seperti laporan warga,” bisik Jasper. “Terlalu tebal untuk malam secerah ini.”

Danzzle mengangguk. “Dan terlalu dingin untuk datang dari tanah. Ini sihir, tapi bukan Nether. Ada jejak emosi di dalamnya. Rasa kehilangan, rasa rindu...”

Kate berjalan perlahan, mata menyapu sekitar, tubuhnya siaga namun tenang. Ia merasa tekanan familiar di dalam arcanenya, seperti sebuah lagu lama yang tak sengaja terdengar kembali.

Lalu mereka muncul.

Anak-anak.

Sosok-sosok kecil muncul dari balik kabut. Lima, tujuh, sepuluh… puluhan mungkin. Mereka berjalan perlahan di pinggir jalan desa, mengenakan pakaian kusam dan lama, sebagian telanjang kaki, rambut mereka kusut, dan kulit pucat diterpa cahaya bulan. Mereka sama sekali tidak menyerang dan hanya sibuk bermain.

“Jangan bertindak gegabah,” Kate memperingatkan lirih.

Jasper dan Danzzle tetap tenang, sedangkan Lyra mengepalkan tangan.

Orion menoleh cepat ke Kate. “Kau tahu apa mereka?”

Kate menelan ludah. “Ini bukan Nether. Aku pernah melihat hal seperti ini sebelumnya. Roh anak-anak yang terikat oleh ritual gelap, mereka tidak sadar mereka telah mati.”

Satu anak, seorang bocah lelaki lebih besar dari yang lain, tampak berdiri di tengah jalan, menatap langsung ke arah mereka. Mata hitam pekat tanpa cahaya.

Kate melangkah pelan ke depan. “Izinkan aku bicara padanya…”

Namun tiba-tiba.

“Hei! Kau! Hentikan permainanmu!” suara Lyra memecah keheningan, tajam dan penuh tantangan. “Apa kau biang dari semua ini?!”

“Lyra, jangan…!” Kate berteriak, namun terlambat.

Mata bocah itu menyala merah. Tubuh mungilnya mulai bergetar, lalu tumbuh cepat dan mengubah dirinya menjadi makhluk setinggi dua meter lebih. Kulitnya menghitam, wajahnya retak seperti topeng porselen pecah, tangan memanjang seperti cakar. Makhluk itu meraung, lalu menerjang ke arah Lyra.

Brak!

Pertarungan pun pecah. Orion menghunus pedangnya, Jasper bergerak memanggil perisai energi. Danzzle langsung melepaskan mantra pelindung di sekitar Kate dan Lyra. Sementara itu, Kate berdiri di tempatnya. Ia memejamkan mata, merasakan kekacauan sihir yang mendidih di udara.

"Aku tak bisa melawan mereka seperti ini. Mereka bukan musuh, mereka tersesat..." gumam Kate.

Di tengah gemuruh pertempuran, Kate mengangkat seruling kecil berwarna emas yang tergantung di pinggangnya. Danzzle sempat menoleh dan mengenali alat itu, tetapi tidak berkata apa-apa. Kate menempelkan seruling itu ke bibirnya dan mulai memainkan sebuah lagu.

Nada lembut mengalun di tengah medan pertempuran. Lagu itu seperti bisikan pelan, menenangkan, seperti suara ibu meninabobokan anaknya. Getaran sihir dari Arcanenya memancar lembut, menyatu dengan irama. Energi emas menyebar dari tubuhnya, merambat seperti kabut terang di antara kabut kelam.

Makhluk raksasa itu melambat, gerakannya goyah, raungannya berubah menjadi erangan bingung. Kate berjalan perlahan mendekati, lagu masih terus mengalun, elemen batinnya menyentuh langsung ke dalam kesadaran roh yang terperangkap.

“Tenanglah…” bisik Kate. “Aku tahu kau takut, tapi kau tidak sendiri. Aku akan membantumu pulang.”

Ia mengulurkan tangan, menyentuh dahi makhluk itu. Cahaya mengalir dari tangannya, menyelimuti makhluk tersebut. Perlahan tubuh raksasa itu menyusut, kembali menjadi anak laki-laki kecil dengan mata lelah dan bingung.

