Mampukah janda muda menahan diri saat godaan datang dari pria yang paling tabu? Setelah kepergian suaminya, Ayana (26) berjuang membesarkan anaknya sendirian. Takdir membawanya bekerja di perusahaan milik keluarga suaminya. Di sana, pesona Arfan (38), paman direktur yang berkarisma, mulai menggoyahkan hatinya. Arfan, duda mapan dengan masa lalu kelam, melihat Ayana bukan hanya sebagai menantu mendiang kakaknya, melainkan wanita memikat yang membangkitkan gairah terpendam. Di antara tatapan curiga dan bisikan sumbang keluarga, mereka terjerat dalam tarik-ulur cinta terlarang. Bagaimana Ayana akan memilih antara kesetiaan pada masa lalu dan gairah yang tak terbendung, di tengah tuntutan etika yang menguji batas?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bangjoe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 8: Sarapan Penuh Kecurigaan
Jantung Ayana mencelos. Notifikasi itu terasa seperti pukulan langsung ke ulu hatinya, mengoyak keheningan dan euforia singkat yang baru saja ia rasakan. Sarapan keluarga. Dengan Ibu Mertua dan Vina.
Ia menarik tangannya perlahan dari genggaman Arfan, seolah sentuhan itu kini membakar kulitnya. Arfan menangkap perubahan di matanya, kerutan halus muncul di dahinya yang lebar.
“Ada apa?” Suara Arfan pelan, nyaris berbisik, namun Ayana merasa seluruh dunia bisa mendengarnya.
Ayana menelan ludah. “Pesan dari grup keluarga. Besok pagi, Ibu ingin bicara sesuatu yang penting. Vina sudah menyiapkan semuanya.” Ia tak perlu menjelaskan lebih jauh. Tatapan Arfan mengeras, mengerti implikasi dari pertemuan mendadak itu. Vina. Selalu Vina.
“Mereka tidak akan tahu,” Arfan mencoba menenangkan, namun Ayana bisa merasakan keraguan dalam nada bicaranya. Apa yang ia yakini? Apakah mereka begitu lihai menyembunyikan jejak? Atau apakah ia saja yang terlalu naif?
Ayana menggeleng, mundur selangkah. “Aku harus pergi.” Suasana manis tadi menguap, digantikan oleh gelombang panik dan rasa bersalah yang menggunung. Arfan mengangguk kaku. Ada kekecewaan yang melintas di matanya, sebelum senyum tipis, pahit, kembali terukir di bibirnya.
“Hati-hati, Ayana.” Ucapannya terasa seperti peringatan, atau mungkin sebuah janji. Ayana tidak yakin.
Ia berbalik, melangkah cepat menuju mobilnya, membiarkan Arfan berdiri sendirian di bawah temaram lampu jalan. Sepanjang perjalanan pulang, bayangan wajah Arfan, kehangatan tangannya, dan bisikan-bisikan nakal malam itu berkejaran dengan ketakutan akan sarapan esok pagi.
Apakah Vina sudah tahu? Apa yang sebenarnya Ibu ingin bicarakan? Seribu pertanyaan berputar di kepalanya, menghilangkan sisa-sisa manisnya dosa yang baru saja ia rasakan.
Pagi tiba dengan cepat, membawa serta awan kecemasan. Ayana berdiri di depan cermin, meneliti penampilannya. Ia memilih blus berwarna kalem dan rok pensil panjang, berusaha menampilkan citra janda muda yang sopan, profesional, dan tak bercela. Seolah-olah malam tadi hanyalah mimpi belaka.
Namun, di balik lapisan kosmetik tipis, matanya terlihat sedikit bengkak. Pikirannya semalaman dihantui Arfan, dan kini ketakutan akan terbongkarnya rahasia kecilnya. Perutnya bergejolak, dan ia merasa mual. Aroma kopi yang ia hirup pun terasa hambar.
“Tenang, Ayana. Kau tidak melakukan kesalahan apa-apa,” bisiknya pada bayangannya sendiri, mencoba meyakinkan diri. Tapi hati kecilnya menjerit protes. Ia tahu ia telah melakukan kesalahan. Kesalahan yang manis, yang kini menuntut harga mahal.
Rumah mendiang suaminya, tempat ia pernah menyebutnya rumah, kini terasa asing dan mencekam. Tiap sudut seolah mengawasi, tiap bayangan terasa seperti mata-mata. Mobilnya melaju pelan melewati gerbang besi tempa yang selalu terbuka untuknya.
Bi Surti, asisten rumah tangga yang sudah lama mengabdi, menyambutnya dengan senyum hangat. Namun, Ayana merasa senyum itu menyimpan sesuatu yang tak terucap, sebuah simpati yang samar. Atau ia hanya terlalu paranoid?
“Ibu sudah menunggu di ruang makan, Nyonya Ayana,” kata Bi Surti, nadanya lembut.
Ayana melangkah masuk, jantungnya berdegup kencang. Ruang makan keluarga terlihat seperti biasanya: meja besar mahoni dengan taplak linen putih bersih, piring-piring porselen bermotif bunga, dan aroma masakan rumahan yang memenuhi udara. Namun, suasana di sana tegang, seolah udara pun ikut menahan napas.
