Sebagai seorang istri Maysa adalah seorang istri yang pengertian. Dia tidak pernah menuntut pada sang suami karena wanita itu tahu jika sang suami hanya pegawai biasa.
Maysa selalu menerima apa pun yang diberi Rafka—suaminya. Hingga suatu hari dia mengetahui jika sang suami ternyata berbohong mengenai pekerjaannya yang seorang manager. Lebih menyakitkan lagi selama ini Rafka main gila dengan salah seorang temannya di kantor.
Akankah Maysa bertahan dan memperjuangkan suaminya? Atau melepaskan pria itu begitu saja?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon husna_az, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
28. Masalah
"Kak, ada masalah dengan kain yang baru datang," ucap Riri dengan khawatir. Bahkan dia tidak mengucap salam saat masuk ke ruangan kakaknya.
"Memang kenapa?"
"Kakak lihat sendiri saja, ayo!" ajak Riri.
Maysa pun mengikuti adiknya menuju tempat penyimpanan kain. Jantungnya berdetak lebih cepat. Ada rasa khawatir dalam dirinya. Dia baru memulai usaha ini, tetapi sudah ada masalah.
"Ini, Kak, lihat barang yang datang tidak seperti yang kemarin. Kualitasnya tidak sama," ujar Riri sambil menunjukkan sebuah kain.
Maysa menyentuhnya dan memang benar. Dilihat saja sudah tahu jika ada yang beda. Kain yang datang lebih tipis dari sebelumnya, tetapi serat kain masih terasa sama.
"Iya, sebenarnya ini rupanya hampir mirip, tapi yang ini lebih tipis. Pasti nanti pembeli pada protes kalau seperti ini."
"Lalu bagaimana, Kak?"
"Sebentar, Kakak telepon dulu supplier-nya." Maysa pun mencoba menghubungi seseorang, tempat dia membeli kain. Namun, orang itu mengatakan jika memang begitu kain yang datang dari perusahaan. Harganya pun sama meski kualitasnya sudah berubah.
Maysa mencoba untuk negosiasi dan mengembalikan kain tersebut karena tidak sesuai, tetapi pemiliknya menolak. Mereka bilang dirinya sendiri tidak bisa mengembalikan kepada perusahaan karena itu dia pasti akan rugi. Wanita itu mencoba alternatif lain mungkin bisa dikembalikan dengan harga potongan sedikit. Namun, penjual tetap menolak.
"Bagaimana, Kak?" tanya Riri setelah Maysa menutup panggilan.
"Tidak bisa, jadi mau tidak mau kita harus menerimanya," jawab Maysa dengan pelan.
Wanita itu menghela napas panjang. Sudah dipastikan akan merugi. Jika dia tetap menggunakan kain ini, pembeli akan merasa ditipu dan tidak mau datang lagi. Kain itu masih bisa dipakai, tapi pasti harga jualnya tidak sesuai dengan dia membelinya.
"Kita rugi dong, Kak. Ini kita belinya juga cukup banyak. Tahu gitu 'kan kita cari penjual lainnya."
"Kakak tadi juga sudah bilang tidak mau membeli kain di sana lagi, tapi mau beli di mana? Kakak tidak mengenal siapa-siapa. Yang itu juga Kakak kenal dari Bu Nadia."
"Apa Bu Nadia juga dapat kiriman kain yang sama, Kak?"
"Kakak kurang tahu, enggak enak nanyanya sama beliau."
Riri pun mengangguk. "Jadi ini bagaimana, Kak?"
"Nanti Kakak coba cari alternatif lain dulu. Mengenai karyawan yang mau ngelamar, apa sudah ada?"
"Sudah ada beberapa, Kak. Aku kira sedikit yang melamar, ternyata banyak juga."
"Untuk yang melamar sebagai penjahit, kamu kirim ke meja Kakak. Kalau untuk melayani pembeli, itu biar kamu yang handle. Kakak mau penjahit yang sesuai sama kakak."
"Iya, Kak. Nanti aku pisahin."
"Ya sudah, Kakak mau ke dalam dulu." Maysa kembali ke dalam ruangannya.
Dia mencoba membuka ponsel untuk melihat sosial media. Barangkali ada penjual kain yang bisa dia percaya agar tidak lagi ada kejadian seperti sekarang ini. Tidak berapa lama, ponselnya berdering, tertera nama Bu Nadia di sana. Maysa berpikir ini pasti ada hubungannya dengan kain yang datang.
"Halo, assalamualaikum," ucap Maysa begitu menggeser tombol hijau.
"Waalaikumsalam. Hari ini kamu ada kiriman kain, May?" tanya Bu Nadia yang berada di seberang.
"Iya, Bu. Baru saja datang."
"Kain kamu kualitasnya jelek nggak? Kiriman kain yang datang semuanya berbeda dari yang biasanya. Aku jadi bingung mau bagaimana?"
"Iya, Bu. Saya juga sedang mencari solusinya. Apalagi saya tidak memiliki koneksi yang lainnya selain penjual kain itu."
