Salsa bisa lihat malapetaka orang lain… dan ternyata, kemampuannya bikin negara ikut campur urusan cintanya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon INeeTha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Membawa Harapan Palsu
Visi itu memudar, pandangan Salsa Liani kembali jernih. Di hadapannya, Reza Mahavira dan Arga Mahendra menatap dengan bingung. Taplak meja kusut dalam genggaman Salsa, dan setengah isi gelasnya tumpah membasahi lantai.
Salsa hendak membuka mulut, tapi Arga sudah lebih dulu berdiri. Nada bicaranya sopan, namun tegas mengisyaratkan perpisahan.
"Pak Surya, Mbak Salsa, maaf sekali. Situasinya sedang kacau. Hari ini kita tidak bisa lanjut mengobrol. Saya permisi."
Arga menoleh cepat ke manajernya, Reza. "Kita harus kumpulkan uang tebusannya sekarang."
"Penculiknya minta aku datang besok jam sepuluh pagi, bawa tunai 15 miliar," suara Arga terdengar serak, menahan sesak. "Sisanya... nanti dikabari setelah sampai lokasi."
Reza mengangguk, wajahnya pucat. "Aku akan telepon bagian keuangan dan relasi buat talangan. Tapi sisa 65 miliar lagi..."
"Pakai dana investasi proyek film baru," potong Arga cepat. "Keselamatan Manda yang utama. Uang bisa dicari lagi."
Salsa diam-diam menganalisis. Penculik mengancam membunuh sandera jika lapor polisi. Artinya, ponsel Arga dan timnya pasti disadap.
"Mas Arga," panggil Salsa, memecah ketegangan. "Kejadian ini... kami nggak bisa diam saja."
Ucapan itu membuat langkah Arga terhenti.
"Aku dan Kak Surya bisa bantu sedikit. Mungkin nggak banyak, tapi lumayan buat nambah-nambah."
Arga dan Reza terkejut. Dua orang asing yang baru dikenal mau membantu? Namun, tatapan Arga justru menajam penuh curiga.
Salsa tidak peduli. Ia menyambar buku menu, berjalan mendekati Arga, dan meletakkannya tepat di depan aktor itu dengan sedikit memaksa. "Panik nggak akan menyelesaikan masalah. Makan dulu, baru bisa mikir jernih."
Arga menatapnya bingung, tapi matanya turun ke halaman menu yang terbuka. Detik berikutnya, matanya membelalak. Di sudut kertas, ada tulisan tipis menggunakan pensil:
[Saya rekanan rahasia kepolisian. HP saya aman. Butuh bantuan?]
Sebagai konsultan khusus kepolisian, ponsel Salsa memiliki enkripsi tingkat tinggi yang mustahil disadap.
Melihat pesan itu, kilatan harapan muncul di mata Arga. Ia aktor terbaik, dan detik itu juga ia langsung masuk ke dalam peran. Bahunya merosot, wajahnya tampak putus asa.
"Terima kasih tawarannya, Mbak Salsa," ujarnya lelah, mendorong menu kembali. "Tapi saya benar-benar nggak nafsu makan. Tolong Mbak saja yang pesankan."
Tatapan mereka bertemu sekilas. Kesepakatan terjalin dalam diam.
Salsa kembali duduk, pura-pura sibuk memilih menu sambil menghapus tulisan pensil itu dan menumpahkan sedikit teh di atasnya. Sambil menunggu pesanan, ia memutar ulang ingatan dari visi yang baru saja dilihatnya.
Lokasi penyekapan. Peta jalan. Wajah pelaku.
Jemarinya bergerak cepat di bawah meja, mengetik pesan untuk Komandan Rakha Wisesa.
Salsa: [Komandan, Manda keponakan Arga Mahendra diculik. Tebusan 80 Miliar. Besok jam 10 pagi, minta tunai 15 M di titik temu.]