Ibu Mertua, Ibu Ratna, duduk anggun di ujung meja, secangkir teh hijau mengepul di hadapannya. Rambutnya disanggul rapi, tatapannya tajam. Ia mengangguk pada Ayana, senyum tipis terukir di bibirnya yang dipoles lipstik merah anggur.
“Ayana, akhirnya kau datang. Duduklah,” ucap Ibu Ratna, nadanya tidak hangat, tidak pula dingin. Hanya datar, menyimpan misteri.
Ayana mengambil tempat di hadapan Ibu Ratna, tempat yang biasanya ia duduki di samping almarhum suaminya. Kursi di sampingnya kosong. Kursi di seberang, tempat Vina biasa duduk, juga masih kosong. Belum genap semenit ia duduk, langkah kaki terdengar dari tangga. Vina.
Vina muncul, mengenakan dress selutut berwarna cerah yang kontras dengan suasana hatinya. Rambutnya tergerai indah, dan senyumnya... senyum itu. Senyum Vina selalu tampak manis di permukaan, namun Ayana tahu, di baliknya tersembunyi taring yang tajam. Mata Vina langsung mengunci Ayana, memindai dari ujung rambut hingga ujung kaki, seolah mencari noda yang tak kasat mata.
“Oh, Ayana! Sudah datang rupanya,” sapa Vina, suaranya melengking ceria yang justru terasa menusuk. Ia mengambil tempat di seberang Ayana, tatapan mereka beradu.
“Pagi, Vina,” Ayana membalas dengan senyum paksa. Ia berusaha keras menjaga ekspresinya agar tetap netral, tidak menunjukkan sedikit pun kegugupan yang menggerogoti jiwanya.
Bi Surti menyajikan nasi kuning dengan aneka lauk pauk. Aroma gurih langsung menyeruak, namun Ayana tak punya nafsu makan. Ia hanya menggeser-geser sendoknya, mencoba menyibukkan diri.
“Bagaimana tidurmu semalam, Ayana? Nyenyak?” Vina membuka percakapan, seolah membaca pikirannya. Pertanyaan sederhana itu terdengar seperti jebakan bagi Ayana. Ia merasakan hawa dingin merayap di punggungnya.
Ayana mendongak, menatap Vina langsung di mata. “Tentu saja, Vina. Kenapa memangnya?” Ia mencoba menyunggingkan senyum, tapi ia tahu itu pasti terlihat kaku.
Vina tertawa kecil. “Tidak apa-apa. Hanya saja, terkadang aku sering merasa sulit tidur belakangan ini. Banyak pikiran, kau tahu. Tentang perusahaan, tentang masa depan…” Tatapannya kembali mengunci Ayana, penuh makna yang tak terucap. “Mungkin kau juga begitu? Atau mungkin kau punya cara khusus untuk mengatasi pikiran?”
Ibu Ratna berdeham, mengalihkan perhatian. “Cukup, Vina. Jangan membicarakan hal yang tidak penting. Ada hal yang lebih serius yang ingin Ibu bicarakan dengan Ayana.”
Tangan Ayana mencengkeram erat sendoknya. Ini dia. Momen yang ia takutkan. Ia menghela napas, mempersiapkan diri untuk skenario terburuk.
Ibu Ratna meletakkan cangkir tehnya, matanya menatap Ayana lekat-lekat, penuh pertimbangan. “Ayana, Ibu sudah memikirkan ini matang-matang. Sudah saatnya kau menata hidupmu kembali. Ibu ingin yang terbaik untukmu dan cucu Ibu. Jadi, Ibu sudah berbicara dengan Pak Hendra, dari keluarga Wiryawan. Mereka sangat tertarik padamu.”
Tubuh Ayana menegang. Pak Hendra? Keluarga Wiryawan? Itu adalah salah satu keluarga konglomerat terkaya di kota, dan Pak Hendra adalah putra sulung mereka yang terkenal playboy. Jauh dari citra pria matang, cerdas, dan hangat seperti… seperti Arfan.
“Maksud Ibu… perjodohan?” Ayana nyaris tak sanggup berbisik. Dunia seolah berputar. Ini bukan hanya tentang perusahaan, ini tentang hidupnya. Tentang kebebasannya. Dan pilihan untuk mencintai yang terlarang.
Ibu Ratna tersenyum, senyum penuh kemenangan yang mengirimkan gelombang dingin ke seluruh tubuh Ayana. “Bukan perjodohan, Ayana. Ini kesempatan. Sebuah tawaran yang tidak akan bisa kau tolak.”
Wah, Ayana dihadapkan pada situasi yang makin sulit! Kira-kira apa yang akan Ayana lakukan? Tetap ikuti kelanjutan kisah Dosa Manis ini ya!
Benar2 membingungkan & bikin gw jd malas utk membaca novel ini lg
Jgn membingungkan pembaca yg berminat utk membaca novel ini