"Sebenarnya bukan hanya penjual kain itu saja sih. Penjual lainnya juga sama karena produksi kain sekarang sedang ada masalah, jadi hampir semua penjual sama kualitasnya."
"Iya, Bu. Tadi penjualnya juga bilang seperti itu saat saya telepon. Entahlah, harus bagaimana."
"Ada beberapa teman saya juga yang terpaksa menggunakan kain itu untuk membuat baju karena mereka juga sudah banyak pesanan."
"Apa nanti pelangg*n tidak marah karena kualitasnya seperti itu?"
"Mau bagaimana lagi. Hanya itu yang tersedia."
Maysa menghela napas dengan berat. Dia tidak tahu juga harus berbuat apa. Untuk saat ini masih aman karena dia belum ada pesanan. Hanya ada dua orang dan itu pun masih ada persediaan kain lama.
"Ya sudah, kalau begitu. Nanti saya hubungi kamu lagi kalau ada sesuatu."
"Iya, Bu. Terima kasih atas infonya. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Maysa menutup panggilan dan bergumam, "Apa aku harus menggunakan kain itu? Mungkin masih bisa dipakai, tapi aku tidak yakin dengan harganya. Ya sudahlah, daripada nanti kainnya terbuang sia-sia. Akan aku pakai sambil mencari kain yang lainnya."
****
Satu minggu telah berlalu Maysa belum juga mendapatkan supplier kain yang diharapkan. Dia benar-benar frustrasi. Beberapa pesanan yang datang tidak dia terima karena kualitas kain yang tidak sesuai. Ada juga yang masih mau walaupun wanita itu sudah mengatakan kainnya yang tidak sesuai.
"Kak, mau sampai kapan Kakak nolak beberapa pesanan? Aku juga sudah menerima pegawai baru, kita butuh uang buat gaji mereka," tanya Riri yang ada di ruangan Kakaknya.
"Iya, Ri, tapi kualitas kainnya nggak sesuai. Kakak nggak mau nanti mereka kecewa dan malah membuat mereka kapok, nggak mau pesan di sini lagi. Lagi pula Kakak menolak juga ada alasannya. Kakak mengatakan sejujurnya kalau kain yang ada tidak sesuai. Kalau mereka masih mau, alhamdulillah. Kalau tidak, Kakak nggak bisa maksa."
Memang ada beberapa pemesan yang tetap kekeh mau menerima hasil rancangan Maysa. Walaupun Kainnya tidak sesuai. Ada beberapa juga yang mencari tempat lain yang mereka kira lebih bagus, nyatanya sama saja.
Pintu ruangan di ketuk seseorang dari luar. Maysa pun meminta orang tersebut untuk masuk. Ternyata Via—pegawai baru Maysa.
"Maaf, Bu. Di depan ada orang yang ingin bertemu," ucap Maysa dengan sopan.
"Siapa?" tanya Maysa.
"Dia bilang ingin mensuplai kain ke sini. Dia juga membawa beberapa contoh kain untuk ditunjukkan pada ibu."
Maysa dan Riri cukup terkejut dengan apa yang dikatakan oleh Via. Padahal dari keduanya tidak pernah memasang iklan ataupun bertanya-tanya mengenai kain, tetapi kenapa ada orang yang tiba-tiba datang menawarkan kainnya?
"Kamu keluar dulu, Via. Suruh orang tersebut untuk menunggu. Sebentar lagi saya akan keluar," ucap Maysa.
"Iya, Bu." Via pun meninggalkan ruangan itu.
Maysa menatap adiknya dan bertanya, "Apa kamu memasang iklan atau yang lainnya?"
"Tidak, Kak. Justru aku kira Kakak yang mencari."
"Aku memang mencari, hanya saja masih belum ketemu."
Keduanya saling pandang dengan pemikiran masing-masing. Mereka takut jika orang itu punya niat terselubung.
"Ya sudahlah, Kak. Ayo, kita keluar! Aku juga penasaran Siapa orang yang datang dan dari mana dia tahu kalau kita membutuhkan kain yang bagus," ucap Riri.
"Semoga saja dia tidak ada niat yang buruk terhadap kita."
"Semoga saja, Kak." Keduanya pun memutuskan untuk keluar dan melihat Siapa yang datang. Semoga saja dia orang baik dan bisa membantu.
.
.
.
mknya muka nya familiar
sayang nya sama Eira tulis bgt
entah dia dari keluarga yg penuh tekanan,semua udah dia atur dia dia harus ngikutin semua aturan itu.
dan dia udah punya jodoh sendiri
kadang bingung ya..sama lelaki.
udah punya yg spek bidadari malah nyari yg kyk gelandang.
yah... begitu lah seni nya peselingkuhan.
lu makan aja tu pilihan lu
kadang bingung ya..sama lelaki.
udah punya yg spek bidadari malah nyari yg kyk gelandang.
yah... begitu lah seni nya peselingkuhan.
lu makan aja tu pilihan lu