Ia melampirkan foto Manda yang diam-diam ia potret dari wallpaper HP Arga.
Rakha: [Ini kejadian yang sudah terjadi?]
Salsa: [Sedang berlangsung. Info bocor ke media. Visiku: Paparazzi dan streamer gila konten mengejar mobil Arga saat mau antar tebusan. Transaksi kacau, penculik marah, sandera dibunuh, Arga bunuh diri.]
Salsa: [HP Arga disadap. Ancaman: lapor polisi \= sandera mati. Kita harus main senyap.]
Rakha: [Dimengerti. Saya bentuk tim hantu (Black Ops). Lokasi?]
Salsa memejamkan mata, menggali detail visualnya.
Salsa: [Pabrik kimia terbengkalai. Tembok bata merah, atap runtuh. Akses lewat tol arah Hutan Barat 15km, keluar arah Ciawi. Ada truk biru parkir 200 meter di timur buat kabur.]
Sambil makan, karena otaknya butuh energi, Salsa terus mengetik. Surya di sebelahnya dengan telaten mengupaskan udang untuk adiknya. Ia tahu, jika Salsa setenang ini, berarti ada rencana.
Sementara itu, Arga dan Reza sibuk menelepon mencari uang tunai dengan wajah frustrasi.
Salsa menyodorkan ponselnya ke Arga. "Mas, ketik nomor rekening di sini."
Arga menerima ponsel itu. Di layarnya tertulis: [Tenang, tak ada polisi berseragam. Musuh kita sekarang adalah PAPARAZZI. Info bocor. Media akan mengejarmu. Ganti mobil, jangan lewat rute biasa.]
Arga menahan napas. Wartawan tahu? Ini gila.
Salsa: [Rencana mau ke mana?]
Arga: [Apartemen Gardenia. Brankas utamaku di sana.]
Salsa: [Jangan! Wartawan pasti sudah mengepung di sana!]
Reza yang membaca itu langsung pucat. "Gue baru cek keluar. Ada beberapa yang standby di sekitar lobi. Gimana cara kita keluar ambil uang tanpa diikuti?"
Surya yang sejak tadi diam, tiba-tiba menarik ujung baju Salsa. "Sa, Kakak punya ide." Ia menatap Arga. "Gimana kalau kita tukar mobil?"
Mata Salsa membelalak. "Bahaya, Kak! Mereka beringas..."
"Lebih bahaya mana, wartawan atau penculik?" Surya menatap adiknya teduh. "Setidaknya wartawan nggak akan membunuh orang."
Arga menatap Surya. Postur mereka mirip. Dengan masker dan topi, serta karisma "bintang" yang dimiliki Surya, itu penyamaran sempurna.
Di sudut ruangan remang, Arga melepas jas mahalnya. Surya memakainya. Salsa merapikan kerah jas itu di leher kakaknya, lalu memakaikan kacamata hitam dan topi.
Surya menunduk, separuh wajahnya tertutup masker. Ia sangat mirip Arga.
"Kak..." Salsa meremas jemarinya cemas.
Surya mengedipkan sebelah mata. "Tenang aja. Itung-itung latihan jadi artis dikejar wartawan. Lagian kan ada kamu yang jagain Kakak."
Sementara itu, Arga kini mengenakan jaket kasual Surya dan topi baseball. Penampilannya berubah drastis jadi musisi indie.
Arga menatap kakak-beradik itu dalam-dalam. "Terima kasih. Saya nggak akan lupa bantuan kalian malam ini."
Salsa menarik napas panjang, lalu menyerahkan sebuah lempengan logam tipis seukuran koin ke tangan Arga.
"Selipkan ini di tumpukan uang tebusan nanti," bisik Salsa. "Pelacak mikro terbaru. Sinyalnya tembus kotak besi sekalipun."
Arga menggenggam benda dingin itu erat-erat. Harapan baru tumbuh di dadanya.
Pintu belakang restoran terbuka. Salsa dan Surya berjalan cepat keluar.