Anak itu terisak. “Aku... aku ingin pulang…”

Kate tersenyum lembut dan mengeluarkan sesuatu dari sakunya sebuah permen kecil.

“Kalau begitu, kita akan pulang bersama,” kata Kate sambil menyodorkan permen itu.

Anak itu tertawa kecil, menerima permen tersebut. “Rumah kami di atas bukit. Sumur tua di sana… kami dipanggil dari sana,” katanya lirih.

Kate menoleh ke Orion. “Kita harus bawa mereka ke sana. Itu tempat ikatan sihir mereka dimulai. Jika aku bisa mengantar mereka... mereka bisa bebas.”

Orion hanya mengangguk. “Kami akan menjagamu.”

Perjalanan menuju bukit berlangsung dalam diam. Kate berjalan paling depan, memainkan seruling emasnya pelan, memimpin barisan anak-anak roh di belakangnya. Mereka tak lagi menyeramkan, sosok-sosok kecil itu kini terlihat seperti anak-anak biasa, berjalan pelan sambil sesekali tertawa kecil, mengenakan pakaian compang-camping, mata mereka kembali bersinar.

Di atas bukit, berdiri sumur tua yang ditumbuhi lumut. Kate berhenti di depannya, menatap ke dalam. “Akhirnya sampai…” katanya lembut.

Ia meniup serulingnya sekali lagi, lagu perpisahan yang lembut dan penuh harapan. Satu per satu anak-anak itu memeluknya, mengucapkan terima kasih dengan suara kecil dan mata berkaca-kaca. Kemudian dalam cahaya emas yang lembut mereka mulai memudar.

Wujud mereka berkilau, berubah menjadi serpihan-serpihan cahaya, seperti debu emas yang terbang tinggi ke langit malam. Terbawa angin menuju Either untuk menanti hari kelahiran kembali. Hingga akhirnya hanya kabut dan sumur tua yang tersisa. Kate berdiri diam, seruling masih di tangannya. Air mata jatuh bukan karena sedih, tapi karena lega.

Danzzle mendekat perlahan. “Kau melakukannya, Kate. Kau membebaskan mereka.”

Orion berdiri di sisi lain, menatap langit malam. “Aku rasa, inilah alasan kenapa kau berbeda.”

Kate menoleh. “Aku hanya tak tahan melihat anak-anak itu terjebak di antara dua dunia.”

Tak ada yang berkata-kata setelah itu. Mereka hanya berdiri dalam diam, menyaksikan malam perlahan bersih dari kabut. Untuk pertama kalinya sejak berbulan-bulan, desa Tarren kembali tenang. Dan di antara bintang yang bersinar, Kate tahu anak-anak itu akhirnya pulang.

Kabut telah lenyap, menyisakan cahaya bintang yang temaram di langit malam. Tim Ksatria Cahaya turun perlahan dari bukit yang kini sunyi. Tanah lembab berembun, tetapi langkah mereka terasa ringan selain Lyra.

Di belakang, Lyra berjalan dengan rahang mengeras, pandangan tajam tertuju ke arah Kate yang tak jauh di depannya. Orion berjalan tepat di sisi Kate, sesekali menoleh untuk menanyakan keadaan sang gadis itu. Senyum lembut di wajahnya seolah hanya disimpan untuk satu orang saja malam ini.

“Selalu dia…” gerutu Lyra dalam hati. “Seolah-olah cuma Kate yang bisa menyelamatkan dunia. Cuma dia yang tahu caranya bicara pada roh, cuma dia yang bisa bikin Orion tersenyum seperti itu.”

Langkah mereka melambat saat mendekati sisi jalan tanah yang menurun tajam. Dan di sanalah mereka melihatnya seorang anak kecil duduk sendirian, punggung mungilnya membungkuk sambil mengais tanah dengan tangan kotor. Anak itu mengenakan pakaian lusuh dan terlihat begitu lemah, tubuhnya gemetar kecil, seolah sedang mencari sesuatu yang hilang.