Cekrek! Cekrek!
Kilatan flash menyambar dari kejauhan. Umpan dimakan.
"Masuk, cepat!" Salsa mendorong Surya masuk ke kursi belakang Mercedes hitam milik Arga.
Mobil meluncur. Di spion, iring-iringan mobil wartawan langsung tancap gas mengekor di belakang mereka.
"Mereka ngikut," gumam Salsa.
Sementara itu, di pintu keluar lain yang sepi, Arga dan Reza masuk ke dalam SUV biasa yang dikemudikan Adrian, asisten Surya.
"Ke apartemen saya lewat jalan belakang, lalu ke bank," perintah Arga.
Mobil melaju menembus malam. Tiba-tiba, ponsel Arga berdering. Nomor tak dikenal.
Jantungnya serasa berhenti. Ia mengangkatnya. Suara di seberang sana terdistorsi alat pengubah suara.
"Kenapa media bisa tahu?!" bentak penculik itu.
"Saya juga nggak tahu! Anda kan tahu paparazzi buntutin saya tiap hari!" Arga memohon dengan suara bergetar yang tak dibuat-buat. "Saya sudah ikuti perintah! Saya lagi cari uangnya sekarang! Tolong, jangan apa-apakan Manda!"
"Urus lalat-lalat itu! Kalau mereka mengacau, kamu bakal nyesel seumur hidup!"
Lalu terdengar suara tangisan anak kecil. "Om Arga... Manda takut... Kapan Om jemput? Manda laper..."
Suara itu serak dan lemah. Hati Arga hancur lebur. "Manda! Tunggu Om!"
Klik. Sambungan putus.
Arga meremas ponselnya hingga buku jarinya memutih. Tangan satunya meraba chip pelacak di saku. Tunggu saja. Kalian akan bayar mahal untuk setiap tetes air mata Manda.
Satu jam kemudian.
Salsa mengarahkan sopir Arga untuk membawa para "pengawal" alias paparazzi itu keliling Jakarta, melewati jalan-jalan tikus yang ia hafal di luar kepala. Setelah berputar-putar seperti gasing, sebagian besar mobil paparazzi kehilangan jejak.
Hanya tinggal satu mobil yang nekat menempel. Di kursi depannya, seorang streamer berteriak-teriak ke arah kamera GoPro, melakukan live streaming.
"Guys! Liat nih, kita tempel terus mobilnya Arga! Katanya tebusannya 80 Miliar! Gila!"
Salsa menatap wajah si streamer dari balik kaca film gelap. Ia memotret wajahnya. Orang ini harus diberi pelajaran nanti.
Mobil Mercedes itu perlahan masuk ke parkiran bawah tanah Apartemen Gardenia.
Ponsel Salsa bergetar. Pesan dari Komandan Rakha: [Lewati lobi B7, tim siap jemput.]
Salsa tersenyum tipis. "Pak, nanti pas lewat lobi B7, pelankan mobil sebentar, kami loncat turun, Bapak langsung gas lagi ya ke lobi utama."
"Siap, Mbak."
Sopir membanting setir ke zona B7 yang sepi. Begitu mobil melambat, pintu terbuka.
"Ayo, Kak!"
Salsa dan Surya melompat turun, langsung berlari masuk ke pintu akses penghuni yang sudah dibuka oleh petugas keamanan. Pintu besi langsung dikunci rapat di belakang mereka.
Brak!
Para wartawan yang baru sadar tertipu berlari mengejar, tapi terlambat. Mereka hanya bisa menggedor pintu besi dengan emosi. Sementara Mercedes hitam Arga sudah melaju kencang menjauh, membawa harapan palsu bagi para pemburu berita itu.
Aman. Sekarang, giliran polisi bekerja.
next
lanjuttt....
keren juga Salsa. lanjutttt
bsk2 banyakin lagi ya thoe😍💪
ganbattee