Danzzle langsung memperhatikan aura sekitar. “Aneh. Aku tak merasakan arcane dari anak itu. Tapi…”

Kate menghentikan langkah. Matanya menajam. Ada sesuatu yang ganjil terlalu sunyi dan terlalu tenang. Namun sebelum Kate bisa berkata apa-apa, Lyra dengan langkah lebar menyusul ke depan, senyum manis dipaksakan di wajahnya.

“Hei, kau…” sapa Lyra dengan suara dibuat selembut mungkin. “Kau sendirian di sini? Tak perlu takut, kami bisa…”

Crak.

Tangan kecil anak itu tiba-tiba mencengkeram pergelangan tangan Lyra erat, dingin, dan mencengkeram seperti cakar logam. Kepala si anak perlahan berputar 180 derajat, dan wajah yang menatap Lyra bukanlah wajah anak kecil biasa melainkan topeng menyeramkan dengan mata kosong membelalak, dan mulut terbuka lebar penuh gigi runcing yang mengeluarkan suara berderak mengerikan.

“RAAAAAAGHHH!!”

“AAARGHH!” Lyra berteriak panik, tubuhnya nyaris terguling ke belakang saat makhluk itu melompat.

Kate langsung melompat ke depan dan melemparkan barrier arcane berwarna emas bercampur merah ke arah Lyra, mendorong makhluk itu menjauh dan mengurung Lyra dalam pelindung energi.

“Itu bukan roh anak-anak!” teriak Kate. “Itu Mimic of Innocence, pemakan roh! Dia menyamar!”

Makhluk itu mengaum ganas. Tubuh mungilnya berubah cepat menjadi entitas hitam tinggi besar, dengan tubuh seperti boneka rusak dan mata merah menyala. Kabut tipis kembali muncul, terasa dingin dan menusuk seperti cakar kematian.

Orion dan Danzzle langsung bergerak. Orion mencabut pedang peraknya, kilatan cahaya suci muncul di bilahnya. “Formasi tempur! Jangan beri dia celah!”

Danzzle menyiapkan mantra pengikat berbasis elemen alam, sembari mengatur medan dengan rune pertahanan. Kate tidak tinggal diam. Ia maju ke samping kanan, melemparkan rentetan peluru sihir berbentuk lingkaran kecil yang meledak saat menyentuh makhluk itu. Namun Mimic itu bergerak cepat, melompat ke pepohonan, memecah ranting dan melesat menyerang Kate dari atas.

“KATE!”

Serangan itu terhenti oleh Orion, yang menebas dengan pedangnya dan memaksa makhluk itu menjauh, membuatnya meluncur dan terguling ke tanah. Danzzle mengurung makhluk itu dalam penjara sulur tanaman sesaat, tapi makhluk itu meraung, menghancurkan pengurung itu dengan cakar dan mengguncang tanah sekitarnya. Lyra hanya bisa menyaksikan dari dalam penghalang, tangannya masih gemetar.

Kate bergerak lagi, kali ini membentuk panah energi yang ia lempar ke sisi kepala Mimic. Sementara Orion melompat dan dengan teriakan keras, menancapkan pedangnya langsung ke punggung makhluk itu.

“RAAAAGGHHH!!”

Makhluk itu menggeliat sejenak, lalu perlahan tubuhnya mulai terbakar dari dalam, berubah menjadi bayangan berkilat dan menghilang dalam asap kelam yang menguap ke langit.

Hening menyelimuti hutan kembali. Lyra masih terduduk, napas terengah. Kate mendekat ingin membantu, tetapi suara Orion yang dingin menghentikan langkahnya.

Orion menatap Lyra, wajahnya keras, suaranya berat. “Apa yang kau pikirkan?” katanya tajam. “Kau tidak mendengarkan peringatan. Tidak analisis medan. Kau nyaris mati, Lyra.”

Lyra menggertakkan gigi, tapi tak bisa berkata-kata. Ia merasa malu, bodoh, dan lebih dari itu terbakar oleh amarah. Amarah bukan pada makhluk itu, tapi pada Kate. Karena bahkan saat ia ceroboh, Kate yang menyelamatkannya dan juga saat hampir mati, Orion tetap menatap Kate bukan dirinya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!